Ketika Cinta Terseret Rasa Putus Asa, Antara Kepedulian dan Kehilangan Kendali

bbn/ilustrasi/Harianmerapi.com/Ketika Cinta Terseret Rasa Putus Asa, Antara Kepedulian dan Kehilangan Kendali.
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Kasus pembunuhan disertai percobaan bunuh diri menggegerkan Pulau Dewata yang terjadi di Jalan Gunung Subur Gang Mirah Pemecutan III B, Denpasar Barat.
Berdasarkan pemberitaan di media, seorang wanita bernama Evi DY (50), asal Magetan, ditemukan tewas setelah dibekap dengan bantal oleh suaminya, Sunardi (47). Peristiwa berlangsung sekitar pukul 02.00 WITA di kamar kos milik Wayan Artika, tempat pasangan itu tinggal.
Menurut keterangan tetangga dan polisi, motif awal tampak berakar pada keputusasaan karena kondisi kesehatan korban yang sakit stroke sejak Februari 2024 dan tidak kunjung pulih. Selain itu, ada indikasi tekanan ekonomi dan utang yang memperparah beban pelaku.
Tetangga mengatakan pasangan tersebut selama ini jarang bergaul dan lebih sering tampak pendiam, sehingga tindakan pelaku mengejutkan lingkungan sekitar.
Setelah memastikan istrinya tak bernyawa, pelaku berupaya mengakhiri hidupnya dengan menenggak cairan pembersih lantai yang dicampur minuman bersoda dan kemudian menggores pergelangan tangan. Namun, upaya bunuh diri itu gagal; tetangga curiga lalu melaporkan kejadian, dan pelaku akhirnya menyerahkan diri ke pos polisi Monang-Maning. Kini ia menjalani pemeriksaan medis di RS Trijata dan dalam pengawasan pihak kepolisian.
Di lokasi kejadian ditemukan bukti darah yang tercecer dari kamar hingga halaman, dan korban ditemukan terlentang di atas kasur dengan pampers terpasang. Pemilik kos, yang mengenal pasangan tersebut selama sekitar sepuluh tahun, mengaku mereka selama ini tampak akur dan tidak menimbulkan masalah, sehingga dugaan awal warga tentang motif pun berubah setelah polisi menggali fakta lebih lanjut.
Kasus ini masih ditangani oleh kepolisian setempat, pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka dan terancam dakwaan pidana sesuai hukum yang berlaku.
Siapa pun bisa terguncang oleh berita ini. Tapi untuk benar-benar memahami apa yang sebenarnya terjadi, mengapa seorang suami bisa membunuh istrinya yang sakit lalu mencoba bunuh diri. Sekilas, kasus ini tampak sebagai kejahatan tragis. Namun, bila ditelusuri lebih dalam, peristiwa ini sesungguhnya mencerminkan pusaran psikologis yang kompleks antara cinta, putus asa, dan rasa gagal.
Kasih sayang vs putus asa
Dalam banyak kasus pembunuhan pasangan yang disusul percobaan bunuh diri, benang merahnya bukanlah kejahatan murni semata, melainkan jalur putus asa yang terbentuk perlahan akibat tekanan merawat pasangan yang sakit kronis, kesepian, rasa tak berdaya, dan persoalan ekonomi.
Riset mutakhir menunjukkan bahwa caregiver, yakni perawat informal dalam keluarga, secara konsisten memiliki risiko lebih tinggi mengalami depresi, kecemasan, dan caregiver burden sebuah beban subjektif yang menggerus energi psikis, melemahkan regulasi emosi, serta menurunkan kapasitas penilaian moral sehari-hari.
Beban ini bersifat multifaktorial, mulai dari tuntutan merawat, minimnya dukungan sosial, hingga persoalan finansial, dan semua faktor tersebut berkaitan erat dengan munculnya distres psikologis yang signifikan.
Pada tataran psikodinamika, tekanan kronis itu kerap memicu retakan dalam diri seseorang sebagai bagian yang masih ingin mencintai dan bertahan berhadapan dengan bagian lain yang diliputi kelelahan, kemarahan, rasa bersalah, dan keputusasaan.
Jalan menuju bunuh diri sebagai wujud ambivalensi ego yang ekstrem, seolah dua pribadi berebut kendali, dimana satu mencintai hidup, sementara yang lain ingin mengakhirinya. Kondisi ini dapat memunculkan tindakan destruktif yang mendadak ketika ego mengalami splitting akibat distres berkepanjangan.
Dari perspektif teori interpersonal tentang bunuh diri, terdapat dua pengalaman subjektif yang menjadi bahan bakar keinginan bunuh diri, yakni perasaan menjadi beban bagi orang lain dan rasa terputus dari ikatan sosial. Pada caregiver, kedua konstruk ini sering aktif sekaligus dimana merasa sendirian menghadapi beban sekaligus merasa keberadaannya hanya menambah masalah bagi orang lain.
Selain itu, konsep moral injury juga penting disoroti. Luka batin ini muncul ketika seseorang merasa melanggar nilai moralnya sendiri, misalnya gagal menjadi penopang keluarga atau tidak sanggup mengurangi penderitaan pasangan. Moral injury berkorelasi dengan depresi, kecemasan, burnout, PTSD, serta ide bunuh diri. Meski banyak diteliti pada tenaga kesehatan, mekanisme psikologis dari rasa bersalah dan tercela yang menetap tampak sama relevannya pada caregiver keluarga yang hidup dalam dilema moral berkepanjangan.
Lapisan sosial-ekonomi memperburuk semua ini. Kekerasan dalam relasi dan penurunan kesehatan mental sangat terkait dengan kerentanan ekonomi, termasuk utang, tekanan finansial, dan bentuk economic abuse. Meskipun tidak semua kasus melibatkan kekerasan pasangan, namun stres finansial sering mempersempit ruang solusi dan memperkuat rasa jalan buntu.
Bila dibingkai dengan konsep ego state, bagian-bagian diri yang memiliki nada emosi dan nalar berbeda pada pelaku mungkin terjadi dominasi sementara dari state terdesak yang diliputi keputusasaan, rasa bersalah, dan dorongan menyelesaikan masalah secara cepat, menindih state pengasuhan matang yang berlandaskan kompas moral, kasih sayang, dan daya tahan.
Transisi antar ego state ini mudah dipicu oleh kurang tidur, tekanan ekonomi, isolasi sosial, serta paparan penderitaan kronis. Adanya momen collapse memunculkan sebuah jalan sempit ketika rasionalitas menyusut dan naluri mengakhiri derita mengambil alih, kadang tercampur dengan fantasi keliru tentang membebaskan orang yang dicintai.
Martabat manusia dan fenomena altruisme yang keliru
Tragedi ini mengingatkan bahwa ketika martabat manusia diabaikan baik karena sakit dianggap beban, atau karena caregiver dibiarkan hancur sendirian maka keputusan-keputusan gelap dapat lahir. Menjaga martabat bukan hanya soal melindungi hak hidup, tetapi juga menciptakan kondisi di mana orang tetap merasa dihargai, dicintai, dan berarti.
Dalam kasus ini, martabat manusia menjadi kabur di dua sisi. Pertama, martabat korban dimana seorang istri yang sedang sakit kronis. Apapun kondisinya, ia tetap memiliki hak untuk hidup, untuk dirawat dengan kasih, dan untuk diperlakukan sebagai pribadi yang bermartabat, bukan sebagai beban.
Ketika penderitaannya dipandang hanya sebagai beban dan bukan sebagai bagian dari kemanusiaan yang perlu didukung, maka martabatnya direduksi menjadi sekadar masalah yang harus diselesaikan.
Baca juga:
Gelombang Amarah Kolektif: Membaca Psikologi di Balik Demonstrasi Indonesia 25–31 Agustus 2025
Kedua, martabat pelaku. Dalam keputusasaan dan tekanan, ia kehilangan daya untuk melihat bahwa dirinya juga berharga. Ia merasa gagal sebagai suami, sebagai penopang, sebagai manusia. Perasaan tidak berguna inilah yang meruntuhkan rasa martabatnya sendiri, hingga ia membiarkan bagian dirinya yang putus asa mengambil alih kendali.
Fenomena pembunuhan yang disusul percobaan bunuh diri dikenal sebagai homicide–suicide (HS). Meskipun jarang, kasus HS paling sering terjadi dalam konteks hubungan intim. Salah satu subtipenya adalah mercy killing atau altruisme keliru dimana pelaku percaya ia membebaskan pasangan dari penderitaan, lalu ikut mengakhiri hidupnya.
Dalam banyak kasus, kondisi sakit kronis, usia lanjut, depresi, dan peran caregiving menjadi faktor dominan. HS bukanlah impuls sesaat yang murni, melainkan hasil interaksi antara tekanan psikologis, sosial, dan kognitif. Jalan pikirannya cenderung menyempit dan dunia tampak hanya punya satu jalan keluar yaitu mengakhiri penderitaan.
Namun, perlu dicatat bahwa tidak semua HS lahir dari belas kasih. Sebagian terjadi karena riwayat kekerasan pasangan, kontrol koersif, atau kecemburuan. Oleh karena itu, setiap kasus harus dilihat dengan cermat, tanpa menyederhanakan motif.
Pada sisi bunuh diri, WHO dalam strategi global LIVE LIFE merumuskan empat pilar pencegahan: (1) membatasi akses terhadap sarana mematikan, (2) tata laksana media yang bertanggung jawab, (3) penguatan keterampilan emosional dalam masyarakat, dan (4) identifikasi–tata laksana–tindak lanjut orang berisiko. Empat strategi ini terbukti menurunkan angka bunuh diri di berbagai negara.
Dalam kasus ini, jelas terlihat bagaimana beban caregiving, depresi, moral injury, dan stres ekonomi saling berkaitan. Kombinasi inilah yang membuat pelaku masuk ke dalam lorong psikologis yang akhirnya melahirkan HS.
Apa yang perlu dilakukan agar kasus tidak berulang
Dari perspektif kesehatan jiwa komunitas, tragedi seperti ini tidak boleh dipandang sebagai kasus terisolasi, melainkan sebagai alarm untuk memperkuat sistem pencegahan dan dukungan. Langkah pertama yang penting adalah deteksi dini distres caregiver. Layanan primer seperti Puskesmas perlu berani menambahkan skrining singkat dengan pertanyaan sederhana seperti, “Apakah Anda merasa kelelahan? Apakah pernah merasa lebih baik mati saja? Apakah Anda baik-baik saja?”
Pertanyaan yang tampak sepele ini dapat membuka pintu intervensi lebih awal. Setelah teridentifikasi, intervensi psikologis berbasis bukti seperti Problem-Solving Therapy atau CBT singkat terbukti efektif dalam menurunkan depresi pada caregiver.
Selain itu, dukungan sosial dan respite care juga mutlak diperlukan. Caregiver tidak bisa terus-menerus memikul beban tanpa jeda. Mereka butuh bernapas. Program komunitas yang melibatkan keluarga besar, banjar, atau organisasi sosial dapat menyediakan waktu istirahat terjadwal. Kehadiran kelompok dukungan caregiver juga penting karena memberi ruang untuk berbagi pengalaman, menurunkan rasa isolasi, sekaligus memperkuat ikatan sosial yang melindungi kesehatan mental.
Faktor lain yang sering menjadi pemicu krisis adalah masalah finansial. Karena itu, perlu ada upaya serius mengatasi tekanan ekonomi. Banyak keluarga bukan hanya runtuh karena penyakit kronis, melainkan juga karena biaya dan utang yang menjerat.
Kolaborasi lintas sektor seperti dinas sosial, BPJS, hingga LSM harus memastikan akses bantuan keuangan darurat, restrukturisasi utang, dan program kerja fleksibel bagi caregiver. Intervensi ekonomi langsung, seperti subsidi atau konseling utang, berdampak positif terhadap kesehatan mental keluarga yang rentan.
Di sisi lain, protokol pencegahan bunuh diri berbasis WHO LIVE LIFE perlu diadopsi di tingkat lokal. Akses terhadap sarana mematikan harus dibatasi dengan edukasi tentang bahaya cairan pembersih, obat keras, dan senjata tajam. Media pun memegang peran penting seperti peliputan kasus bunuh diri dan pembunuhan harus dilakukan secara bertanggung jawab tanpa memaparkan detail metode agar tidak menimbulkan efek penularan.
Penguatan keterampilan hidup seperti regulasi emosi dan problem solving juga bisa diintegrasikan dalam program sekolah, banjar, maupun komunitas dewasa. Di layanan kesehatan, tenaga medis perlu dilatih untuk melakukan identifikasi cepat, penilaian risiko, dan tindak lanjut dalam 48–72 jam bagi individu yang menunjukkan ide bunuh diri.
Pendekatan yang peka terhadap dinamika psikologis juga tak kalah penting. Psikodinamika dan moral injury harus menjadi perhatian dalam terapi. Terapis perlu memahami ambivalensi ego state dimana ada bagian diri yang ingin mati, ada bagian yang masih ingin hidup dan memberikan validasi agar pasien merasa dipahami serta tidak semakin terjebak.
Terakhir, pencegahan hanya akan kuat jika ada rantai keselamatan komunitas. Kader kesehatan, pemilik kos, hingga tokoh adat dapat dilatih menjadi gatekeeper untuk mengenali tanda bahaya, seperti perubahan perilaku, komentar keinginan mati, atau penarikan diri sosial.
Mereka juga bisa belajar langkah sederhana seperti bertanya langsung, menemani, dan menghubungkan ke layanan profesional. Di tingkat banjar atau RT, jejaring dukungan dapat diwujudkan dalam bentuk kunjungan rutin, grup komunikasi secara daring, hingga hotline lokal. Dengan jaring pengaman ini, tidak ada lagi individu atau keluarga yang dibiarkan tenggelam sendirian dalam keputusasaan.
Mari kita belajar untuk lebih peka, lebih hadir, dan lebih berani bertanya, “Apa kabar hatimu hari ini?” Kadang, pertanyaan sederhana itulah yang mampu menahan seseorang di tepi jurang, dan mengingatkannya bahwa ia masih bagian dari kehidupan yang layak dijalani dengan martabat dan penuh cinta kasih. (Oleh: Prof Dr dr Cokorda Bagus Jaya Lesmana, SpKJ(K), MARS)
Editor: Redaksi
Reporter: bbn/tim