6 Pabrik Air Kemasan Lokal Bali Terancam Tutup Imbas SE Gubernur
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Setidaknya 6 produsen air minuman dalam kemasan (AMDK) lokal di Bali dipastikan akan terdampak kebijakan pelarangan produksi dan peredaran AMDK di bawah 1 liter, sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran (SE) Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2025.
Merek-merek lokal yang terdampak antara lain Safe (PT Airkyndo), Jimbarwana (CV. Gani Langit Adikara), Yeh Buleleng (PT Tirta Mumbul Jaya Abadi), Ecoqua (PT Air Gangga Dewata Alami), Como, Aguri (PT Tirta Bali Sejahtera), dan Nonmin (CV Tirta Taman Bali).
Fakta ini bertolak belakang dengan pernyataan Gubernur Koster dalam pemaparan program percepatan pembangunan Bali 2025-2030 di Wantilan Pura Samuan Tiga, Gianyar, yang menyebutkan bahwa 18 produsen minuman kemasan di Bali induknya berasal dari Jakarta.
Direktur Utama CV Tirta Taman Bali, I Gde Wiradhitya Samuhata, mengungkapkan berdasarkan data Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (ASPADIN), terdapat 18 pabrik AMDK di Bali, baik skala lokal maupun nasional. Ia memperkirakan, setidaknya dua dari 18 pabrik tersebut terancam bangkrut jika larangan ini diberlakukan.
Baca juga:
Berpotensi Dibatalkan, SE Larangan AMDK di Bawah 1 Liter Dinilai Langgar Aturan Lebih Tinggi
"Dari 18 yang terdaftar, ada 16 yang bergantung di bawah satu liter. 16 (perusahaan) kali 90 (karyawan) paling tidak ya, itu pun di satu pabrik cuma satu sif," ungkap Wiradhitya.
Ia menilai SE Gubernur Bali terlalu parsial karena hanya menyasar AMDK, sementara sampah plastik di Bali juga banyak berasal dari produk lain seperti minyak goreng, gula, kopi, hingga permen. "Kalau pak Gubernur mau menerapkan ini secara ketat, kami khawatir dari 18 pabrik itu, cuma 2 pabrik yang akan bertahan," tegasnya.
Direktur Utama PT Tirta Mumbul Jaya Abadi, Nyoman Arta Widnyana, meminta Pemprov Bali berpikir lebih holistik dalam menangani persoalan sampah. Ia menyebutkan, pelarangan produksi AMDK di bawah 1 liter berpotensi menurunkan omzet drastis hingga mengancam kelangsungan usaha dan nasib karyawan.
“Kita akan tetap berusaha. Tapi, untuk mengubah pangsa pasar dari cup dan botol ke kemasan satu liter itu kan tidak mudah, butuh waktu lama. Sementara karyawan harus dibayar setiap bulan,” ujarnya.
Data Sungai Watch mencatat limbah botol air kemasan PET hanya menyumbang 4,4 persen dari total sampah plastik di Bali dan Banyuwangi. Sementara sampah plastik lainnya seperti sachet 5,5 persen, kantong plastik 15,2 persen, dan plastik bening 16,2 persen.
Mantan anggota DPRD Bali, Anak Agung Susruta Ngurah Putra, menilai kebijakan ini salah sasaran. Ia menyebut pelarangan air kemasan di bawah 1 liter tidak akan menyelesaikan persoalan sampah jika tidak diikuti dengan regulasi menyeluruh terhadap semua jenis kemasan plastik.
Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI) juga menyayangkan kebijakan ini. Mereka menegaskan bahwa botol air kemasan kecil justru merupakan material yang banyak dicari dan diolah oleh industri daur ulang, sehingga pelarangan ini merugikan para pelaku usaha daur ulang plastik di Bali.
Editor: Redaksi
Reporter: bbn/tim