search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Keharusan Modifikasi Budaya
Jumat, 24 Juli 2020, 12:50 WITA Follow
image

bbn/instagram

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Social distancing dan pelestarian tradisi adalah dua hal yang seringkali bertolak belakang dan menghadirkan dilema di kalangan masyarakat. 

Keharusan untuk melakukan social distancing sebagai upaya memutus mata rantai penularan Covid-19 pada satu sisi, dan keharusan melaksanakan sejumlah tradisi sebagai ekspresi manusia berbudaya pada sisi lain.

[pilihan-redaksi]
Jika social distancing mengharapkan tidak adanya kerumunan, sementara sejumlah tradisi yang ada itu selalu menuntut untuk banyak kerumunan masa. Tari kecak di Bali misalnya, selalu meminta kerumunan masa lebih banyak sehingga tidak adanya social distancing.

Sebagian orang memang menjalankan protokol kesehatan dengan cermat, namun tak jarang masyarakat masih meninggikan egonya dengan alasan menjalankan tradisi. Budaya seakan dipantaskan untuk melanggar protokol Kesehatan yang ada. Maka perlukah kita melakukan modifikasi budaya pada situasi seperti ini?

Alasan Tradisi

Gubernur I Wayan Koster telah menghimbau seluruh masyarakat Bali untuk selebih-lebihnya hanya 20 orang saja yang dapat menjalankan kegiatan adat. Lagi-lagi masyarakat banyak melanggarnya demi asas kekeluargaan (menyama braya). 

“Ah, tak enak rasanya tak datang ke acara dia, dia saja selalu bantu kalau saya mengadakan acara,” celetuk salah satu warga. Memang benar kebiasaan tersebut telah melekat pada masyarakat Bali secara turun-temurun. Selalu ada rasa kekerabatan dalam menjalankan setiap tradisi budaya leluhur.

Bercermin dalam kasus tadi, menginterpretasikan segelintir masyarakat Bali yang kaku dengan budayanya. Mereka menafsirkan tradisi harus tetap dipraktikan bagaimanapun kondisinya. Jika cara pandang masyarakat seperti itu, budaya seperti pisau bermata dua, dapat berguna namun juga dapat celaka jika digunakan pada situasi yang salah. Bukankah budaya selayaknya tak mecelakai penganutnya?

Berbagai upacara keagamaan dilaksanakan di Bali demi mendoakan kesembuhan bumi ini. Dimulai dari surat edaran Gubernur Bali untuk setiap keluarga menghaturkan sesajen di puranya masing-masing, juga diadakanya isolasi desa guna mencegah pandemi ini merajalela.

Nyatanya, wabah ini tak memandang usia serta strata sosial masyarakat. Tua-muda, miskin-kaya, bahkan garda terdepanpun tak sedikit tertular wabah ini. Pemerintah juga melakukan kebijakan khusus karena wabah yang satu ini. Rasa hilang akal menjalankan tradisi leluhur tersebut, tak sewajarnya menjadi alasan melanggar kebijakan yang ditetapkan pemerintah.

Melestarikan Peradaban

Lantas muncul pemikiran apakah yang terpenting melanggengkan budaya dibanding melestarikan peradaban manusia itu sendiri? Menurut Rafael Raga Maran, dalam bukunya 'Manusia dan Kebudayaan dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar', kebudayaan hadir dari generasi ke generasi melalui proses belajar. Tampak di sini bahwa kebudayaan itu selalu bersifat historis, artinya proses yang selalu berkembang dan terpilah.

Sampai detik ini, banyak budaya di Indonesia yang tak relevan telah dihapuskan. Bali pernah memilikinya. Tak direstui menikah beda kasta yang berbuah dikucilkan dari lingkungan hingga hukuman mengerikan. Ya, Bali pernah punya itu. Faktanya, sekarang sah-sah saja nikah beda kasta meski perlu proses yang rumit.

Jangan lupakan budaya asalmu kalau kata orangtua. Namun, manusia yang dianugrahi akal dan budi juga dituntut untuk berpikir rasional. Belum tentu tahun depan bisa merayakan hari raya ini? Bukankah kalau kita berkerumun di situasi seperti ini sama saja kita mengancam nasib budaya? Semakin banyaknya orang yang terjangkit wabah corona sampai-sampai tak ada yang menjalankan budaya dikemudian hari. Yang ada semesta rugi dua kali.

Mall saja dibuka, sektor perekonomian juga mulai dijalankan, mengapa bersosialisasi dan melestarikan budaya dilarang? Jika semua manusia di bumi ini berpikir seperti itu, bayangkan saja berapa banyak orang lagi yang harus mendekam di ruang isolasi. Kebijakan tersebut bukan sematamata untuk hiburan dikala penat berdiam di rumah. Andai perekonomian tak mulai dibuka, apa yang dipakai untuk membayar proses kesembuhan banyak orang?

Yang perlu kita jalankan sekarang cukup menepi dengan kebiasaan-kebiasaan terdahulu. Memang sedih rasanya mengingat semarak hari raya tahun lalu. Sembari berdoa pada Yang Maha Kuasa, kita juga harus membiasakan diri dengan tatanan hidup yang baru. Dengan masker yang dibilang beralih menjadi mode, kelas yang berganti menjadi layar laptop, serta parfum yang berubah menjadi cairan pembersih tangan.

Modifikasi budaya sangat diperlukan dalam kondisi seperti ini. Tuntutan masa yang banyak dalam setiap upacara adat dapat dibatasi sesuai dengan protokol Kesehatan yang ada. Semisal, mengutamakan umat yang berperan penting dalam menjalankan upacara di pura-pura tertentu. Selebihnya, umat dapat beribadah di rumah masing-masing.

Potensi Desa

Adiksi masyarakat terhadap budaya sebenarnya dapat dijadikan potensi dalam pencegahaan covid-19. Masyarakat yang menjunjung nilai budaya akan lebih patuh terhadap segala batasan yang dikaitkan dengan budaya itu sendiri. Keberhasilan Desa Adat dalam penertiban masyarakat saat pelaksanaan pantangan Nyepi perlu digali kembali. Yaitu dengan penegasan pendisiplinan oleh satgas gotong royong di setiap desa.

Jika lockdown tak memungkinkan di negara ini, isolasi desa bisa menjadi alternatif untuk Bali. Faktanya, benteng pertahanan dan penggerak kebudayaan ini memang lebih ditakutkan daripada aturan pemerintah tanpa sanksi. Tak semua desa perlu diisolasi. Melainkan, sikap tegas petugas diperlukan dalam memberikan arahan, pembinaan, pengawasan serta menjadi perwakilan dalam upacara adat di Pura Desa.

Pemberian sanksi adat juga berpeluang besar, sebab masyarakat lebih jera dengan hukuman sosial dan adat di Bali. Dengan begitu, budaya Bali tidaklah musnah seutuhnya tetapi beradaptasi terhadap situasi saat ini. Upacara keagamaan tetap bisa dilakukan dengan jumlah orang yang sedikit. 

Dengan jaminan value tradisi tersebut tetap tersampaikan. Sesajen tetap komplit, meskipun tanpa kerumuman warga setempat. Kita harus tetap berkomitmen dalam melestarikan budaya walaupun dengan cara yang terbilang kontemporer. Berharap badai ini cepat berlalu. 

Entah wabah ini yang harus dibasmi tuntas atau kita yang berdamai dengannya. Yang pasti saat semua semakin cepat, kini waktunya kita sedikit menepi. Dahulu Bali yang harus menyepi, kini Indonesia juga seakan ikut menyepi.

 

Penulis

Ni Made Mila Octania Putri
Mahasiswi Double Degree Sampoerna University Jakarta
dan University of Arizona

Reporter: bbn/opn



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami