search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
SE Gubernur Koster Soal Botol Plastik Dinilai Tak Berdasar Data Akurat
Sabtu, 5 Juli 2025, 09:26 WITA Follow
image

bbn/ilustrasi/SE Gubernur Koster Soal Botol Plastik Dinilai Tak Berdasar Data Akurat.

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Kritik terhadap Surat Edaran (SE) Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2025 terus mengalir.

Kebijakan yang melarang produksi dan distribusi air minum dalam kemasan plastik berukuran di bawah satu liter ini dinilai tidak berdasarkan data yang akurat dan berpotensi merugikan ekonomi rakyat kecil serta melemahkan industri daur ulang.

Tokoh masyarakat Bali, Anak Agung Susruta Ngurah Putra, secara tegas menilai kebijakan ini justru menyasar pihak yang salah.

"Tujuannya memang bagus, untuk mendorong pengelolaan sampah yang baik. Tapi kenapa justru botol plastik jadi korban? Padahal, itu punya nilai ekonomi dan menjadi tulang punggung komunitas pemulung serta pelaku daur ulang," katanya.

Susruta menyoroti bahwa yang menjadi masalah utama bukanlah plastik itu sendiri, melainkan perilaku manusia dalam membuang dan memilah sampah. Menurutnya, pemerintah seharusnya fokus pada mendisiplinkan masyarakat, bukan serta-merta melarang produk yang sebenarnya sudah mempunyai sistem ekonomi sirkular yang berjalan.

"Botol PET itu dipungut karena bernilai. Tapi sampah multilayer seperti sachet? Itu yang sulit dan tidak punya nilai ekonomi," tegasnya.

Mantan anggota DPRD Provinsi Bali itu juga mengingatkan bahwa dalam SE itu, larangan tidak hanya berlaku untuk air minum kemasan (AMDK) tetapi semua minuman berkemasan plastik, termasuk teh, kopi, yogurt, hingga minuman UMKM yang banyak dijual dalam botol kecil. Dia berkelakar, minuman-minuman tersebut justru malah memberikan penyakit bagi masyarakat.

"Kalau semua minuman botol dilarang, mau minum kopi harus 1 liter? Atau yakult 1 liter? Bisa mencret atau asam lambung kita semua," sindirnya.

Menurutnya, Gubernur Wayan Koster mengeluarkan kebijakan tidak berpijak pada riset yang memadai. Data dari organisasi lingkungan independen seperti Sungai Watch menunjukkan bahwa botol PET menyumbang sekitar 4,4 persen dari sampah plastik, jauh di bawah sachet yang mencapai 5,5 persen, kantong plastik 15,2 persen, dan plastik bening 16,2 persen.

“Kalau memang berdasarkan data, harusnya sachet yang lebih dulu dilarang. Tapi kenapa yang dikorbankan botol plastik yang justru lebih mudah didaur ulang?” tanya Susruta.

Sustruta mengingatkan Gubernur Koster agar tidak keras kepala dan mendengar suara masyarakat, bukan sekadar bersandar pada pendapat para ahli yang belum tentu independen. Menurutnya, sikap keras kepala hanya akan berujung pada gugatan di pengadilan nantinya mengingat SE hanya imbauan yang tidak memiliki dasar hukum.

"Kalau pemimpin hanya mendengar yang membuatnya senang, itu bukan kepemimpinan, tapi egosektoral,” ucapnya tajam.

Dia berpandangan bahwa kebijakan pelarangan produksi dan distribusi air kemasan di bawah 1 liter ini menunjukkan kegagalan pemerintah dalam mengelola sampah sehingga mengkambing hitamkan botol plastik. Padahal, sambung dia, solusi yang lebih tepat adalah mengelola, bukan melarang; memberdayakan, bukan menghukum.

“SE ini lebih terlihat sebagai simbolisme politik ketimbang kebijakan berbasis data. Kita ingin Bali bersih, tapi bukan dengan cara mengorbankan ekonomi rakyat kecil dan melemahkan sistem daur ulang yang sudah berjalan,” tutupnya.

Editor: Redaksi

Reporter: bbn/tim



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami