Alih Fungsi Lahan di Bali Ancam Lingkungan dan Pangan
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Masifnya alih fungsi lahan di Bali makin mengkhawatirkan dan kini menjadi persoalan serius yang berdampak pada lingkungan, ketahanan pangan, hingga sosial budaya masyarakat.
Ahli lingkungan sekaligus Guru Besar Universitas Udayana (Unud) bidang pertanian organik, Prof. Dr. Ir. Ni Luh Kartini, M.S., menegaskan bahwa tren alih fungsi lahan, khususnya sawah menjadi akomodasi wisata dan perumahan, telah mencapai level yang mengkhawatirkan.
"Alih fungsi lahan di Bali dapat dilihat dari beberapa indikator, seperti penurunan luas lahan sawah, peningkatan pembangunan infrastruktur pariwisata, serta perubahan tata guna lahan dari pertanian menjadi non-pertanian," ujar Prof Kartini saat ditemui di Denpasar, Rabu (19/6).
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat luas lahan sawah di Bali pada 2017 mencapai 78.626 hektar, namun jumlah ini terus menyusut seiring masifnya pembangunan hotel, vila, resort, dan fasilitas pariwisata lainnya, terutama di kawasan Bali selatan. Meski belum ada data terbaru, sejumlah sumber memperkirakan laju alih fungsi lahan sawah di Bali mencapai 600-1.000 hektar per tahun.
Prof Kartini mengungkapkan, alih fungsi lahan ini menimbulkan berbagai dampak lingkungan, mulai dari kerusakan ekosistem, penurunan kualitas air tanah, risiko banjir, hingga hilangnya keanekaragaman hayati.
"Alih fungsi lahan bisa menyebabkan kerusakan lingkungan, penurunan kualitas air tanah, peningkatan risiko banjir, serta hilangnya biodiversitas. Selain itu, lahan pertanian produktif yang hilang juga akan mempengaruhi ketahanan pangan lokal dan ekonomi masyarakat," jelasnya.
Tak hanya soal lingkungan, fenomena ini juga memicu perubahan sosial budaya. Generasi muda Bali kini lebih tertarik bekerja di sektor pariwisata daripada meneruskan profesi sebagai petani.
"Anak muda tidak tertarik menjadi petani karena pekerjaan ini dianggap tidak menguntungkan dan kurang prestise," tambah Prof Kartini.
Ia mendorong pemerintah daerah dan pusat untuk lebih serius merevisi dan memperketat regulasi tata ruang.
"Pemerintah perlu mengkaji ulang RTRW agar regulasi zona hijau lebih tegas, bahkan idealnya aturan itu tidak diubah minimal dalam kurun waktu 100 tahun," tegasnya.
Prof Kartini juga menyoroti lemahnya pengawasan terhadap pelanggaran zona hijau.
"Perubahan tata ruang yang tidak terkendali jadi salah satu penyebab alih fungsi lahan tak terbendung. Pemerintah harus tegas menindak pelanggaran tanpa pandang bulu," imbuhnya.
Sebagai langkah solutif, Prof Kartini merekomendasikan beberapa kebijakan strategis, mulai dari menetapkan harga gabah di atas harga pokok produksi, memberi subsidi harga di akhir panen, meningkatkan akses petani ke teknologi modern, hingga memperkuat peran serta masyarakat dalam perencanaan tata ruang.
“Pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama menjaga keberlanjutan lingkungan, ketahanan pangan, serta warisan budaya kita,” pungkasnya.
Editor: Redaksi
Reporter: bbn/tim