Membedah Lebih Dalam di Balik Joget Viral Temon Holic
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, NASIONAL.
Bagi Muchtar Setyo Wibowo alias Temon, joget intuitifnya kala menonton konser dangdut koplo semula hanyalah pelarian dari kondisi keluarga yang suram dan bentuk ekspresi menikmati musik. Namun dalam perkembangannya, Temon Holic memiliki makna yang lebih luas bagi penggemar dangdut musik koplo, khususnya di Tanah Jawa.
Temon mengaku kepada beberapa waktu lalu, bahwa dirinya memang akrab dengan dunia seni sejak kecil. Akan tetapi, situasi keluarga yang tak nyaman mendorong dirinya mencari pelampiasan lain.
"Aku itu daripada di rumah lihat orang tua bertengkar, mending cari hiburan. Karena saya suka dangdut, pelampiasannya di dangdut itu," ujar Temon.
"Sampai sekarang pun jadi kayak begini, jadi jalan aku masuk entertainment. Bisa masuk TV, viral, jadi fenomena. Jadi aku cari pelampiasan yang positif," lanjutnya.
Temon pun datang dari satu panggung ke panggung musik koplo. Di sana, ia membiarkan tubuhnya bergerak mengikuti tabuhan gendang, dan mengeluarkan rekaman seni yang terpatri dalam otot-ototnya.
Apalagi Temon memiliki prinsip dalam bergaya dan berjoget. Ia menyebutnya sebagai KIS, alias kreasi, inspirasi/imajinasi, dan seni. Dari ini, penggemar Temon Holic mengembangkan tarian berdasarkan imajinasi masing-masing.
Mereka bebas berkreasi dengan inspirasi yang berasal dari mana saja, mulai dari gerakan tukang pacul hingga tarik layangan. Meski begitu, tetap ada gerakan "wajib".
"Ada beberapa untuk gerakan wajib yang jadi ciri khasnya Temon Holic, contoh kayak tangan mengombak. Itu berpegangan tangan terus diombakkan, kayak bentuk zig-zag itu kalau diperagakan," kata Temon.
Menyikapi keberadaan Temon Holic, peneliti dari Dangdut Studies, Michael HB Raditya menilai Temon menjadi salah satu aktor penting yang membuat pola berekspresi dalam musik dangdut menjadi unik.
"Temon Holic memang bukan yang pertama untuk merespons penampil. Tapi yang menarik dilihat dari Temon Holic adalah bagaimana ia membuat panggung dalam panggung," papar Michael.
Menurut Michael, makna "panggung dalam panggung" yang ia maksud dipengaruhi prinsip KIS yang dianut oleh Temon Holic. Prinsip itu menggerakkan tarian yang semula hanya berupa ekspresi individu menjadi sebuah 'pertunjukan' tersendiri.
'Pertunjukan' Temon Holic itu bisa dilihat dari keviralan joget ini di media sosial hingga akhirnya berbuah berbagai kontes joget Temon Holic yang digelar di banyak daerah.
"Itu yang membuat akhirnya ada kesadaran bahwa, 'yuk kita tandingkan satu grup dengan grup yang lain'," kata Michael. "Intinya adalah bagaimana ada panggung, biduan, penonton, dan Temon Holic. Pasukan goyang lah,"
"Nah kupikir mengapa akhirnya menjadi bertumbuh dan tersebar itu, karena ada kesadaran dalam menikmati panggung. Kesadaran akan kebersamaan dari basis fans, dari para penggemar, begitu," lanjutnya.
Membedah lebih dalam, meski Temon menyebut ciri khas dari Temon Holic adalah pada gerakan tangan ombak, sejatinya tren joget ini terpaku pada sinkopasi kendang serta bebunyian instrumen perkusif lainnya.
Hentakan dan ketukan ganjil itulah yang kemudian melahirkan 'senggakan' pada tiap goyangan milik Temon.
Sinkopasi atau senggakan tersebut memang menjadi nyawa utama dari sub-genre koplo dari musik dangdut, terutama di tanah Jawa Tengah, tempat Temon lahir dan tumbuh besar.
Michael mengakui bahwa pola ekspresi yang ditawarkan oleh Temon memang amat menarik. Menurutnya, gerakan Temon Holic berkembang secara naluriah melalui darah dan batin Temon yang sudah terekspos dengan kesenian di daerahnya.
"Kalau (gerakan) mas Temonnya, bagiku karena dia tinggal di Klaten, jelas ia terdisiplinkan oleh musik gamelan dan musik folk, atau musik tradisi lah," kata Michael.
"Jadi ada jathilan, jaran kepang, terus musik-musik rakyat di Jawa yang notabene memang punya motif senggakan kayak begitu ya," lanjutnya.
Michael pun menilai lakon dan gerak tubuh Temon Holic memang berdasar dari pengaruh budaya Jawa yang tertanam dalam diri Temon, seperti lagu-lagu gamelan, lagu-lagu Jawa, campursari, lagu Kejawen, dan sejenisnya yang punya "hentakan, tendangan, dan sebagainya".
"Dia mengikuti pola dan sebagainya, akhirnya bertransformasi ke teman-teman dangdut ketika merespon kendang dan sebagainya, itu jadi pola yang menarik," kata Michael.
"Yang menarik adalah mungkin mas Temon sendiri tidak sadar ketika dia mengemas itu. Karena pada dasarnya itu sudah bertumbuh dalam kesadarannya," katanya.
Meski berdasarkan interpretasi kesenian yang bebas, Michael menilai gerakan Temon Holic hanya tumbuh pada kaidah musik dangdut dan sub-genre-nya, termasuk koplo. Gerakan Temon Holic, kata Michael, jelas tidak cocok diterapkan di genre musik lain.
"Untuk dangdut di Jawa ya (khususnya). Aku menyebutnya Dangdut Ambyar, lalu ada Dangdut Koplo, Dangdut Madura, Dangdut Tapal Kuda, Patrol, itu biasanya kayak gitu," kata Michael.
"Dia tidak sampai Sumatera. Di Bandung, pun Jakarta juga agak sedikit. Tapi di Sumatera, di Minang atau di dangdut Banjar itu tidak akan terjadi," katanya.(sumber: cnnindonesia.com)
Editor: Redaksi
Reporter: bbn/net