Menyulam Luka Kehilangan Buah Hati
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Beberapa waktu yang lalu diberitakan di media (6/8) seorang bayi perempuan di Gianyar yang baru berusia tiga bulan harus pergi untuk selamanya, meninggalkan luka yang sulit terobati bagi kedua orang tuanya.
Menurut pemberitaan di media, perjalanan panjang menuju kepergiannya dimulai saat ia mengalami demam tinggi. Setelah berobat ke puskesmas tanpa hasil, orang tuanya memutuskan membawa bayi ke IGD rumah sakit pada Selasa, 5 Agustus 2025.
Sesampainya di IGD, dokter jaga memeriksa dan menyarankan agar pasien ditangani di poli anak. Bayi kemudian mendapat infus paracetamol dan ranitidine. Kondisinya membaik dimana suhu tubuh menurun, wajahnya ceria, bahkan sempat tertawa. Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Setelah antibiotik diberikan, bayi menangis histeris. Kepanikan orang tua tidak ditanggapi serius, mereka hanya disarankan memberi minyak angin tanpa pemeriksaan lebih lanjut.
Keesokan harinya, Rabu 6 Agustus, kondisi bayi sempat stabil pada pagi hari. Tetapi siang harinya, seorang petugas memasukkan obat dalam cairan sekitar 250 mililiter. Belum habis, wajah bayi menghitam, tubuh mengejang, lalu terkulai. Selama dua jam, tim medis berusaha melakukan tindakan penyelamatan.
Namun semua terlambat, nyawa bayi kecil itu tidak tertolong. Bagi publik, kisah ini menjadi refleksi atas rapuhnya kehidupan manusia. Bagi keluarga, inilah luka yang akan membekas sepanjang hayat.
Di balik berita medis dan tudingan kelalaian, ada satu hal yang lebih dalam untuk kita pahami, bagaimana orang tua menghadapi kehilangan anak. Kehilangan buah hati, terlebih di usia yang sangat dini, adalah duka terdalam yang bisa dialami manusia. Duka itu bukan sekadar air mata. Duka ini adalah badai emosional, pusaran rasa bersalah, kemarahan, sekaligus hampa yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.
Trauma yang tak terbayangkan
Setiap orang tua yang menantikan kehadiran anak pasti membayangkan masa depan penuh harapan. Bayi bukan hanya manusia kecil, melainkan perwujudan cinta, doa, dan mimpi. Ketika seorang bayi meninggal, yang hilang bukan hanya jasadnya, tetapi juga hilanglah masa depan yang telah digantungkan di pundaknya.
Bagi seorang ibu, kehilangan bayi yang baru saja dilahirkan, disusui, dan dipeluk dengan penuh kasih, dapat meninggalkan luka batin yang begitu dalam. Rasa hampa, syok, dan penolakan sering muncul seketika.
Banyak ibu merasa hidupnya runtuh, seolah tidak ada lagi masa depan yang bisa dijalani dengan utuh. Hal ini wajar, sebab ikatan emosional antara ibu dan anak dimulai bahkan sejak dalam kandungan, sehingga kehilangan anak bukan sekadar kehilangan anggota keluarga, melainkan kehilangan bagian dari dirinya sendiri.
Kehilangan seorang anak merupakan salah satu peristiwa paling traumatis dalam kehidupan manusia. Bahkan, beberapa penelitian menunjukkan bahwa kehilangan anak dapat meningkatkan risiko depresi, gangguan kecemasan, hingga trauma berkepanjangan pada orang tua.
Dalam kasus di Gianyar, orang tua tidak hanya menghadapi kehilangan, tetapi juga rasa marah dan kekecewaan terhadap pihak medis. Rasa percaya yang mereka letakkan pada sistem kesehatan seakan dikhianati. Maka, luka ini bersifat ganda, kehilangan anak dan kehilangan kepercayaan.
Dalam kondisi seperti ini, penanganan psikiatri menjadi sangat penting. Tidak jarang, seorang ibu yang mengalami kehilangan mendadak bisa jatuh ke dalam depresi, mengalami rasa bersalah berlebihan, atau bahkan mengembangkan trauma yang berkepanjangan.
Penanganan profesional dapat membantu menata emosi, memberikan ruang aman untuk mengekspresikan perasaan, sekaligus mencegah agar duka tidak berubah menjadi gangguan psikologis berat. Pendampingan psikiater atau psikolog juga dapat membantu ibu menemukan kembali kekuatan diri, mengajarkan strategi koping yang sehat, dan mendampingi keluarga agar tetap solid menghadapi masa-masa sulit.
Bukan hanya ibu, seorang ayah pun sering kali memikul beban ganda. Selain harus menanggung duka, ia juga dituntut untuk tetap kuat demi mendukung istrinya. Situasi ini dapat memicu konflik rumah tangga bila tidak dikelola dengan baik. Oleh karena itu, penanganan psikologis sebaiknya tidak hanya difokuskan pada ibu, tetapi juga melibatkan ayah serta keluarga besar. Dukungan sosial, komunikasi terbuka, dan kehadiran orang terdekat sangat membantu proses penyembuhan.
Meski orang tua sudah berjuang mencari pertolongan medis maupun dukungan psikologis, kita tidak boleh melupakan dimensi spiritual. Ada keterbatasan manusia yang membuat kita harus menyadari bahwa pada akhirnya, hidup dan mati berada di tangan Tuhan. Kesadaran ini dapat menjadi pegangan batin yang kuat, membantu orang tua menerima kenyataan pahit dengan lapang dada, dan perlahan mengubah duka menjadi doa. Ini sudah terjadi. Ibu dan bapak sudah berjuang meminta bantuan, tetapi nasib kita di tangan Tuhan.
Proses berduka: antara syok, marah, dan rasa bersalah
Proses berduka merupakan sebuah perjalanan emosional yang penuh lika-liku, bukan jalan lurus yang dapat diprediksi. Ada lima tahap berduka yang hingga kini masih menjadi acuan yaitu penolakan, kemarahan, tawar-menawar, depresi, dan penerimaan. Meski begitu, penting disadari bahwa tahap-tahap ini tidak selalu dialami secara berurutan. Seseorang dapat bergerak maju, lalu mundur kembali, atau bahkan merasakan beberapa tahap sekaligus dalam satu waktu.
Pada awal kehilangan, orang tua biasanya berada dalam fase penolakan. Dalam fase ini, kenyataan bahwa anak telah tiada terasa begitu sulit diterima. Ada orang tua yang merasa masih mendengar tangis bayi mereka di malam hari, atau mencium aroma khas tubuh anak di sudut ruangan. Penolakan ini adalah mekanisme pertahanan diri alami yang berfungsi memberi waktu bagi jiwa untuk beradaptasi dengan kenyataan pahit.
Seiring waktu, muncul fase kemarahan. Amarah ini dapat diarahkan pada berbagai pihak seperti rumah sakit yang dianggap lalai, pasangan yang dinilai kurang sigap, bahkan pada Tuhan yang dipandang tidak adil. Kemarahan adalah ekspresi rasa sakit yang tidak terucapkan, sebuah teriakan batin dari jiwa yang terluka.
Tahap berikutnya adalah tawar-menawar. Pada fase ini, pikiran seandainya berulang kali muncul. Orang tua mungkin berkata dalam hati, “Seandainya saya membawa dia lebih cepat ke dokter…” atau “Seandainya ada spesialis yang hadir saat itu…” Pikiran ini adalah upaya bawah sadar untuk mencari jalan keluar, meski tahu kenyataan tak bisa diubah.
Lalu datang fase depresi. Di sinilah rasa kehilangan begitu menghantam. Orang tua merasa hampa, kehilangan semangat, menarik diri dari interaksi sosial, bahkan kehilangan makna hidup. Bagi sebagian orang, fase ini bisa berlangsung lama dan membutuhkan pendampingan profesional agar tidak berkembang menjadi gangguan psikologis berat.
Namun, pada akhirnya, banyak orang mampu mencapai penerimaan. Tahap ini bukan berarti melupakan anak yang telah tiada, melainkan menerima bahwa kepergian adalah bagian dari kehidupan. Luka tetap ada, tetapi tidak lagi melumpuhkan. Orang tua mulai belajar menjalani hidup dengan kenangan, menjaga cinta dalam doa, dan melanjutkan langkah meski jalan terasa berbeda.
Kalau setuju, orang tuanya perlu konsultasi ke psikiater untuk bisa memahami situasi dan menerima ini sudah terjadi. Sedih, kecewa, marah dan perasaan tidak nyaman lainnya muncul. Ini normal. Kalau tidak, orang tua senyum2 saja, menerima masalah yang terjadi dengan santai, tentu tidak wajar.
Bukan berarti kita harus menangis meraung-raung, atau memaki Tuhan/Hyang Widhi Wasa yang tidak mau membantu Anda. Yang penting dipahami adalah bahwa tidak ada standar waktu dalam berduka. Ada orang yang bisa melewati proses ini dalam hitungan bulan, sementara yang lain membutuhkan bertahun-tahun. Semua itu wajar. Setiap individu memiliki ritme, kekuatan, dan cara tersendiri dalam merawat luka kehilangan. Yang terpenting bukanlah seberapa cepat proses itu dilalui, melainkan bagaimana seseorang tetap menemukan makna di tengah kehilangan.
Merawat luka: mengubah duka menjadi doa
Menghadapi kehilangan anak adalah pengalaman yang mengguncang jiwa, namun ada beberapa langkah psikologis yang dapat membantu orang tua dalam merawat luka ini. Pertama, penting bagi mereka untuk mengizinkan diri berduka. Menangis, marah, atau merasa putus asa adalah bagian alami dari proses penyembuhan.
Dengan memberi ruang pada emosi, orang tua tidak menekan perasaan yang justru bisa berujung pada penderitaan berkepanjangan. Kedua, dukungan sosial memegang peranan penting. Kehadiran keluarga besar, sahabat, atau komunitas dapat menjadi sandaran, apalagi dalam budaya Bali yang menjunjung tinggi menyame braya atau solidaritas sosial. Dukungan semacam ini memberi rasa aman, penguatan, dan mengurangi rasa terisolasi dalam duka.
Selain itu, ritual spiritual memiliki peran besar dalam membantu proses penerimaan. Bagi masyarakat Bali, ritual seperti melukat atau ngaben bukan hanya sarana keagamaan, tetapi juga memberikan makna mendalam bagi jiwa, menghubungkan kehilangan dengan kesadaran spiritual yang lebih luas.
Seiring dengan itu, konseling psikologis juga sangat bermanfaat. Di sisi lain, meski tampak sederhana, merawat diri juga sangat penting. Menjaga pola makan, tidur, dan kesehatan fisik akan membantu jiwa yang rapuh lebih cepat pulih.
Akhirnya, orang tua bisa berusaha mencari makna baru dari kehilangan. Kami berharap Ibu dan Bapak bisa menerima hal ini dengan lapang dada. Ini ujian hidup saya. Apa yang tidak mungkin menjadi mungkin, kalau Tuhan menghendakiNya.
Oleh: Prof Dr dr Cokorda Bagus Jaya Lesmana, SpKJ(K), MARS & Prof Dr dr Luh Ketut Suryani, SpKJ(K)
Editor: Redaksi
Reporter: bbn/tim