search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Saat Panik, Duka, dan Luka Lama Bertemu

Minggu, 10 Agustus 2025, 16:44 WITA Follow
image

bbn/ilustrasi/Saat Panik, Duka, dan Luka Lama Bertemu.

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Seorang laki-laki berusia 21 tahun dibawa istrinya ke fasilitas kesehatan dengan keluhan perasaan tidak nyaman, campuran sedih, hampa, kesal, dan bingung. 

Serangan panik datang hampir setiap hari sejak ia menyaksikan ibunya meninggal di depan mata. Gejala berupa dada berdebar, leher terasa tercekik, keringat dingin, hingga membuatnya bolak-balik ke UGD.

Namun di balik rasa kehilangan, tersimpan juga luka lama, memori masa kecil yang penuh kemarahan karena kekerasan fisik dari sang ibu seperti memukul dengan sapu atau memasukkannya ke dalam bak mandi. Kini ia tidak hanya berduka, tetapi juga berperang dengan perasaan ambivalen, rindu sekaligus marah, sedih sekaligus bersalah.

Selama 1,5 minggu, gairah hidupnya menurun drastis. Hobi bermain game yang biasanya membawa kegembiraan, kini terasa hambar. Ia kehilangan konsentrasi, merasa masa depan suram, dan mulai melakukan goresan di tangan sebagai pelepasan ketegangan. Ada pula pengalaman mendengar suara-suara yang memanggilnya, dan bayangan wajah ibunya terus hadir. Bagaimana kita bisa memahami kondisi ini?

Luka masa kecil, duka yang tak selesai

Dalam kerangka psikodinamik, pengalaman emosional seseorang tidak berdiri sendiri, melainkan terhubung dengan sejarah panjang hubungan masa lalunya terutama dengan figur signifikan seperti orang tua. Kematian ibu memunculkan konflik ambivalensi yang kuat. 

Di satu sisi, ia kehilangan sosok ibu yang secara biologis dan emosional adalah bagian dari dirinya. Di sisi lain, ada memori masa kecil yang penuh rasa sakit berupa pengalaman kekerasan fisik yang meninggalkan luka psikologis mendalam. Hubungan seperti ini membentuk ikatan ganda (love-hate relationship), di mana cinta dan amarah hidup berdampingan dalam ketegangan.

Kematian ibu menjadi pemicu utama reaktivasi luka lama (retraumatization). Luka itu sebelumnya mungkin tersembunyi di bawah kesibukan dan aktivitas sehari-hari, namun kini terbuka lebar. Peristiwa kehilangan ini bukan hanya tentang kepergian fisik ibu, tetapi juga membangkitkan pertanyaan tak terjawab dan emosi yang belum pernah diproses. 

Mengapa ia diperlakukan kasar di masa kecil? Apakah ia masih marah? Apakah wajar ia merasa lega sekaligus bersedih? Konflik batin ini menimbulkan rasa bersalah tidak disadari (unconscious guilt). Ada bagian dari dirinya yang merasa tidak pantas untuk berduka sepenuhnya, karena masih menyimpan kemarahan. Rasa bersalah ini menjadi bahan bakar bagi super-ego yang keras, bagian dari kepribadian yang menghakimi diri sendiri yang mendorongnya untuk menghukum diri, baik secara emosional maupun fisik, seperti dengan melukai diri (self-harm).

Selain itu gejala panik yang ia alami dapat dipahami sebagai bentuk konversi emosi yang tak terucapkan menjadi sensasi fisik. Ketika rasa kehilangan, marah, dan bersalah tidak menemukan jalur ekspresi yang aman, tubuh mengambil alih sehingga muncul perasaan leher terasa tercekik, dada berdebar, keringat dingin. Mekanisme ini adalah bentuk somatisasi, di mana tubuh berbicara saat pikiran tidak sanggup melakukan asosiasi.

Kemunculan intrusi bayangan wajah ibu dan halusinasi suara memanggil mencerminkan proses psikodinamik yang disebut hallucinatory wish fulfillment sebuah pemikiran yang berusaha mempertahankan kehadiran figur yang hilang melalui gambaran dan suara, Ada upaya mengekspresikan konflik batin melalui tindakan impulsif seperti melukai diri atau penggunaan zat (rokok, alkohol).

Keseluruhan dinamika ini menunjukkan bahwa kematian ibu tidak hanya memicu reaksi berduka, tetapi juga membongkar lapisan-lapisan konflik lama yang belum terselesaikan sejak masa kanak-kanak. Konflik ini dapat berlanjut menjadi gangguan mood, kecemasan kronis, atau perilaku menyakiti diri yang berulang.

Kehilangan ibu dan krisis emosional

Dalam perspektif psikososial, kematian ibu bagi seorang laki-laki berusia 21 tahun bukan hanya kehilangan figur keluarga, tetapi juga hilangnya salah satu pilar penting dalam jaringan dukungan emosional. Meskipun hubungan masa lalu diwarnai konflik dan kekerasan, keberadaan ibu tetap memiliki makna simbolis sebagai bagian dari identitas dan akar keluarga. 

Kehilangan ini menciptakan kekosongan yang diperparah oleh kekhawatiran akan masa depan anaknya yang akan tumbuh tanpa kakek dan nenek. Beban peran sebagai suami dan ayah muda di tengah krisis emosional menimbulkan tekanan ganda, di mana ia harus tetap berfungsi sebagai tulang punggung keluarga meski dirinya sendiri berada dalam keadaan rapuh.

Kondisi panik yang berulang hingga mengganggu aktivitas sehari-hari mengakibatkan penurunan produktivitas dan kualitas hidup. Ketidakmampuan fokus dan kehilangan minat pada aktivitas yang sebelumnya menyenangkan, seperti bermain game, menambah rasa frustrasi dan perasaan tidak berdaya. Isolasi sosial dapat terjadi, baik karena ia menarik diri dari lingkungan maupun karena lingkungan tidak memahami kompleksitas kondisi yang ia alami.

Riwayat penggunaan zat, seperti rokok dan alkohol, mencerminkan strategi coping yang maladaptif untuk meredakan ketegangan emosional. Meskipun ia baru berhenti mengonsumsi alkohol, dampak jangka panjang dari kebiasaan tersebut terhadap kestabilan mood dan kesehatan fisik tetap perlu diperhatikan. 

Dukungan dari pasangan menjadi faktor protektif utama, namun jika tidak diimbangi dengan sumber dukungan lain, beban emosional yang tertumpu pada satu orang dapat menimbulkan kelelahan emosional (caregiver burnout). Dalam konteks ini, akses terhadap layanan kesehatan mental, keterlibatan komunitas, dan dukungan sosial yang memadai menjadi komponen penting untuk membantu pemulihan, mencegah isolasi, dan mengurangi risiko perilaku menyakiti diri.

Trauma masa lalu dan identitas diri

Dalam perspektif psiko-perkembangan, usia 21 tahun berada pada tahap early adulthood, di mana tugas perkembangan utamanya adalah membentuk hubungan intim yang sehat dan membangun identitas diri yang stabil (Intimacy vs Isolation). Pada fase ini, individu umumnya mulai memantapkan peran sosial, ekonomi, dan emosionalnya, serta menata arah masa depan. 

Namun, dalam kasus ini, kematian ibu yang disertai dengan reaktivasi luka masa kecil menjadi pukulan besar yang mengganggu proses perkembangan tersebut. Kehilangan figur orang tua di usia dewasa muda tidak hanya memunculkan duka, tetapi juga mengguncang fondasi rasa aman dan identitas diri yang sedang dibangun.

Trauma masa lalu berupa kekerasan fisik dari ibu membuat proses internalisasi figur orang tua menjadi kompleks. Idealnya, pada tahap ini individu mulai merekonsiliasi pengalaman masa kecil, menerima kekurangan orang tua, dan mengintegrasikan pengalaman positif dan negatif menjadi pemahaman yang utuh. 

Namun, karena peristiwa kehilangan ini datang mendadak, ia terjebak dalam proses retraumatization, di mana luka lama yang belum sembuh terbuka kembali sebelum sempat diproses secara adaptif. Hal ini menyebabkan ia sulit membentuk narasi diri yang konsisten dan stabil, serta meningkatkan kerentanan terhadap gangguan mood dan kecemasan.

Selain itu, tanggung jawab sebagai ayah muda menempatkannya dalam posisi yang menuntut kematangan emosional dan kestabilan psikologis yang tinggi. Beban ini menjadi semakin berat karena harus dijalani bersamaan dengan proses berduka dan gejala panik yang intens. Kondisi ini berisiko membuatnya mengalami developmental arrest, yakni terhambatnya kemajuan tugas perkembangan akibat tekanan emosional yang berlebihan. 

Perilaku melukai diri muncul sebagai jalan pintas untuk mengatasi tekanan internal. Perilaku ini memicu pelepasan endorfin dan enkefalin, dua senyawa alami otak yang berfungsi sebagai pereda nyeri dan penenang. Peningkatan endorfin memberi sensasi lega sesaat, menurunkan intensitas emosi negatif, dan mengalihkan fokus dari rasa sakit emosional. 

Inilah yang membuat perilaku tersebut bersifat memperkuat diri, meskipun berbahaya. Sayangnya, efek ini hanya sementara, dan setelah kadar endorfin turun, perasaan tertekan biasanya kembali, bahkan kadang lebih berat karena disertai rasa bersalah. Melukai diri menjadi respons yang dipelajari karena tubuh mengasosiasikan nyeri fisik dengan penurunan ketegangan emosional.

Perjalanan menguatkan hati

Kehilangan orang terkasih, apalagi secara mendadak, bisa meninggalkan luka yang dalam. Kadang luka itu tidak hanya berasal dari peristiwa sekarang, tapi juga membuka kembali luka lama yang belum pernah sembuh. Jika Anda atau orang di sekitar Anda mengalami gejala seperti panik berulang, kesulitan tidur, hilang minat pada hal yang dulu disukai, atau keinginan melukai diri, itu bukan tanda lemah tetapi itu adalah sinyal bahwa tubuh dan pikiran sedang kewalahan dan butuh pertolongan.

Jangan menunggu sampai keadaan memburuk. Bicarakan perasaan Anda kepada orang yang Anda percayai, baik itu pasangan, keluarga, teman dekat, atau tenaga profesional. Tidak semua orang akan langsung mengerti, tapi teruslah mencari mereka yang mau mendengar tanpa menghakimi.

Hindari menggunakan alkohol, rokok berlebihan, atau melukai diri sebagai jalan keluar. Rasa lega yang ditimbulkan hanya sementara, dan bisa meninggalkan masalah baru. Sebaliknya, coba temukan cara aman untuk meredakan tekanan seperti teknik pernapasan, berjalan santai di luar ruangan, menulis jurnal perasaan, meneriakkan beban perasaan di alam bebas seperti pantai atau melakukan kegiatan yang memberi rasa tenang. 

Luka memang tidak bisa dihapus, tapi bisa diubah menjadi bagian dari cerita yang membuat Anda lebih kuat. (Prof Dr dr Cokorda Bagus Jaya Lesmana, SpKJ(K), MARS)

Editor: Redaksi

Reporter: bbn/tim



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami