Akun
guest@beritabali.com
Beritabali ID: —
Langganan
Beritabali Premium Aktif
Nikmati akses penuh ke semua artikel dengan Beritabali Premium
Kehilangan Komunitas Membawa Diri Kehilangan Identitas dalam Hidup
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Seorang perempuan, IAN, berusia 33 tahun, tidak bekerja dan belum menikah, datang ke poliklinik psikiatri atas keinginannya sendiri setelah mengalami kesedihan mendalam sejak keluar dari komunitas spiritual yang diikuti.
Perasaan sedih mulai muncul pada akhir 2022, ketika ia berkonflik dengan teman-teman di komunitas spiritual, tempat ia aktif sejak 2019 setelah meninggalkan pekerjaannya sebagai PNS. Ia merasa dijauhi karena melakukan kesalahan dan akhirnya memilih keluar. Sejak itu, ia lebih banyak mengurung diri, kehilangan energi, sulit konsentrasi, tidak nafsu makan, dan tidak lagi menikmati membaca atau menonton film.
Di masa-masa terberat, ia sempat terpikir untuk mengakhiri hidup dengan meminum cairan berbahaya. Ia juga sering merasa takut saat melihat notifikasi WhatsApp, khawatir dihubungi oleh mantan rekan komunitas.
Dalam komunitas tersebut, ia menemukan lingkungan yang dianggap sebagai keluarga baru, bahkan menjalin hubungan romantis, serta menjabat sebagai direktur untuk beberapa program seperti media, event organizer, dan leadership. Pengalaman ini membuat keterikatannya semakin kuat.
Baca juga:
Di Balik Luka dan Rasa Bersalah: Kisah Perempuan Muda Melawan Depresi dan Kehampaan Makna Hidup
Ia mengakui telah beberapa kali mengalami episode kesedihan berkepanjangan sejak dulu, biasanya dipicu konflik dengan teman atau keluarga. Pada 2015, pernah merasakan peningkatan mood selama seminggu, dengan energi tinggi dan banyak ide, meski tidak sampai mengganggu aktivitas. Sekitar Agustus 2023, ia kembali mengalami peningkatan sensitivitas, mudah marah, serta dorongan belanja impulsif selama satu minggu.
Ia menggambarkan adanya mood swing harian, perasaan kosong yang menetap, ketakutan ditinggalkan, kesulitan membentuk identitas, dan pola hubungan yang intens namun tidak stabil. Ketika frustrasi, ia pernah berulang kali membenturkan kepala ke tembok untuk meredakan ketegangan emosinya. Ia juga sulit menerima kritik dan memiliki kebutuhan besar untuk diterima dalam lingkaran pertemanan.
Riwayat kesehatan menunjukkan pernah mengalami epilepsi pada masa SMP dan menjalani terapi selama tiga tahun. Secara keseluruhan, tampak pola ketidakstabilan emosi, impulsivitas, relasi interpersonal yang fluktuatif, serta perilaku menyakiti diri.
Komunitas sebagai penopang identitas dan makna
Membaca kisah di atas, seorang perempuan berusia 33 tahun datang dengan rangkaian gejala emosional yang menumpuk dan berlangsung berbulan-bulan dimana terdapat kesedihan mendalam, kehilangan minat, gangguan tidur, sulit konsentrasi, keletihan, serta kecenderungan menarik diri dari aktivitas sosial.
Ia bahkan sempat mempertimbangkan untuk mengakhiri hidup. Cerita hidupnya menyimpan lapisan lain yang memperlihatkan kompleksitas kondisi psikologisnya. Ia memiliki riwayat episode peningkatan mood singkat selama sekitar satu minggu, dengan energi meluap, pikiran yang kerap meloncat, perilaku belanja impulsif, iritabilitas, dan aktivitas yang meningkat. Meskipun tidak mencapai derajat mania, pola ini mengarah pada episode hipomanik singkat yang dapat muncul dalam spektrum bipolar.
Selain itu, ia memperlihatkan ciri-ciri yang sangat khas adanya gangguan kepribadian ambang yang ditunjukkan adanya instabilitas emosi, ketakutan mendalam akan ditinggalkan, pola hubungan interpersonal yang intens namun fluktuatif, impulsivitas, rasa hampa kronis, serta riwayat perilaku menyakiti diri.
Gangguan ini dapat hadir bersama dengan gejala mood, sebuah fenomena yang disebut complex mood–personality interaction. Dengan demikian, kondisi yang ia alami bukan sekadar depresi, tetapi sebuah pusaran kompleks yang mencakup pergulatan identitas, trauma relasional, dan dinamika kelekatan yang tidak aman.
Di luar faktor klinis, perjalanan emosinya sangat dipengaruhi oleh perannya dalam komunitas spiritual yang ia ikuti sejak 2019. Komunitas itu bukan hanya tempat beraktivitas, melainkan sumber identitas baru. Ia meninggalkan pekerjaan sebagai PNS, menjalin hubungan romantis, mengambil posisi direktur, dan menempatkan komunitas tersebut sebagai keluarga yang memberikan validasi emosional dan makna hidup.
Ia memilih kelompok spiritual sebagai rumah keduanya karena komunitas tersebut memenuhi kebutuhan emosional yang selama ini tidak terpenuhi. Sebelum bergabung, hidupnya ditandai oleh pola hubungan yang penuh konflik, ketakutan ditinggalkan, dan rasa hampa yang menetap.
Kerentanan seperti ini sering membuat seseorang mencari figur kelekatan yang stabil, baik dalam bentuk individu maupun kelompok. Dalam komunitas spiritual itu, ia menemukan penerimaan tanpa syarat, perhatian, kehangatan, serta rasa bahwa dirinya dianggap berharga. Relasi yang tampak harmonis membuatnya merasakan kembali pengalaman memiliki keluarga yang selama ini ia rindukan.
Selain itu, komunitas tersebut memberikan identitas baru yang kokoh pada saat identitas lamanya runtuh. Keputusannya meninggalkan pekerjaan sebagai PNS yang merupakan sebuah posisi yang sangat dihargai dalam budaya Indonesia membuat struktur dirinya menjadi rapuh. Ketika ia masuk ke kelompok spiritual yang terorganisasi, ia mendapatkan peran jelas, tanggung jawab, serta pengakuan sosial yang menguatkan rasa kompeten dalam dirinya. Dalam psikologi komunitas, fenomena ini dikenal sebagai proses membangun kembali identitas melalui keterikatan dengan kelompok.
Ajaran spiritual yang ditawarkan komunitas tersebut juga memberi makna baru pada luka-lukanya. Bagi seseorang yang mengalami konflik relasional berulang, episode depresi, rasa hampa, dan kehilangan arah, ajaran-ajaran tentang pemurnian jiwa, kebijaksanaan batin, dan tujuan hidup yang lebih besar dapat memberikan bahasa untuk memahami penderitaannya. Ia menemukan kerangka makna yang menenangkan keraguannya terhadap diri sendiri dan membuka harapan bahwa luka-luka itu dapat disembuhkan.
Struktur komunitas yang intim turut mengisi kebutuhan afiliasi yang sangat kuat dalam dirinya. Lingkungan dengan kedekatan emosional, aktivitas harian bersama, dan budaya saling mendukung terasa sangat aman bagi seseorang yang sensitif terhadap penolakan. Ketika ia tidak hanya menjadi anggota biasa, tetapi bagian dari inti komunitas, rasa memiliki itu semakin dalam dan menjadi salah satu cara untuk menambal ruang kosong dalam dirinya.
Pilihan untuk bergabung juga merupakan bentuk pelarian dari ketegangan hidup. Keputusan meninggalkan profesi stabil menunjukkan adanya ketidakpuasan dan keinginan menemukan makna yang lebih dalam. Komunitas spiritual memberi ruang untuk berhenti sejenak dari hiruk-pikuk dunia kerja dan menawarkan kedamaian serta orientasi hidup baru yang menenangkan.
Kehadiran relasi romantis di dalam komunitas semakin memperkuat ikatan tersebut. Ketika cinta dan komunitas hadir dalam satu ruang, keterikatan menjadi semakin intens. Relasi itu membuatnya merasa dicintai, diterima, dan tidak sendiri. Ketika hubungan tersebut berakhir bersamaan dengan kehilangan komunitas, yang runtuh bukan hanya relasi sosialnya, tetapi fondasi emosional yang ia bangun bertahun-tahun.
Di atas semuanya, komunitas spiritual itu mengisi kekosongan eksistensial yang ia rasakan. Rasa hampa yang kronis sebagai salah satu ciri dominan dalam struktur gangguan kepribadian borderline sering membuat seseorang mencari makna secara intens, melebur dalam kelompok, dan membutuhkan tujuan besar yang memberi arah hidup. Komunitas itu menawarkan semua itu, setidaknya untuk sementara, sehingga menjadi rumah tempat ia menggantungkan harapan dan identitas dirinya.
Ketika konflik muncul dan ia merasa dijauhi, struktur identitas yang sudah ia bangun runtuh. Kehilangan komunitas yang dianggap sebagai rumah kedua ini terasa seperti kehilangan dunia internal. Apa yang terjadi padanya tidak dapat dilihat semata sebagai gejala individual, tetapi sebagai pertemuan antara kerapuhan psikologis, kebutuhan kelekatan yang mendalam, serta runtuhnya lingkungan sosial yang selama bertahun-tahun menjadi penopang identitas dan maknanya.
Apa sebenarnya yang terjadi?
Dalam perspektif psikodinamika, kondisi yang dialaminya dapat dipahami sebagai pertemuan antara kerentanan internal dan kebutuhan mendalam akan figur kelekatan yang stabil. Individu dengan kecenderungan borderline umumnya tumbuh dalam pola hubungan yang tidak konsisten, sehingga mereka sangat rentan mencari tempat aman pada figur tertentu atau kelompok yang mampu memberikan rasa diterima, struktur, identitas baru, serta validasi emosional.
Komunitas spiritual yang ia masuki memenuhi kebutuhan tersebut dan menjadi ruang di mana ia merasa dilihat dan dihargai. Namun, ketika konflik interpersonal muncul, luka-luka lama yang selama ini terpendam ikut terbuka. Ketakutan akan ditinggalkan (abandonment fear) kembali muncul, rasa bersalah berubah menjadi luka narsistik, dan ketegangan emosional yang tak tertahankan mendorongnya pada perilaku melukai diri. Dalam kerangka psikodinamika modern, self-harm dipahami sebagai cara primitif untuk meredakan luapan afek yang gagal diatur, sebuah fenomena yang dikenal sebagai affect regulation failure.
Dari perspektif psikososial, identitas seseorang bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan terbentuk melalui peran sosial, kelompok tempat ia bernaung, serta nilai budaya yang ia internalisasi. Ketika ia meninggalkan pekerjaan PNS, ia kehilangan salah satu pilar identitas yang penting. Kekosongan ini kemudian diisi oleh komunitas spiritual yang memberikan peran signifikan, kedudukan jelas, serta lingkungan afiliasi yang kuat.
Penelitian di kawasan Asia Tenggara menunjukkan bahwa perempuan dewasa muda dengan kebutuhan afiliasi tinggi memiliki kerentanan besar terhadap distress emosional ketika kelompok yang memberikan validasi diri tiba-tiba hilang atau menjauh. Dengan demikian, kehilangan komunitas bagi dirinya bukan sekadar kehilangan kelompok, tetapi kehilangan tempat bersandar untuk merasa berarti dan terhubung.
Sementara itu, perspektif neurobiologis memperlihatkan bahwa gejalanya tidak hanya berasal dari dinamika psikologis dan sosial, tetapi juga dari perubahan pada sistem otak yang berhubungan dengan regulasi emosi. Individu dengan sensitivitas emosional tinggi memiliki amigdala yang sangat reaktif terhadap penolakan sosial, prefrontal cortex yang kurang optimal dalam menahan impuls dan mengatur respons emosional, serta sistem reward dopamin yang melemah sehingga aktivitas yang sebelumnya menyenangkan menjadi kehilangan rasa.
Selain itu, sistem stres dalam tubuh melalui HPA-axis cenderung menjadi hiperaktif ketika berada dalam situasi relasional yang tidak stabil. Ketakutan yang muncul saat ia melihat notifikasi WhatsApp mencerminkan hiperaktivitas amigdala yang menangkap ancaman sosial secara berlebihan. Hilangnya minat membaca dan menonton merupakan gambaran berkurangnya aktivitas dopamin, sedangkan perubahan mood yang cepat mencerminkan instabilitas regulasi serotonin dan gangguan konektivitas fronto-limbik.
Penting dipahami bahwa struktur neurobiologis ini tidak berdiri sendiri namun ia terbentuk dari interaksi antara kerentanan genetik, pengalaman hidup, relasi yang tidak stabil, serta trauma mikro yang berulang. Dalam dirinya, semua faktor ini berinteraksi dan memunculkan gejala yang ia rasakan sekarang sebagai hasil dari pertemuan antara biologi yang sensitif dan pengalaman sosial yang mengguncang.
Ketiga faktor di atas, psikodinamika, psikososial, dan neurobiologis memengaruhi dirinya secara mendalam, namun sebagian besar tidak disadari. Pada tingkat psikodinamika, proses internal seperti luka kelekatan, kebutuhan akan figur stabil, dan rasa takut ditinggalkan bekerja di bawah permukaan kesadaran.
Ia merasakan keresahan, ketergantungan, dan kecemasan relasional, tetapi mungkin tidak memahami bahwa semua itu berasal dari pola hubungan yang terbentuk sejak lama. Secara psikososial, ia juga mungkin tidak sepenuhnya menyadari bahwa keputusannya keluar dari pekerjaan, melebur dalam komunitas spiritual, dan membangun identitas di atas kelompok tersebut adalah bentuk pencarian makna dan kebutuhan afiliasi yang sangat kuat.
Ia hanya merasa lebih hidup ketika berada dalam komunitas itu, tanpa sepenuhnya memahami bahwa struktur sosial tersebut sedang menggantikan fondasi identitas dirinya.
Di sisi lain, perubahan neurobiologis terjadi sepenuhnya di luar kesadarannya. Ia tentu tidak menyadari bahwa kecemasan intens saat melihat notifikasi WhatsApp berasal dari hiperaktivitas amigdala, atau bahwa hilangnya minat pada aktivitas yang dulu ia sukai terkait dengan penurunan sistem reward dopamin. Demikian pula mood swing yang cepat bukan dianggap sebagai ketidakseimbangan neurokimia, melainkan perubahan suasana hati yang ia pikir terjadi begitu saja.
Dengan kata lain, ketiga faktor tersebut bekerja seperti arus bawah yang membentuk cara ia merasakan, berpikir, bereaksi, dan memahami dirinya, namun tanpa ia sadari secara penuh. Yang ia rasakan hanyalah akibatnya berupa kesedihan, rasa ditolak, ketakutan ditinggalkan, kekosongan mendalam, serta kehilangan kendali atas emosi. Baru setelah ia tersandung dan mengalami kehilangan besar, ia mulai melihat bahwa ada sesuatu dalam dirinya yang berubah, namun ia belum mampu merangkai keseluruhan gambaran dari perubahan tersebut.
Perjalanan mencari penyembuhan
Pemulihan bagi perempuan ini bukanlah garis lurus, melainkan perjalanan berliku yang penuh naik-turun. Salah satu langkah pertama adalah mengatur emosi, menurunkan impulsivitas, dan mengatasi rasa hampa. Ada empat keterampilan yang perlu dilatih, mindfulness untuk menenangkan pikiran, regulasi emosi untuk memahami dan mengekspresikan perasaan dengan sehat, toleransi terhadap distress untuk menghadapi situasi sulit tanpa melukai diri, serta keterampilan interpersonal untuk membangun hubungan yang stabil.
Selain itu makna dan kelekatan juga penting agar ia dapat menemukan kembali siapa dirinya di luar komunitas dan relasi-relasi yang pernah melukainya. Bila diperlukan, farmakoterapi seperti antidepresan atau mood stabilizer dapat membantu menenangkan gejala sehingga terapi lebih mudah dijalankan. Aktivitas grounding seperti menulis jurnal, meditasi yang aman, aktivitas kreatif, dan olahraga lembut membantu tubuhnya kembali merasa hadir dan tidak terjebak dalam pusaran pikiran negatif.
Keluarga memegang peran vital dalam proses pemulihannya. Yang ia butuhkan bukan teguran, bukan ceramah, melainkan ruang aman untuk berdiri kembali. Keluarga dapat mendukungnya dengan mendengarkan tanpa menghakimi, memahami bahwa mood swing bukanlah sesuatu yang ia pilih, serta menghindari reaksi keras terhadap impulsivitas yang mungkin muncul.
Komunikasi yang hangat, stabil, dan penuh welas asih membantu menenangkan sistem sarafnya yang mudah terpicu oleh ketidakpastian. Ketika komunitas lama tidak lagi menjadi tempat bersandar, keluargalah yang dapat menjadi jangkar emosional yang baru, sebuah tempat ia bisa pulang tanpa takut dinilai atau ditinggalkan.
Dalam perspektif psikiatri komunitas, penyembuhan seseorang tidak hanya tergantung pada dirinya atau keluarganya, tetapi juga pada lingkungan sosial yang mengelilingi. Masyarakat dapat berkontribusi melalui sikap yang tidak menstigma gangguan jiwa, menyediakan komunitas sehat dan tidak mengontrol, serta membentuk kelompok dukungan bagi individu yang kehilangan arah.
Peran kader kesehatan jiwa, tenaga kesehatan primer, dan jejaring komunitas sangat penting untuk memahami isu sensitif seperti self-harm, trauma relasional, dan kehilangan makna. Budaya Indonesia sesungguhnya kaya dengan nilai gotong royong, asah asih asuh, dan menyamebraya, sebuah nilai yang dapat menjadi obat psikososial yang membantu seseorang merasa terhubung dan diterima tanpa syarat. Lingkungan sosial yang ramah dapat menjadi tanah subur bagi pemulihan jangka panjangnya.
Perempuan ini tidak sedang gagal dan tidak sedang lemah. Ia sedang berada pada momen ketika hidup mengundangnya untuk berhenti, melihat ke dalam, dan menata ulang bagian-bagian dirinya yang telah lama terluka. Ia sedang menjalani proses kelahiran kembali, seperti kupu-kupu yang merobek kepompongnya sendiri untuk menemukan sayapnya.
Ia mungkin telah kehilangan komunitas, tetapi ia belum kehilangan harapan. Ia telah kehilangan identitas lama, tetapi belum kehilangan kemungkinan untuk membangun identitas baru yang lebih sehat. Ia telah kehilangan banyak hal, tetapi tidak kehilangan dirinya sepenuhnya. Dengan dukungan keluarga, masyarakat, ilmu pengetahuan, dan cinta kasih yang tulus, ia dapat menemukan jalan pulang menuju dirinya sendiri. (Oleh: Prof Dr dr Cokorda Bagus Jaya Lesmana, SpKJ(K), MARS)
Editor: Redaksi
Reporter: bbn/tim
Berita Terpopuler
6.532 Warga Turun ke Jalan, Tabanan Gelar Grebeg Sampah Serentak
Dibaca: 5712 Kali
Pelajar Tabanan Raih Prestasi Nasional FLS2N 2025, Bupati Sanjaya Bangga
Dibaca: 4841 Kali
Turis Somalia Ngamuk Tuduh Sopir Curi HP, Ternyata Terselip di Jok Mobil
Dibaca: 4280 Kali
Gudang BRI Ubud Ambruk Akibat Longsor
Dibaca: 4118 Kali
ABOUT BALI
Film Dokumenter Hidupkan Kembali Sejarah Tari Kecak di Bedulu
Makna Tumpek Landep Menurut Lontar Sundarigama
Tari Sanghyang Dedari Nusa Penida Diajukan Jadi Warisan Budaya Tak Benda
Mengenal Tetebasan Gering, Topik Menarik di Festival Lontar Karangasem