DTSEN Menyatukan Langkah, Menguatkan Kebijakan Publik
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Selama bertahun-tahun, banyak program sosial dan pembangunan ekonomi di Indonesia berjalan dalam ketidakpastian data.
Tak jarang ditemukan bantuan sosial salah sasaran, keluarga miskin yang luput dari perhatian, atau sebaliknya, mereka yang tergolong mampu justru menerima bantuan berkali-kali.
Di sisi lain, pemerintah daerah sering kesulitan menyusun perencanaan pembangunan karena data yang digunakan berbeda-beda antara kementerian dan lembaga pusat. Ketimpangan ini bukan sekadar persoalan teknis, tapi menyangkut keadilan sosial dan efisiensi anggaran negara.
Presiden Republik Indonesia menaruh perhatian serius pada hal ini. Pada 5 Februari 2025, lahirlah Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2025 tentang Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN). Inpres ini menjadi penanda resmi lahirnya gerakan satu data sosial ekonomi Indonesia.
DTSEN ditetapkan sebagai basis data terpadu, berisi informasi individu dan keluarga lengkap dengan identitas kependudukan yang valid, kondisi ekonomi, kepemilikan aset, pendidikan, kesehatan, hingga status ketenagakerjaan.
Dibangun dengan menyatukan tiga sumber utama (DTKS, Regsosek, dan P3KE), DTSEN diperkaya melalui pemadanan dengan data dari Dukcapil, PLN, BPJS, dan Pertamina, lalu divalidasi dengan metode deterministik dan probabilistik. Per Februari 2025, DTSEN telah memuat data 285 juta individu dan lebih dari 93 juta keluarga, dan berhasil diserahkan oleh BPS kepada Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Sosial, dan Menko PMK sebagai pengguna utama.
Dari Validasi ke Aksi – Peran Strategis Daerah dan Kementerian
Apa arti semua ini bagi kementerian, lembaga, dan terutama pemerintah daerah?
Pertama, setiap instansi, sesuai Inpres 4/2025, wajib menyampaikan data administratif dan statistik by name by address kepada BPS secara berkala. Tidak ada lagi ruang untuk sistem informasi yang berdiri sendiri atau tidak terhubung.
Sinkronisasi lintas instansi menjadi kunci. Kemendagri memberikan akses data kependudukan, Kemensos menyerahkan data bansos, dan Kementerian Desa bertanggung jawab atas pembaruan data di level desa.
BPS tak hanya menerima, tapi memproses, mengintegrasikan, serta mengamankan data sesuai standar terbaik. Tak kalah penting, BPS mengawasi pemanfaatannya melalui sistem pelaporan kepada Presiden. Kementerian Sosial, melalui Pendamping Program Keluarga Harapan (PKH), melaksanakan validasi lapangan secara masif: lebih dari 12,2 juta keluarga ditargetkan untuk diverifikasi melalui ground check, guna mengatasi exclusion error (4,9 juta keluarga), inclusion error (4,9 juta keluarga), dan NIK tidak aktif (2,4 juta keluarga).
Hasilnya, sekitar 8,7 juta keluarga berhasil dikunjungi dan 6,9 juta keluarga diantaranya didata ulang hingga April 2025. Data ini menjadi sangat krusial dalam memperbaiki basis sasaran program bantuan sosial.
Pemeringkatan kesejahteraan keluarga pun telah dilakukan dengan pendekatan statistik berbasis beberapa indikator seperti konsumsi listrik, status aset, dan kepemilikan usaha. Proses ini memungkinkan pengelompokan secara objektif dan tidak semata-mata berdasarkan data administrasi lama.
DTSEN menjadi acuan mutlak bagi perencanaan dan penganggaran baik di pusat maupun daerah, serta menjadi dasar dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan RKPD di daerah.
Bagi pemerintah daerah, ini adalah panggilan untuk mengintegrasikan DTSEN dalam semua proses: mulai dari pendataan desa, penyusunan program prioritas, hingga perumusan APBD. Tidak mematuhi Inpres ini bukan hanya menghambat kebijakan, tapi juga membuka peluang terjadinya ketimpangan data dan ketidaktepatan sasaran pembangunan.
Kolaborasi yang Membuka Jalan Pemerataan
Keberhasilan DTSEN tak lepas dari kolaborasi lintas sektor. Sejak akhir 2024 hingga pertengahan 2025, sejumlah program konkret sudah memanfaatkan DTSEN sebagai rujukan utama. Contohnya, penyaluran bansos pada Triwulan II-2025, Program Sekolah Rakyat, hingga Program Bantuan Perumahan bagi beragam kelompok seperti guru, guru penerima bantuan, wartawan, tenaga kesehatan, dan buruh.
BPS juga menjalin kemitraan dengan berbagai pihak: BPJS Kesehatan, PLN, Pertamina, Kemensos, Kementerian Desa, dan Komisi Pemilihan Umum. Kolaborasi ini menghasilkan sistem data yang tak hanya canggih secara teknis, tapi juga relevan secara kebijakan.
Dukungan kebijakan pun semakin kuat. Inpres No. 8 Tahun 2025 menegaskan bahwa DTSEN menjadi basis dalam optimalisasi pengentasan kemiskinan dan kemiskinan ekstrem. Bahkan, dalam Permensos No. 3 Tahun 2025, BPS diberi peran penting dalam pemutakhiran DTSEN dan pemeringkatan kesejahteraan terhadap hasil verifikasi dan validasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah maupun kementerian sosial.
Ini adalah bentuk pengakuan bahwa statistik kini berdiri sebagai alat transformasi sosial, bukan sekadar angka di kertas. Inilah bukti bahwa statistik bisa bermakna dan berdampak.
Dengan semua ini. DTSEN bukan lagi wacana, melainkan sistem kerja baru. DTSEN adalah kerja kolektif yang membutuhkan keselarasan langkah dari pusat hingga daerah. Kunci keberhasilannya bukan semata pada teknologi, tetapi pada komitmen bersama untuk berbagi data, menyinkronkan sistem, dan bertindak dalam satu arah.
Saat setiap kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah bergerak bersama dalam kerangka DTSEN, maka kebijakan publik dapat dirancang dan dijalankan dengan lebih tepat guna, adil, dan berdampak nyata bagi masyarakat. Dengan DTSEN, kita tidak sekadar membangun satu data—kita sedang membangun fondasi kebijakan yang lebih terpercaya dan berpihak pada kebutuhan rakyat.
Editor: Redaksi
Reporter: bbn/opn