Dari Luka Jiwa ke Harapan Baru: Kisah Pria yang Pernah Coba Akhiri Hidupnya Karena Luka Lama dan Stigma

bbn/beritabali/Dari Luka Jiwa ke Harapan Baru: Kisah Pria yang Pernah Coba Akhiri Hidupnya Karena Luka Lama dan Stigma.
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Ketika seorang pria berusia 38 tahun datang ke layanan kesehatan mental setelah mencoba mengakhiri hidupnya.
Ia mengeluhkan perasaannya marah dan kesal kepada ibunya karena membanding bandingkan dirinya dengan saudara sepupunya yang sudah mapan dan berkeluarga, merasa hidupnya tak lagi berarti.
Didiagnosis dengan epilepsi akibat cedera kepala berat di usia 16 tahun. Hidupnya berubah drastis dimana ia terpaksa berhenti kuliah, tidak bekerja, dan kini hanya membantu ibunya di rumah. Ia mengatakan ibunya cerewet dan banyak bicara. Ia juga merasa yakin bahwa sepupunya tidak suka dengan dirinya.
Ia mengatakan mempunyai maag kronis dan mengaku iri dengan ibunya yang bisa makan bebas, sedangkan dirinya hanya bisa makan bubur dan roti. Di balik kemarahan terhadap ibunya dan perasaan minder saat berkumpul bersama keluarga, tersembunyi akumulasi luka emosional yang belum pernah benar-benar disembuhkan.
Dalam kesehariannya, ia harus menghadapi stigma serta penolakan sosial yang membentuk luka emosional yang mendalam. Saat acara adat seperti ngaben yang seharusnya menjadi ruang kebersamaan, justru memperkuat rasa rendah dirinya. Dari sinilah, tekanan batin mencapai titik puncaknya dan ia mencoba mengakhiri hidup dengan menenggak oli dan detergen di rumahnya.
Dari Cedera Otak ke Cedera Jiwa
Cedera otak akibat kecelakaan motor di usia 16 tahun kemungkinan besar menyebabkan trauma otak traumatik (TBI) yang berdampak pada area otak seperti lobus temporal dan sistem limbik, yang memainkan peran penting dalam pengaturan emosi dan memori.
Kondisi ini dapat menimbulkan epilepsi pascatrauma yang bukan hanya menghasilkan kejang, tetapi juga memicu disregulasi pada sirkuit otak yang mengatur emosi dan motivasi, seperti amigdala dan prefrontal cortex.
Hiperaktivitas amigdala menjelaskan mengapa pasien sangat reaktif secara emosional, mudah tersinggung, dan mengalami rasa ditolak yang intens, sementara hipoaktivitas di area prefrontal cortex (terutama dorsolateral dan ventromedial) dapat menyebabkan kesulitan dalam mengendalikan impuls, merencanakan masa depan, dan menilai situasi secara rasional. Semuanya merupakan faktor risiko utama untuk keinginan bunuh diri.
Disfungsi neurotransmiter juga memainkan peran besar dalam kondisi ini. Penurunan aktivitas serotonin di otak berhubungan erat dengan depresi, gangguan tidur, penurunan nafsu makan, dan munculnya pikiran bunuh diri. Ketidakseimbangan sistem dopamin juga dapat menyebabkan hilangnya motivasi dan rasa tidak berharga, yang dikenal sebagai anhedonia.
Pada pasien epilepsi, ketidakseimbangan antara glutamat (neurotransmiter eksitator) dan GABA (inhibitor) memperparah ketegangan emosional dan menurunkan kemampuan regulasi emosi. Selain itu, kejang berulang dan cedera otak dapat memicu aktivasi mikroglia dan neuroinflamasi kronik, yang berdampak pada konektivitas jaringan otak dan menurunkan kapasitas neuroplastisitas otak dalam memperbaiki dan menyesuaikan diri. Ini membuat pasien kesulitan bangkit kembali secara psikologis dan kognitif setelah mengalami tekanan atau trauma.
Penelitian neuroimaging pada pasien dengan ide bunuh diri menunjukkan pola yang konsisten berupa aktivitas berlebih pada amigdala terhadap emosi negatif, dan aktivitas yang menurun di korteks prefrontal yang bertugas untuk pengendalian diri dan pengambilan keputusan. Dengan kata lain ia mengalami kombinasi fatal antara tekanan emosional yang berat dan lemahnya kendali kognitif terhadap impuls, yang meningkatkan kerentanan terhadap tindakan bunuh diri.
Antara Cinta, Kekhawatiran, dan Luka
Dari sudut pandang psikiatri, penderitaan emosional yang dialami pria ini dapat dipahami sebagai hasil dari dinamika hubungan awal yang belum terselesaikan, khususnya dengan figur ibu sebagai objek utama. Sejak bayi, individu menginternalisasi pengalaman relasional dengan objek-objek penting, terutama ibu, yang kemudian membentuk dasar struktur kepribadian dan pola hubungan sepanjang hidup.
Dalam kasus ini, kemarahan, kekecewaan, dan rasa tidak dihargai yang ditujukan kepada ibu bukan semata respons terhadap pengalaman terkini, tetapi lebih dalam dari itu merupakan ekspresi dari konflik batin yang bersumber dari internalisasi objek ibu yang ambivalen.
Sang ibu dilihat secara simultan sebagai sumber kasih dan kontrol, penerimaan dan penolakan, perlindungan dan tekanan. Ini menunjukkan bahwa ia masih berada dalam posisi kecenderungan splitting dimana ia memisahkan dunia menjadi baik atau buruk, tanpa adanya integrasi sehingga ibu dan sepupunya menjadi simbol dari objek yang menyakitkan dan memalukan.
Selain itu, peran iri hati sebagai emosi dasar yang destruktif, terutama terhadap objek yang dirasakan lebih beruntung atau berkuasa. Ketika ia mengatakan iri kepada ibunya yang bebas makan atau kepada sepupunya yang sudah menikah dan mapan, hal ini mencerminkan fantasi tidak sadar bahwa orang lain memiliki sesuatu yang tidak bisa ia miliki dan bahwa mereka mungkin ingin merampas atau merusaknya.
Dalam perspektif psikiatri, tindakan meminum oli dan detergen bukan hanya tindakan untuk mengakhiri hidup, melainkan juga simbol dari upaya untuk menghancurkan diri sendiri sebagai bentuk hukuman atas rasa iri dan marah yang tidak bisa ia terima secara sadar. Perasaan bersalah yang muncul setelah ledakan emosi ini juga khas dari keadaan depresif.
Ia mulai menyadari bahwa objek yang ia benci juga adalah objek yang ia butuhkan dan cintai, namun ia tidak memiliki kapasitas untuk memperbaikinya, sehingga yang muncul adalah perasaan depresi, putus asa, dan rasa tidak berharga yang mendalam.
Dalam hal ini penting untuk dipahami bahwa penyembuhan psikologis tidak hanya bertujuan meredakan gejala, tetapi juga menolong individu mengenali, menerima, dan mengintegrasikan aspek-aspek diri yang selama ini terpecah dan terproyeksikan keluar.
Dalam konteks klinis, pendekatan psikoanalitik yang berorientasi pada hubungan objek dapat membantu seseorang memahami dinamika emosionalnya secara lebih mendalam, memperbaiki representasi internal tentang ibu dan dirinya sendiri, serta membangun kapasitas untuk memperbaiki dan berdamai dengan masa lalu. Relasi terapeutik yang stabil, empatik, dan konsisten dapat menjadi wadah bagi pasien untuk mengalami ulang hubungan awal yang menyakitkan secara lebih sehat dan transformatif.
Penanganan kegawat daruratan
Dalam perspektif emergensi psikiatri, kondisi pria ini jelas masuk ke dalam kategori krisis akut dengan risiko bunuh diri yang tinggi, mengingat adanya riwayat konsumsi zat beracun (oli dan detergen) sebagai bentuk upaya bunuh diri yang nyata, bukan sekadar ide atau ancaman. Ini bukan hanya peringatan dini, tetapi sudah merupakan tindakan yang membutuhkan intervensi segera.
Menurut standar praktik psikiatri, pasien dengan percobaan bunuh diri aktif harus mendapatkan observasi ketat di lingkungan yang aman seperti ruang rawat inap dengan pengawasan. Sebuah asesmen risiko bunuh diri secara sistematis dan pemberian intervensi farmakologis serta psikososial awal perlu dilakukan untuk menstabilkan kondisi emosionalnya.
Hal ini menjadi sangat penting karena ia memiliki sejumlah faktor risiko yang saling memperkuat, seperti riwayat gangguan neurologis kronis (epilepsi), kehilangan fungsi sosial (tidak bekerja, tidak menikah), konflik keluarga yang berulang, serta adanya perasaan putus asa dan tak berdaya yang mendalam.
Dari pendekatan medis, penting dilakukan pemeriksaan neurologis lanjutan untuk memastikan bahwa epilepsinya terkontrol secara optimal, karena ketidakstabilan kejang dapat memperburuk kondisi mental. Di saat bersamaan, harus dilakukan pembatasan akses terhadap alat atau zat berbahaya di lingkungan rumah, serta membangun aliansi terapeutik dengan pasien dan keluarga, guna meningkatkan kepatuhan terhadap terapi dan mengurangi isolasi emosional.
Psikiater juga perlu memulai intervensi psikofarmaka yang aman. Pada tahap ini, pendekatan empatik yang tidak menghakimi menjadi krusial, karena banyak pasien dalam kondisi seperti ini mengalami penolakan dan stigma, baik dari diri sendiri maupun lingkungan.
Setelah fase akut tertangani, intervensi emergensi harus segera dialihkan ke perawatan lanjutan dan rehabilitatif, termasuk psikoterapi suportif atau dinamis, terapi keluarga, dan integrasi layanan sosial yang memungkinkan pasien mendapatkan kembali peran produktifnya dalam kehidupan.
Krisis seperti ini sebenarnya bisa menjadi jendela peluang untuk pemulihan menyeluruh, asalkan ditangani dengan cepat, manusiawi, dan terkoordinasi lintas profesi. Maka, dalam konteks kegawatdaruratan psikiatri, fokus utama bukan hanya menyelamatkan nyawa, tetapi juga memulihkan harapan hidup yang sempat hilang.
Dari Luka Menuju Makna
Kasus di atas mengingatkan kita bahwa di balik gejala dan diagnosis, selalu ada manusia yang terluka, bukan hanya tubuh yang sakit. Ia bukan sekadar pasien dengan epilepsi dan depresi, melainkan seorang individu yang pernah memiliki harapan, cita-cita, dan keinginan untuk hidup bermakna namun merasa dihentikan oleh keterbatasan, ketidakmengertian, dan tekanan sosial.
Mari kita tidak hanya memfokuskan perhatian pada apa yang salah dalam diri seseorang, tetapi juga pada apa yang masih mungkin tumbuh dan pulih di dalam dirinya.
Harapan, makna, relasi yang otentik, dan kemampuan untuk bangkit adalah aspek yang tetap dapat dikembangkan, bahkan dalam kondisi penderitaan yang berat sekalipun. Mungkin saat ini ia belum mampu bekerja, belum dapat hidup mandiri, dan masih dikelilingi oleh bayang-bayang luka masa lalu.
Namun dengan pendekatan yang penuh empati, relasi terapeutik yang aman, dan dukungan yang tidak menghakimi, ia tetap memiliki peluang untuk menemukan kembali martabat dan harapan dirinya. Kekuatan pemulihan tidak selalu datang dari intervensi medis semata, tetapi dari rasa didengar, dimengerti, dan dipercaya bahwa ia masih bisa menjadi pribadi yang utuh, bukan pecahan dari kegagalan masa lalu.
Sebagai psikiater, tenaga kesehatan, maupun anggota keluarga, tugas kita bukan hanya menyembuhkan, tetapi juga menemani dalam proses menjadi manusia yang lebih sadar, lebih kuat, dan lebih penuh makna. Karena pada akhirnya, pemulihan sejati bukan sekadar ketiadaan gejala, tetapi kembalinya harapan dan kemampuan mencintai hidup meski dalam keterbatasan.
Editor: Redaksi
Reporter: bbn/tim