Dari Trauma ke Jeritan Sunyi: Saat Trauma Berbisik Minta Dimengerti
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Seorang perempuan, 35 tahun, datang ke IGD dalam keadaan sadar, berbaring dengan tubuh terbalut selimut. Di baliknya, terdapat luka sayatan berdarah di kedua paha.
Ia mengaku baru saja menelan 30 tablet obat penenang dan dua gelas cairan pembersih lantai, lalu menyayat dirinya dengan silet. Ia berkata: “Saya tidak ingin mati, saya hanya ingin rasa sakit ini berhenti. Saya cuma ingin didengar dan dimengerti.”
Tiga hari sebelumnya, suaminya menyatakan ingin berpisah setelah lima tahun bersama tanpa ikatan yang jelas. Ia mengalami depresi sejak keguguran anak kedua, kehilangan pekerjaan, dan merasa tidak punya siapa-siapa.
Riwayat hidupnya dipenuhi trauma, ditinggal ibu sejak kecil, dilecehkan ayah kandung, masuk prostitusi usia 17 tahun demi membiayai sekolah adiknya, dan pernah mencoba bunuh diri di usia 20 tahun dengan meminum obat nyamuk cair.
Selama setahun terakhir, ia mendengar suara yang menyuruhnya mengakhiri hidup. Kini, ia merasa gagal sebagai anak, kakak, ibu, dan istri hingga dunia seolah tak menyisakan ruang aman baginya.
Luka masa lalu yang belum sembuh
Dalam pandangan psikiatri, gangguan kejiwaan yang berat seperti yang dialami oleh pasien ini berakar pada dinamika objek internal yang terbentuk sejak awal kehidupan. Pengalaman ditinggalkan oleh ibu sejak kecil dan dilecehkan oleh ayah kandung telah membentuk internalisasi objek “jahat” (bad object) dalam batin pasien.
Objek ini disertai dengan ketakutan bahwa kasih sayang selalu disertai ancaman, dan bahwa dunia adalah tempat yang tidak aman dan tidak dapat dipercaya. Ketika seorang anak tidak mendapatkan relasi pengasuhan yang konsisten dan penuh cinta, ia cenderung mengembangkan kecemasan paranoid-skizoid, yaitu pola pikir yang memisahkan dunia menjadi hitam-putih dimana baik adalah mutlak atau jahat adalah mutlak.
Hal ini tampak dalam kecenderungan pasien untuk melihat dirinya sepenuhnya gagal sebagai anak, kakak, istri, maupun ibu dan melihat lingkungan sekitar tidak peduli, tidak responsif, atau bahkan menghukum dirinya.
Mekanisme pertahanan seperti splitting dan proyeksi menjadi dominan dimana ia memisahkan dan meluapkan emosi marah, sakit hati, dan takutnya kepada figur-figur eksternal seperti suami atau saudara laki-lakinya. Dalam situasi ekstrem, ketika tidak ada tempat aman untuk menampung emosi tersebut, ia mengarahkannya pada diri sendiri yang muncul dalam bentuk self-harm dan percobaan bunuh diri.
Secara teori, tindakan menyakiti diri ini bukan hanya bentuk agresi keluar, tetapi juga bentuk penghukuman diri karena rasa bersalah yang mendalam terhadap rasa kehilangan atau kehancuran yang dirasakannya disebabkan oleh dirinya.
Namun, narasi pasien juga menunjukkan bahwa ia telah memasuki posisi depresif yaitu fase perkembangan psikis bahwa objek yang ia cintai dan benci adalah satu dan sama. Rasa bersalah muncul bukan karena rasa takut dihukum, melainkan karena ia merindukan hubungan yang utuh namun merasa tidak mampu menjaganya. Ia tidak ingin mati namun ia hanya ingin didengar, dimengerti, dan dipulihkan.
Dalam kerangka terapi, yang paling penting adalah membangun ruang relasi terapeutik yang aman, stabil, dan penuh pemahaman. Terapi berfungsi sebagai wadah bagi pasien untuk memproses kembali relasi-relasi awalnya, mengungkap fantasi tak sadar, dan secara perlahan membangun kapasitas untuk melakukan reparasi terhadap objek internal yang telah rusak oleh pengalaman hidup yang penuh trauma dan pengabaian.
Dalam konteks ini, penyembuhan bukanlah soal memperbaiki gejala semata, melainkan memulihkan kembali bagian terdalam dari diri pasien yang selama ini tidak pernah merasa cukup layak untuk dicintai dan diterima.
Teriakan akan makna kemanusiaan
Dalam pendekatan humanistik, inti dari proses penyembuhan adalah hubungan yang otentik dan penuh empati, yang memungkinkan individu untuk kembali terhubung dengan dirinya sendiri secara utuh. Pasien perempuan 35 tahun ini adalah pribadi yang selama hidupnya tidak pernah benar-benar mengalami apa yang disebut sebagai unconditional positive regard, penerimaan secara tulus ikhlas dari orang lain.
Hal ini merusak apa yang disebut sebagai self-concept, yaitu cara seseorang memandang dirinya sendiri dalam relasi dengan dunia. Ketika lingkungan hanya memberi penghargaan pada perilaku-perilaku yang “dianggap baik” dan menolak ekspresi emosi yang dianggap lemah atau negatif, individu kehilangan kontak dengan true self-nya, dan hidup dalam kondisi incongruence atau ketidaksesuaian antara pengalaman batin dengan citra diri yang dipaksakan oleh tuntutan luar.
Pasien dalam kasus ini menunjukkan bahwa ia berjuang keras untuk berpikir positif, namun merasa gagal, karena tidak ada ruang yang aman untuk mengakui kesedihan dan rasa putus asanya. Ia merasa tidak berharga, bukan karena kekurangannya sebagai pribadi, tetapi karena lingkungannya tidak pernah memberinya validasi atas rasa sakit yang ia alami.
Ia tidak butuh diselamatkan atau diberi nasihat; ia hanya ingin didengar, dimengerti, dan diterima apa adanya dan itulah kebutuhan paling mendasar dari manusia. Tindakan menyakiti diri bukanlah ekspresi keinginan untuk mati, melainkan permohonan untuk dipahami, sebuah jeritan eksistensial bahwa dirinya tetap ada dan layak dicintai, meski hancur.
Seorang terapis harus mampu menjadi cermin yang jujur namun tidak menghakimi, membantu pasien untuk melihat bahwa dirinya tetap memiliki nilai meski luka begitu dalam. Bila diberikan ruang untuk menyuarakan pengalaman batinnya tanpa takut ditolak, dan bila diterima dalam kondisi yang paling rapuh, maka proses pemulihan batin pun akan dimulai secara alami. Dalam konteks ini, tugas utama terapis bukanlah untuk “memperbaiki” pasien, tetapi untuk menemani dan menjadi saksi dalam proses pasien kembali menjadi dirinya sendiri yang sejati.
Ketidakseimbangan dalam sistem emosional
Dari perspektif biologis dan neurologis, kasus pasien ini menunjukkan tanda-tanda disregulasi sistem saraf pusat yang signifikan, terutama pada area otak yang berkaitan dengan emosi, stres, dan kontrol impuls. Pengalaman trauma masa kecil yang berulang termasuk penelantaran, kekerasan, pelecehan, dan ketidakstabilan relasional diketahui mempengaruhi struktur dan fungsi otak, terutama pada sistem limbik seperti amigdala, hipokampus, dan korteks prefrontal.
Dalam kondisi ini, amigdala menjadi hiperaktif, memperkuat respons ketakutan dan kewaspadaan berlebihan terhadap penolakan sosial atau ancaman emosional. Sementara itu, korteks prefrontal, yang berfungsi mengatur impuls, mengambil keputusan rasional, dan mengontrol emosi, mengalami penurunan aktivitas yang menyebabkan kesulitan dalam berpikir jernih saat stres, serta peningkatan perilaku impulsif seperti self-harm dan percobaan bunuh diri.
Selain itu, hipokampus, yang berkaitan dengan memori dan orientasi waktu, bisa mengalami volume yang menyusut pada individu dengan depresi berat dan riwayat trauma kompleks. Ini menjelaskan kenapa pasien merasa “terjebak” dalam masa lalu dan sulit merasakan harapan ke depan.
Pada level neurokimia, terdapat kemungkinan gangguan dalam sistem serotonin, dopamin, dan norepinefrin yang semuanya berperan dalam regulasi suasana perasaan, motivasi, dan emosional. Kekurangan serotonin dikaitkan dengan impulsivitas dan kecenderungan bunuh diri, sementara disregulasi dopamin memengaruhi perasaan harga diri dan reward dari interaksi sosial.
Halusinasi auditorik berupa suara menyuruh untuk bunuh diri yang dialami pasien selama setahun terakhir menunjukkan kemungkinan aktivasi abnormal pada default mode network dan gangguan dalam salience network, yaitu jaringan otak yang bertanggung jawab membedakan stimulus internal dan eksternal yang penting. Dalam kasus tertentu, halusinasi juga berkaitan dengan aktivitas yang menyimpang pada girus temporalis superior kiri, yang biasanya terlibat dalam persepsi suara dan bahasa.
Lebih jauh, pasien juga menunjukkan pola “coping” yang disfungsional dengan mengonsumsi obat penenang dalam jumlah besar. Penggunaan benzodiazepin yang tidak terkontrol dapat memperparah gangguan mood, mengganggu siklus tidur, serta menurunkan aktivasi GABA secara jangka panjang, sehingga memperbesar risiko depresi dan kecemasan.
Trauma masa kecil yang berulang juga dapat mengubah fungsi sumbu HPA (hipotalamus-hipofisis-adrenal) yang bertanggung jawab dalam regulasi stres. Aktivasi kronis dari sumbu ini menyebabkan peningkatan kadar kortisol, inflamasi sistemik, dan gangguan keseimbangan neuroendokrin yang menjadi fondasi biologis dari depresi berat dengan komponen psikotik seperti yang dialami pasien.
Merangkai kembali jiwa yang retak
Tak semua luka terlihat oleh mata. Banyak orang berpikir cukup dengan memberi obat penenang, lalu semuanya akan beres. Padahal, penyembuhan jiwa tidak bisa hanya dilakukan dari satu sisi. Luka yang berasal dari tubuh, pikiran, hati, dan lingkungan harus diobati dengan cara yang menyentuh semua bagian itu juga.
Pendekatan integratif dan holistik adalah cara kita merawat manusia seutuhnya. Obat memang penting untuk membantu menenangkan gejolak batin, memperbaiki keseimbangan zat kimia di otak, dan mengurangi risiko berbahaya seperti bunuh diri. Tapi setelah itu, kita harus masuk lebih dalam. Perempuan ini butuh teman bicara yang tidak menghakimi. Ia butuh ruang aman untuk menangis, untuk marah, untuk menyuarakan luka yang selama ini terkubur. Di sanalah psikoterapi bekerja dengan kasih sayang dan kehadiran yang penuh empati.
Ia juga butuh dukungan sosial. Keluarga yang memahami, bukan menyalahkan. Teman yang hadir, bukan pergi. Masyarakat yang mendengarkan, bukan sekadar memberi label “lemah”. Di luar itu, ada hal yang lebih dalam bahwa ia butuh makna. Ketika semua kehilangan, manusia butuh alasan untuk tetap hidup.
Di sinilah peran pendekatan spiritual dan eksistensial. Tidak selalu tentang agama, tapi tentang menemukan kembali alasan untuk bangun esok hari dan entah karena anaknya, karena mimpi yang tertunda, atau karena cinta terhadap dirinya sendiri yang perlahan tumbuh kembali.
Kadang, pemulihan juga berarti membantu seseorang berdiri di atas kakinya sendiri. Memberi pelatihan, pekerjaan kecil, akses layanan, atau sekadar menunjukkan bahwa masih ada masa depan yang mungkin ia bentuk ulang, meski berbeda dari rencana awalnya. Penyembuhan bukan soal memperbaiki yang rusak, tapi merawat dengan sabar apa yang masih tersisa. Dan selalu, yang tersisa itu lebih banyak daripada yang kita kira. (Prof. Cokorda Bagus Jaya Lesmana)
Editor: Redaksi
Reporter: bbn/tim