Tragis, Minyak Telon Jadi Simbol Putus Asa dalam Kasus Upaya Bunuh Diri
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Seorang perempuan berusia 30 tahun ditemukan tidak sadarkan diri di kamarnya, dengan botol minyak telon bayi berisi 60 ml yang telah kosong serta gelas plastik berbau minyak telon di samping tempat tidur.
Ia kemudian sadar dan mengalami muntah berulang lebih dari 10 kali. Di antara muntah, ia menangis dan mengungkapkan keputusasaan yang mendalam. Ia kemudian mengatakan "Kenapa saya tidak mati padahal dari chat GPT minum minyak telon dapat membuat orang meninggal?!".
Ia juga menyebut bahwa keluarganya tidak akan peduli, bahkan mungkin menertawakannya. Ia sempat mengalami halusinasi pendengaran yang menyuruhnya mengonsumsi lebih banyak minyak telon agar “benar-benar mati.”
Dari Tindakan ke Makna
Kasus ini bukan sekadar tindakan impulsif menelan zat berbahaya, melainkan ekspresi psikologis yang kompleks dari keputusasaan, kesepian, dan keinginan untuk "didengar".
Dalam psikiatri, ini dapat digolongkan sebagai upaya bunuh diri dengan intensi yang nyata, disertai gangguan persepsi (halusinasi auditorik), kemungkinan besar dalam konteks gangguan depresi berat dengan fitur psikotik.
Jika kita menganalisis lebih dalam melalui lensa psikodinamik, tindakan ini bisa dimaknai sebagai agresi yang dialihkan ke dalam diri, didorong oleh dorongan destruktif dan rasa bersalah yang mungkin tidak disadari.
Baca juga:
Saat Ibu Muda Kehilangan Suara: Konflik Rumah Tangga dan Seruan Minta Tolong yang Terabaikan
Dalam kerangka psikoanalitik klasik, keinginan bunuh diri bisa muncul dari konflik antara id, ego, dan superego, khususnya ketika superego menjadi sangat menghukum dan membangkitkan rasa bersalah yang tidak tertahankan muncul dalam bentuk dorongan untuk menyakiti diri. Perempuan ini tampaknya menginternalisasi penolakan yang ia alami menjadi kebencian terhadap dirinya sendiri.
Adanya negative cognitive triad pada depresi, yakni pandangan negatif terhadap diri sendiri (“Saya tidak berharga”), terhadap dunia (“Tidak ada yang peduli”), dan terhadap masa depan (“Tidak ada harapan untuk berubah”). Ketiga komponen ini sangat nyata dalam pernyataan pasien yang menyalahkan diri, merasa tidak dicintai oleh keluarga, dan kehilangan harapan untuk keluar dari penderitaannya.
Dalam konteks upaya bunuh diri, kita mengenal suicidal triad, yang terdiri dari perasaan menjadi beban, keterasingan sosial, dan kapabilitas untuk melakukan tindakan menyakiti diri. Perempuan ini menunjukkan ketiganya dimana ia merasa tidak dicintai dan diabaikan, terputus dari relasi interpersonal yang bermakna, serta telah melampaui hambatan naluriah terhadap kematian dengan mencoba metode yang ia yakini mematikan.
Pemilihan minyak telon bukan hanya soal pilihan zat secara fungsional, melainkan menyimpan makna simbolik yang mendalam dan relevan secara psikodinamik maupun budaya. Minyak telon dalam budaya Indonesia, khususnya di keluarga, adalah simbol kehangatan, perawatan, dan kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya.
Minyak ini sering digunakan untuk bayi, dioleskan dengan lembut oleh orang tua sebagai bentuk keintiman emosional dan rasa aman. Oleh karena itu, ketika seorang perempuan dewasa memilih menelan minyak telon dalam konteks mencoba mengakhiri hidupnya, ini dapat ditafsirkan sebagai tindakan simbolik yang paradoksal dimana menggunakan lambang kasih sayang untuk menyampaikan penderitaan, penolakan, dan kerinduan terhadap kehangatan yang hilang.
Tindakan ini mencerminkan regresi psikologis ke fase awal perkembangan di mana kebutuhan akan perlindungan, pemeliharaan, dan penerimaan sangat dominan. Individu yang mengalami penolakan emosional dan keterasingan sosial mungkin tanpa sadar kembali pada simbol-simbol awal kehidupan yang diasosiasikan dengan rasa aman.
Namun dalam kondisi frustasi yang ekstrem, simbol itu dibalikkan menjadi alat untuk melukai diri seolah-olah ingin berkata, “Aku kembali ke sumber cinta itu, tapi ia tidak menyelamatkanku.” Ini juga bisa menjadi bentuk acting out yang ditujukan kepada figur signifikan (orang tua, pasangan, keluarga), menunjukkan kemarahan bercampur luka bahwa simbol kasih sayang paling awal pun tidak mampu menenangkan rasa sakit yang dirasakan.
Dalam kerangka psikoanalisis klasik, bisa dikatakan bahwa tindakan ini mengekspresikan konflik antara dorongan hidup (Eros) dan dorongan kematian (Thanatos). Ia mungkin menyimpan pengalaman ditolak, ditinggal, atau tak dicintai, memilih simbol perawatan sebagai saluran destruktif yang mungkin sebagai cara untuk menghukum diri sendiri sekaligus menyampaikan pesan sunyi kepada dunia bahwa yang tersakitkan adalah bagian terdalam dari dirinya yang dulu pernah dicintai.
Secara budaya juga memberi makna bahwa minyak telon adalah bagian dari ritual harian keibuan dan pengasuhan. Dalam konteks perempuan, terutama yang memiliki konflik dalam relasi atau peran gender, penggunaan minyak telon bisa menyiratkan konflik identitas keibuan, luka dalam relasi masa kecil, atau perasaan gagal dalam memenuhi ekspektasi sebagai ibu atau anak.
Ini menyiratkan bahwa tindakan pasien bukan semata pencarian kematian, tetapi juga teriakan simbolik akan kehilangan makna dalam relasi dan kasih sayang.
Dengan demikian, tindakan meminum minyak telon bukan semata tindakan impulsif, melainkan puncak dari dinamika psikis yang kompleks, akumulasi konflik batin, pengabaian sosial, dan distorsi kognitif yang tidak tertolong.
Kenapa saya tidak mati?
Kajian kasus ini melalui teori eksistensial membuka pemahaman mendalam tentang penderitaan manusia yang melampaui gejala klinis dan masuk ke wilayah makna, kebebasan, keterasingan, dan tanggung jawab eksistensial. Tindakan percobaan bunuh diri bukan sekadar hasil dari gangguan psikiatri, melainkan juga ekspresi dari krisis makna dan kehampaan eksistensi.
Perempuan ini menunjukkan tanda-tanda keputusasaan mendalam dimana ia mempertanyakan mengapa dirinya tidak mati, menyatakan bahwa orang-orang terdekat tidak peduli, dan mengalami halusinasi auditorik yang menyuruhnya menelan lebih banyak minyak telon agar bisa benar-benar mati.
Dalam sudut pandang eksistensial, pernyataan-pernyataan ini mencerminkan rasa terbuang ke dalam dunia yang tak bermakna dan pengalaman ditinggalkan oleh dunia yang seharusnya menjadi tempat relasi, pengakuan, dan kasih sayang. Ia merasa terputus dari orang lain (alienasi) dan mengalami kehilangan identitas atas hidupnya sendiri, seakan tidak punya tempat di dunia sehingga kematian dipersepsikan bukan sebagai kehancuran, tetapi sebagai bentuk pelarian dari kekosongan makna hidup.
Penderitaan tanpa makna dapat membawa seseorang ke tepi kehancuran psikologis. Ia tampak tidak hanya mencari kematian, tetapi juga menggugat makna hidup yang tidak ia temukan dalam relasi personal maupun dalam eksistensinya sebagai individu. Ia mencoba melakukan sebuah bentuk existential protest atas kehidupan yang terasa hampa dan penuh luka.
Ia mungkin merasa tidak memiliki pilihan nyata atau, lebih tragis lagi, bahwa pilihannya tidak pernah dihargai. Ia tidak hanya menderita secara psikis, tetapi juga merasa tidak dilihat, tidak didengar, tidak bermakna bagi orang lain. Dari sinilah tumbuh keputusasaan yang nyata, bukan hanya psikopatologis.
Lebih jauh, krisis yang dialami perempuan ini juga mencerminkan empat ultimate concerns yaitu kematian, kebebasan, isolasi, dan ketiadaan makna. Ia dihadapkan pada kematian sebagai realitas yang ia kejar, bukan karena ingin mati, tetapi karena hidup tidak lagi berarti. Kebebasan yang dimilikinya menjadi sumber kecemasan, karena ia merasa tidak punya kuasa untuk mengubah nasibnya. Isolasi muncul dalam keyakinannya bahwa tidak ada satu pun orang yang benar-benar peduli, dan akhirnya ia terjebak dalam perasaan bahwa hidupnya tidak memiliki nilai.
Literasi digital dan nasihat medis
Keterangan bahwa informasi diperoleh dari platform AI seperti ChatGPT menjadi peringatan bagi kita semua mengenai pentingnya literasi digital dan pemahaman konteks dalam penggunaan teknologi. ChatGPT atau platform sejenis bukanlah sumber nasihat medis, dan tanpa bimbingan profesional, informasi bisa disalahartikan.
Kajian tentang digitalisasi, khususnya penggunaan ChatGPT dan teknologi AI sejenis, dalam konteks kesehatan mental, memunculkan sejumlah refleksi penting baik dari segi potensi manfaat maupun risiko psikososialnya.
Dalam kasus pasien yang mencoba bunuh diri dengan menelan minyak telon setelah membaca bahwa minyak tersebut “mematikan” dari ChatGPT, kita menyaksikan bagaimana persepsi informasi digital dapat berdampak langsung terhadap tindakan nyata, bahkan tindakan yang mengancam nyawa.
Dari sisi positif, kehadiran AI seperti ChatGPT memberikan akses luas terhadap informasi psikologis dan kesehatan mental, terutama di wilayah atau komunitas yang minim tenaga profesional. ChatGPT dapat membantu memberikan edukasi awal, mendorong pencarian bantuan, serta menjadi sarana ekspresi diri bagi individu yang merasa kesepian atau malu mencari pertolongan langsung.
Namun, di sisi lain, AI bukanlah entitas terapeutik atau diagnostik yang memahami konteks pribadi, latar budaya, atau kerentanan emosi pengguna. Dalam kondisi distress berat, interpretasi literal terhadap informasi dari AI bisa berbahaya, sebagaimana tampak dalam kasus ini.
Apa yang terjadi dalam kasus ini merupakan cerminan dari fenomena digital disinhibition, yaitu kecenderungan individu untuk terlalu percaya dan menanggapi secara emosional informasi dari internet karena terasa privat dan “netral” padahal hubungan manusia dan makna psikologisnya tidak dapat digantikan oleh algoritma.
Tanpa supervisi profesional dan literasi digital yang memadai, AI dapat menjadi pisau bermata dua yang bisa mengedukasi sekaligus menyesatkan.
Kasus ini juga mengingatkan kita bahwa intervensi kesehatan mental di era digital harus melibatkan pendekatan kritis terhadap teknologi, tidak sekadar mempromosikan penggunaan aplikasi AI, tetapi juga memastikan bahwa penggunaannya tidak menggantikan hubungan manusia yang empatik, reflektif, dan bermakna.
Teknologi seharusnya menjadi alat bantu, bukan pengganti, dan harus dirancang dengan sistem mitigasi risiko yang baik, termasuk disclaimer jelas, sistem eskalasi ke bantuan profesional, serta kolaborasi erat antara developer AI dan ahli kesehatan jiwa.
Dengan demikian, penting bagi kita sebagai psikiater untuk aktif dalam membentuk etika dan kebijakan penggunaan AI dalam kesehatan mental, sekaligus mendidik masyarakat agar mewaspadai batas antara informasi dan pertolongan klinis yang sebenarnya. Kesehatan mental adalah ruang sensitif yang membutuhkan kehadiran manusia, bukan hanya logika mesin.
Setiap orang yang berada dalam keadaan kritis dimana tidak ditemukan satu jalan pun untuk mengatasi permasalahan yang dianggapnya sangat berat, ada terbetik keinginan untuk mengakhiri hidup ini. Namun tidak semua orang berani melakukan hal ini. Hanya mereka yang sudah tidak dikendalikan oleh pemikiran wajar dan norma-norma hidup yang dianutnya, mau dan berani melakukannya.
Editor: Redaksi
Reporter: bbn/tim