search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Menyelami Jiwa yang Terluka dalam Mencari Arti Kehidupan
Minggu, 20 Juli 2025, 12:39 WITA Follow
image

beritabali/ist/Menyelami Jiwa yang Terluka dalam Mencari Arti Kehidupan .

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Seorang perempuan berusia 23 tahun datang untuk wawancara psikiatri dengan penampilan yang mencerminkan tekanan emosional yang berat. Ia mengenakan pakaian berwarna hitam dan menggenggam sebuah salib di tangan kanannya. 

Ekspresi wajahnya tampak sedih, dengan mata yang berkaca-kaca dan sesekali berlinang air mata. Selama wawancara, ia berbicara dengan volume suara yang kecil, kadang terdengar serak, namun alur pikirannya tetap nyambung. Ia menunjukkan kecenderungan untuk terus bercerita dengan detail yang panjang dan sulit dihentikan.

Ia mengaku mengalami perasaan sedih yang menetap sejak dua bulan terakhir, dan keluhan ini memberat sejak satu hari sebelum pemeriksaan. Perasaan sedih ini bermula setelah konflik dengan salah satu saudaranya, yang menuduhnya menghambur-hamburkan uang orang tua hanya untuk bersenang-senang. 

Ia juga merasa sangat terbebani dengan tugas penyelesaian skripsi, dan mengalami tekanan dari keluarganya untuk segera lulus dan bekerja. Ia pernah meminjam uang sebesar Rp4,5 juta dari sepupunya untuk kebutuhan skripsi, yang kemudian diketahui keluarga dan memicu kemarahan dari saudaranya.

Ia menyampaikan bahwa kesedihannya telah mempengaruhi fungsi sehari-harinya, termasuk kesulitan dalam bekerja, penurunan konsentrasi, perasaan lemas, tidak berdaya, dan kehilangan harapan akan masa depan. Ia mengungkapkan keinginan untuk mengakhiri hidup, yang ia tunjukkan dengan cara menolak makan sejak sehari sebelumnya.

Di tengah tekanan, ia juga mendengar suara jeritan yang membuatnya ikut berteriak tanpa sadar. Kadang, ia melihat bayangan menyeramkan yang datang tanpa diundang, bahkan saat ia terjaga. Tidurnya terganggu parah, dan kelelahan fisik makin menambah berat beban pikirannya.

Dari keluarganya, ada riwayat gangguan jiwa pada kakak sulung, yang kini telah terkontrol dengan pengobatan. Ia sendiri dikenal sebagai pribadi yang pendiam, menyimpan rasa cemasnya sendiri, dan sering menyalahkan diri ketika hidup tak berjalan seperti yang diharapkan.

Luka dalam bayangan

Dunia batin pasien perempuan 23 tahun ini menyuarakan pergolakan khas dari dinamika objek internal yang terfragmentasi, penuh kecemasan, rasa bersalah, dan dorongan untuk memperbaiki namun tanpa bimbingan yang aman dari objek eksternal yang dapat diandalkan. 

Ia menunjukkan kecenderungan melihat dunia secara ekstrem dan terpisah dimana dirinya merasa sepenuhnya buruk, penuh dosa, menyusahkan orang tua, tidak berguna, dan gagal sebagai anak dan perempuan. Dunia eksternal dalam bentuk keluarga, bahkan saudara ia persepsikan sebagai penuh tuntutan, menilai, dan menghukum. Ini menandakan dominasi mekanisme splitting dan proyeksi di mana emosi negatifnya diproyeksikan ke luar, lalu ia tanggapi kembali seolah berasal dari luar dirinya.

Suara-suara teriakan dan bayangan menyeramkan yang muncul bisa ditafsirkan sebagai representasi simbolik dari objek internal yang mengejarnya yaitu bagian dari dirinya yang penuh kemarahan, rasa bersalah, dan ketakutan, yang diproyeksikan keluar dan kembali menghantui. Suara-suara ini adalah bayangan dari dalam diri yang buruk dan objek awal yang belum sepenuhnya terintegrasi dan kini kembali sebagai bentuk ancaman.

Namun, yang paling menonjol dalam kasus ini adalah kondisi depresif yang sangat kuat dimana ia merasa telah menghancurkan objek-objek baik dalam hidupnya yaitu orang tua, saudara, bahkan masa depan. Ia merasa tidak mampu memperbaiki kesalahan tersebut. 

Mekanisme introyeksi membuat rasa bersalah dan tidak layak terus berputar dalam pikirannya, menciptakan kehampaan yang dalam dan keinginan untuk menghukum diri sendiri. Hal ini terlihat dari penolakan makan, kehilangan harapan, dan keinginan untuk mati. 

Ini adalah upaya tidak sadar untuk "membatalkan" kejahatan yang ia rasakan dan telah ia lakukan terhadap objek baik, sekaligus melindungi objek internal tersebut dari kehancuran lebih lanjut. Namun, tanpa kapasitas perbaikan yang cukup, ia terjebak dalam siklus depresif yang memperparah luka batin.

Masih ada harapan yang tersisa    

Dari sudut pandang psikospiritual, krisis yang dialami perempuan ini bukan hanya krisis emosional atau mental, melainkan juga krisis makna. Ia sedang mengalami guncangan identitas dalam peran sebagai anak, sebagai mahasiswa, sebagai individu yang diharapkan segera “berhasil” dan bertabrakan dengan kenyataan bahwa ia merasa tidak cukup, tidak mampu, dan tidak layak. Ia merasa gagal di mata orang lain, dan lebih menyakitkan lagi, ia gagal di mata dirinya sendiri.

Dalam situasi seperti ini, dimensi spiritual seringkali menjadi tempat terakhir yang bisa dipegang. Saat ia menggenggam salib di tangan kanannya ada banyak makna yang bisa dilihat. Salib merupakan simbol yang sarat makna, mencerminkan dimensi religius, psikospiritual, dan psikologis yang dalam. 

Dalam tradisi Kristiani, salib melambangkan pengorbanan, kasih tanpa syarat, dan penebusan dosa melalui penderitaan Yesus Kristus. Genggaman seseorang terhadap salib sering kali bukan hanya tindakan keagamaan semata, tetapi juga bentuk ekspresi harapan di tengah penderitaan.

Secara psikospiritual, salib menjadi pegangan simbolik ketika jiwa merasa rapuh, sebagai bentuk pencarian makna, perlindungan, dan pengampunan, baik dari Tuhan, dari orang lain, maupun dari diri sendiri. Dalam perspektif psikodinamik, salib dapat dimaknai sebagai objek transisional yang mewakili kebutuhan akan kehadiran figur yang mengasihi dan menerima secara utuh, di tengah kecemasan akan penolakan dan penghukuman. 

Salib juga menjadi simbol dari keinginan untuk melakukan pemulihan, yaitu memperbaiki kerusakan batin yang dirasa telah terjadi. Sementara dalam pandangan eksistensial, salib mencerminkan beban kehidupan yang harus dipikul setiap individu, namun sekaligus menjadi lambang keberanian untuk tetap bertahan di tengah kesulitan. 

Dalam konteks pasien yang sedang mengalami krisis jiwa, simbol salib yang ia genggam bukan sekadar lambang agama, tetapi ekspresi terdalam dari kerinduan untuk didengar, dipahami, dan diampuni. Ia memikul rasa bersalah, luka harga diri, dan kehilangan, tanpa ruang yang aman untuk menyalurkannya. Tuhan, bagi banyak jiwa yang rapuh, sering kali menjadi satu-satunya saksi bisu yang dirasa masih bisa menerima mereka apa adanya.

Suara-suara yang ia dengar berupa teriakan di telinga dan bayang-bayang menakutkan, bisa dibaca secara simbolik sebagai manifestasi dari konflik batin yang belum terselesaikan. Bisa jadi, itu adalah bentuk eksternalisasi dari rasa sakit, ketakutan, dan penolakan yang telah lama dipendam. Dalam spiritualitas yang sehat, pengalaman semacam ini bisa diolah menjadi momen transformasi, namun bila tidak dipandu dengan tepat, ia justru menjelma menjadi penderitaan yang membingungkan dan menakutkan.

Ia kini berada di titik nadir di antara kehampaan dan harapan, antara rasa ingin menyerah dan dorongan untuk bertahan. Ia membutuhkan ruang untuk mengintegrasikan pengalaman batin dan spiritualnya, tanpa penghakiman. Ia tidak hanya perlu didengarkan, tetapi juga dipandang sebagai jiwa yang sedang berjuang menemukan makna di tengah luka.

Bayangan identitas dan hilangnya peran diri

Krisis yang dialami perempuan ini bukan sekadar soal akademik atau keluarga tetapi tentang pencarian makna siapa dirinya di tengah harapan yang menyesakkan. Krisis identitas tampak belum terselesaikan dan bahkan diperparah oleh tekanan dari lingkungan sosial dan keluarga. 

Ia menghadapi konflik peran yang kompleks dimana ia diharapkan menjadi anak yang berbakti, mahasiswa yang segera lulus, serta pribadi dewasa yang mandiri secara finansial. Tuntutan ini muncul dalam waktu bersamaan, tanpa cukup ruang bagi dirinya untuk memahami dan merumuskan identitas pribadinya secara bebas. 

Akibatnya, ia terjebak dalam kebingungan peran, di mana identitas dirinya menjadi kabur, terfragmentasi, dan penuh keraguan. Ia merasa tidak cukup baik, tidak berguna, dan penuh rasa bersalah, yang pada akhirnya mendorongnya pada rasa tidak berdaya dan keputusasaan.

Di sisi lain, ia baru saja mengalami putus hubungan asmara, kehilangan yang memperburuk rasa keterasingan. Ia kehilangan figur yang mungkin sempat menjadi cermin dan sandaran identitas. Ketika dukungan sosial dari keluarga pun lebih menyerupai tekanan daripada penerimaan, ia menjadi semakin terisolasi secara emosional.

Kecenderungannya untuk memendam masalah, menarik diri saat cemas, dan menyalahkan diri sendiri memperlihatkan kurangnya pengalaman lingkungan yang aman dan suportif untuk eksplorasi diri. Hal ini memperkuat kegagalan dalam menyelesaikan tugas perkembangan di tahap ini, yang idealnya menghasilkan keutuhan identitas dan rasa percaya diri.

Menyelamatkan jiwa yang nyaris padam    

Terdapat beberapa faktor risiko utama untuk bunuh diri pada kasus ini, perasaan tidak berharga, putus asa, hilangnya minat hidup, penarikan sosial, gangguan tidur, penurunan nafsu makan, serta adanya ide bunuh diri pasif (menolak makan sebagai bentuk keinginan mengakhiri hidup). 

Ia juga menunjukkan riwayat mood swing (semangat berlebihan tahun lalu) yang mengindikasikan gangguan mood dengan episode depresif dan kemungkinan bipolar, yang juga merupakan faktor risiko penting dalam bunuh diri. Gejala halusinasi auditorik dan visual menambah kompleksitas, karena bisa menjadi pemicu impuls bunuh diri secara mendadak, terutama bila suara-suara yang didengar bersifat mengancam atau menyuruh.

Selain faktor internal, tekanan keluarga dan lingkungan menjadi pemicu penting yang memperparah kondisi psikologisnya. Keluarga justru menambah tekanan yang dapat memperkuat rasa tidak diterima, memperdalam isolasi emosional, dan mendorong munculnya ide-ide untuk mengakhiri hidup. Tidak adanya ruang aman untuk mengekspresikan rasa sakit juga menyebabkannya memendam semua beban dan menyalahkan diri sendiri. Hal ini adalah kombinasi yang sangat berbahaya bagi jiwa yang rapuh.

Dari sisi pencegahan, upaya pertama yang harus dilakukan adalah stabilisasi kondisi psikologis melalui asesmen risiko bunuh diri secara menyeluruh, termasuk evaluasi keinginan bunuh diri, rencana, dan kemampuan melakukan bunuh diri. Meskipun saat ini ia belum melakukan tindakan aktif, ide bunuh diri pasif dan gejala psikotik menunjukkan bahwa intervensi medis segera sangat dibutuhkan. Psikoterapi suportif awal dapat digunakan untuk menurunkan distress, membangun relasi terapeutik, dan membuka ruang eksplorasi rasa sakit yang selama ini tersembunyi.

Selanjutnya, pendekatan berbasis dukungan sosial dan sistem keluarga harus diaktifkan. Keluarga perlu diberi edukasi bahwa tekanan bukanlah solusi, dan bahwa mendengarkan dengan empati jauh lebih menyembuhkan daripada menuntut. Pendekatan komunitas atau spiritual juga dapat menjadi pelengkap penting dalam proses pemulihan, selama tidak disalahgunakan menjadi alat penghakiman moral. Menemukan arti "mengapa" untuk tetap hidup adalah kunci utama dalam mengatasi dorongan mengakhiri hidup. (Prof. Cokorda Bagus Jaya Lesmana)

Editor: Redaksi

Reporter: bbn/tim



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami