search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Bali di Balik Angka: Ketika Kemiskinan Berbicara Lewat Tradisi dan Ketimpangan

Sabtu, 26 Juli 2025, 19:45 WITA Follow
image

beritabali/ist/Bali di Balik Angka: Ketika Kemiskinan Berbicara Lewat Tradisi dan Ketimpangan.

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Pulau Bali, yang selama ini dikenal dunia lewat hamparan pantai, tarian sakral, dan senyuman hangat penduduknya, ternyata menyimpan kisah lain yang tersembunyi di balik gemerlap pariwisata. 

Di balik indahnya matahari terbenam dan denting gamelan, ada angka-angka yang diam-diam bicara, tentang perjuangan hidup, ketimpangan, dan keteguhan tradisi.

Pada Maret 2025, Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali mencatat bahwa angka kemiskinan turun menjadi 3,72 persen. Itu artinya, sekitar 173 ribu warga Bali masih hidup di bawah garis kemiskinan. Jumlah ini memang lebih rendah dibanding enam bulan sebelumnya. Namun, seperti ombak yang tenang di permukaan tetapi bergolak di dasar laut, data ini menyimpan cerita yang tak kasat mata.

Lebih Sedikit yang Miskin, Tapi Jaraknya Makin Jauh

Jika kita menengok lebih jauh ke Gini Rasio, pengukur kesenjangan antara si kaya dan si miskin, terlihat bahwa ketimpangan di Bali justru sedikit meningkat. Maret 2025 tercatat sebesar 0,353, naik dibanding September 2024. Artinya, jurang antara mereka yang punya banyak dan yang hidup seadanya makin lebar.

Khusus di desa, ketimpangan justru menurun. Ini bisa berarti bahwa program-program di perdesaan mulai berhasil. Sementara di kota, dinamika ekonomi (termasuk sektor pariwisata dan properti) mungkin ikut memperlebar jarak sosial. Bagi pembuat kebijakan, ini adalah sinyal bahwa pertumbuhan ekonomi saja tak cukup, keadilan distribusi juga harus jadi prioritas.

Rokok dan Upacara: Wajah Kemiskinan yang Khas Bali

Menariknya, apa yang masuk dalam “kebutuhan dasar” di Bali sedikit berbeda dari daerah lain. Garis Kemiskinan yang ditetapkan BPS Bali pada Maret 2025 adalah Rp607.847 per kapita per bulan. Dari jumlah itu, hampir 70 persen dihabiskan untuk makanan. Beras, daging ayam, dan kue basah mendominasi. Tapi satu item yang mengejutkan: rokok kretek filter.

Rokok menyumbang hingga hampir 7 persen dari pengeluaran masyarakat miskin. Ini mungkin terlihat kontradiktif, tapi juga menyiratkan bagaimana tekanan hidup sering dilampiaskan lewat hal-hal yang memberi kenyamanan jangka pendek.

Salah satu hal yang membuat Bali begitu istimewa adalah kuatnya nilai-nilai tradisi dan spiritualitas yang meresap hingga ke aspek kehidupan sehari-hari. Dalam konteks kemiskinan, hal ini menciptakan dinamika unik yang tercermin dalam komposisi pengeluaran masyarakat.

Data BPS menunjukkan bahwa upacara keagamaan dan kegiatan adat turut tercatat sebagai bagian dari kebutuhan dasar dalam perhitungan Garis Kemiskinan di Bali. Di perkotaan, porsinya sekitar 3,37%, dan di perdesaan bahkan sedikit lebih tinggi, yakni 3,45%. Ini bukan berarti adat menjadi 'beban', melainkan cermin bahwa spiritualitas dan gotong royong tetap menjadi prioritas, bahkan di tengah keterbatasan ekonomi.

Bagi banyak keluarga di Bali, berpartisipasi dalam upacara bukan sekadar pengeluaran, tetapi bagian dari menjaga kehormatan, keharmonisan sosial, dan keseimbangan hidup. Nilai-nilai ini tidak mudah digantikan oleh logika ekonomi semata. 

Di sisi lain, para pemangku kebijakan di Bali pun selama ini menunjukkan komitmen kuat dalam menjunjung tinggi adat dan budaya lokal sebagai bagian dari pembangunan. Karena itu, pendekatan pengentasan kemiskinan idealnya terus dikembangkan secara menyeluruh, tidak hanya berdasarkan angka dan indikator statistik, tetapi juga berpijak pada kearifan lokal yang hidup dalam masyarakat. 

Dengan cara ini, program dan bantuan yang diberikan tak hanya efektif secara ekonomi, tapi juga selaras dengan nilai-nilai yang dihormati dan diwariskan turun-temurun oleh masyarakat Bali.

Yang Miskin Kian Terbenam

Meski jumlah orang miskin menurun, dua indikator penting—Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan (P2)—justru meningkat. Artinya, mereka yang miskin kini makin jauh dari ambang kesejahteraan, dan kesenjangan di antara sesama orang miskin pun memburuk.

Uniknya lagi, kondisi ini lebih terlihat di wilayah perkotaan Bali, berbanding terbalik dengan tren nasional. Mungkin karena di kota, biaya hidup dan tekanan ekonomi lebih tinggi, tapi akses terhadap bantuan atau komunitas pendukung tak seerat di desa.

Harapan dari Sawah dan Wisata

Untungnya, ada harapan. Kebangkitan sektor pariwisata membawa angin segar. Dengan 1,45 juta wisatawan datang ke Bali selama triwulan pertama 2025, roda ekonomi mulai berputar lagi. Sektor pertanian juga tak kalah penting. Indikator seperti Nilai Tukar Petani menunjukkan petani Bali mulai menikmati hasil yang lebih layak dari kerja keras mereka.

Bantuan sosial pun mengalir dengan baik. Program Sembako dan PKH tersalurkan hingga 99 persen dari target. Sementara inflasi yang rendah (1,89%) membantu menjaga daya beli.

Keindahan Tak Cukup: Bali Harus Juga Adil

Kisah Bali bukan hanya tentang menurunnya angka kemiskinan. Ini tentang siapa yang masih tertinggal di belakang, tentang bagaimana kebutuhan hidup dan nilai budaya berkelindan dalam keseharian, dan tentang pentingnya menjadikan pembangunan sebagai ruang yang menghargai seluruh unsur kehidupan masyarakat Bali.

Bali akan tetap menjadi pulau yang memikat. Tapi biarlah pesonanya juga terasa oleh mereka yang selama ini lebih sering hadir sebagai angka dalam laporan statistik. Keindahan sejati adalah ketika kemajuan tidak hanya dirasakan oleh wisatawan dan investor, tetapi juga oleh petani, pedagang kecil, dan keluarga yang tetap setia pada nilai-nilai adat, meski dapurnya tak selalu mengepul. 

Pemerintah dan para pengambil kebijakan di Bali pun sejauh ini telah menunjukkan perhatian pada keseimbangan tersebut, dan ke depan kolaborasi antara pembangunan dan kearifan lokal perlu terus diperkuat agar Bali benar-benar adil, bukan hanya indah.

Penulis

Dr. Andri Yudhi Supriadi
Kepala BPS Kota Denpasar

Editor: Redaksi

Reporter: bbn/opn



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami