Legislator, Akademisi, Pakar Hukum Desak Koster Tinjau Ulang SE AMDK
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Penanganan sampah di Bali dinilai membutuhkan pendekatan yang lebih holistik dan berkelanjutan. Sejumlah kalangan dari legislatif, akademisi, hingga pakar hukum menyoroti Surat Edaran (SE) Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2025 tentang larangan produksi air minum dalam kemasan (AMDK) di bawah 1 liter.
Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, Bambang Haryo Soekarno (BHS), mengkritisi SE tersebut karena dinilai bisa mematikan industri dan berdampak pada pelaku usaha kecil serta pemulung. Menurutnya, solusi terbaik untuk mengatasi masalah sampah adalah pemilahan dari sumbernya.
“Tapi ini adalah karena wilayah publik di sana tidak disediakan tempat-tempat sampai yang dipilah-pilah menjadi tiga macam, yaitu organik, anorganik yang bukan plastik dan anorganik yang plastik. Karena anorganik yang bukan plastik ini tidak bisa didaur ulang,” ungkapnya.
Baca juga:
Berpotensi Dibatalkan, SE Larangan AMDK di Bawah 1 Liter Dinilai Langgar Aturan Lebih Tinggi
Ia menyarankan agar Pemprov Bali menyediakan fasilitas tempat sampah terpilah dan memberikan sanksi kepada masyarakat yang membuang sampah sembarangan.
“Berikan saja sanksi kepada masyarakat yang buang sampah sembarangan seperti yang ada di Perda Nomor 1 Tahun 2015 tentang Ketertiban Umum, dengan menjatuhkan sanksi pidana kurungan paling lama enam bulan dan denda maksimal Rp 50 juta,” tandasnya.
Ketua Fraksi Gerindra DPRD Bali, I Gede Harja Astawa, juga menyuarakan penolakan terhadap SE tersebut karena dinilai menyulitkan masyarakat dalam upacara adat.
"Itu harus diatur dengan sanksi tegas termasuk melibatkan semua stakeholder. Apalagi, sampah di Bali itu kan tidak hanya berasal dari kemasan air mineral semata tapi banyak juga dari yang lain," tukasnya.
Ia juga mendorong pembangunan kawasan industri daur ulang sebagai solusi berkelanjutan.
Wakil Ketua DPRD Bali dari Fraksi Golkar, Ida Gede Komang (IGK) Kresna Budi, menyebut perlu ada komunikasi dua arah antara Pemprov dan pelaku usaha.
“Surat Edaran itu bagus karena bertujuan untuk menyelesaikan masalah sampah di Bali dan mengajak para produsen agar bertanggung jawab atas produk-produk mereka terhadap sampah yang ditimbulkan. Cuma, dalam kebijakannya itu juga, Gubernur Koster sebaiknya mengajak para produsen itu untuk duduk bersama guna membicarakan bagaimana solusinya. Nah, ini kan belum dilakukan Gubernur,” ujar Kresna.
Sementara itu, akademisi Agus Fredy Maradona dari Undiknas Bali menyarankan kehadiran pemerintah pusat dalam pembahasan SE tersebut karena menyangkut produsen skala nasional dan multinasional.
“Sebab, sebagian besar produsen air minum kemasan di Bali itu kan berasal dari perusahaan nasional dan multinasional. Dan yang bisa meregulasi mereka itu adalah pemerintah pusat,” katanya.
Ia menilai solusi lebih baik adalah komunikasi dua arah dengan produsen, edukasi masyarakat, dan penyediaan fasilitas pemilahan sampah.
“Pendekatan yang dilakukan oleh pemprov Bali itu seharusnya dilakukan secara humanis, edukatif dan memberikan kesempatan ruang bagi produsen dan distributor untuk menyampaikan permasalahan di lingkungan, sehingga semangat dari bisnis ini benar-benar bisa terwujud. Jadi, tidak langsung melarang mereka berproduksi,” ucapnya.
“Untuk mengubah perilaku masyarakat itu memang tidak mudah. Tapi, jika itu dilakukan terus menerus, pasti masyarakat itu juga bisa mengubah perilakunya yang membuang sampah sembarangan,” tukasnya.
Pakar hukum Gede Pasek Suardika (GPS) mempertanyakan dasar hukum penerbitan SE tersebut, mengingat Bali sudah memiliki banyak regulasi pengelolaan sampah.
“Lalu sekarang mengeluarkan lagi produk hukum baru yang namanya surat edaran. Untuk apa dikeluarkan kebijakan lagi, sedang kebijakan yang lama saja tidak dilaksanakan sama sekali,” kata GPS.
Ia menyebut SE bukan produk hukum yang dapat mengatur sanksi karena hanya bersifat internal.
“Kalau bahasa sepadannya, surat edaran itu sama dengan nota dinas. Karena secara payung hukumnya sudah salah, di mana dalam SE Gubernur Koster itu ada larangan-larangan, maka masyarakat tidak perlu menaatinya juga nggak apa-apa,” ungkapnya.
Editor: Redaksi
Reporter: bbn/tim