search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Jero Mangku Dalang Soroti Jualan di Areal Pura Gianyar
Sabtu, 21 Juni 2025, 12:44 WITA Follow
image

beritabali/ist/Jero Mangku Dalang Soroti Jualan di Areal Pura Gianyar.

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, GIANYAR.

Pemanfaatan areal jaba pura untuk aktivitas berjualan kembali mendapat sorotan tajam. Kali ini, kritik datang dari Jero Mangku Dalang Samirana, seniman sekaligus tokoh spiritual asal Banjar Sengguan Kangin, Kelurahan Gianyar.

Ia menilai praktik tersebut mencederai kesucian pura serta nilai-nilai luhur ajaran Hindu yang seharusnya dijaga bersama.

Menurut Jero Mangku Dalang, pembangunan kios atau lapak dagang di kawasan pura — apalagi yang berdiri sangat dekat dengan tembok penyengker — merupakan bentuk pengabaian terhadap konsep Tri Hita Karana dan tata ruang sakral dalam pura.

"Kesucian pura tidak hanya dijaga lewat upacara, tetapi juga dari tata kelola fisik dan fungsinya. Dalam konsep Tri Mandala, setiap bagian pura memiliki fungsi spiritual yang tak boleh dilanggar. Nista Mandala untuk pemendakan, Madya Mandala untuk persembahan, dan Utama Mandala sebagai tempat Ida Bhatara berstana. Bagaimana mungkin tempat seperti itu justru diubah layaknya pasar senggol?" ujar Jero Mangku Dalang saat ditemui di kediamannya, Sabtu (21/6).

Ia mencontohkan situasi di Pura Dalem yang diempon Desa Adat Gianyar dan Beng. Menurutnya, sejumlah bangunan kios telah dibangun nyaris menempel tembok penyengker tanpa sepengetahuan krama desa.

"Sudah mepet tembok penyengker, malah digunakan untuk aktivitas jual beli. Ini jelas melanggar nilai-nilai kesakralan dan kearifan lokal," tegasnya.

Lebih lanjut, Jero Mangku Dalang menyoroti minimnya keterbukaan prajuru desa adat dalam mengambil kebijakan terkait pengelolaan pura. Ia mengingatkan, setiap kebijakan pemanfaatan lahan pura wajib melalui paruman atau musyawarah bersama krama banjar.

"Jangan sampai krama merasa seperti pepatah Bali: pedas tan tumon, dilihat tapi tak melihat. Mereka tahu, tapi tak benar-benar tahu karena tidak dilibatkan sejak awal. Ini berpotensi menimbulkan disharmoni di tengah masyarakat," ujarnya.

Meski begitu, ia tetap mendukung upaya penggalian dana demi kepentingan pura dan masyarakat adat. Namun, ia menegaskan agar hal tersebut tidak dilakukan dengan mengorbankan kesucian tempat suci.

Ia juga mengingatkan agar masyarakat belajar dari peristiwa serupa yang pernah terjadi di daerah lain.

"Saya menyampaikan ini bukan karena benci atau menentang. Tapi semata-mata karena suara hati saya sebagai seorang seniman dan penekun spiritual. Mari jaga warisan leluhur kita, jangan sampai ‘habis gelap, terbitlah gelap gulita’ karena kita abai terhadap kesucian pura," tutupnya.

Editor: Redaksi

Reporter: bbn/gnr



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami