search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Saat Suara yang Tak Terlihat adalah Luka yang Tak Terucap
Minggu, 4 Mei 2025, 10:46 WITA Follow
image

bbn/net/ilustrasi/Saat Suara yang Tak Terlihat adalah Luka yang Tak Terucap.

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Ada kalanya luka batin dalamnya lebih dalam dari apa yang bisa dilihat oleh mata. Seorang perempuan usia 26 tahun datang ke rumah sakit setelah tiba-tiba kehilangan kesadaran saat sedang berkumpul dengan teman-temannya. Ini bukan pertama kalinya ia merasa "seperti akan mati". 

Jantungnya sering berdegup sangat cepat tanpa alasan, ia tiba-tiba merasa sesak napas dan ada rasa takut yang menusuk namun tidak bisa dijelaskan. Ia sering merasa cemas bahkan saat tidak ada masalah. Ia merasa seperti kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Ia minum alkohol hampir setiap malam, katanya supaya bisa tidur. Rokok dan kopi menjadi sahabat setiap harinya.

Ketika mulai sadar dan ditanya lebih dalam, ia menangis. Masa lalunya yang penuh luka dari keluarga yang terpecah, trauma yang belum pulih, sampai perasaan tak diinginkan telah menjadi bayangan gelap yang terus menghantuinya. Setiap kali membicarakannya, dadanya sesak. 

Bahkan tubuhnya bisa tiba-tiba kejang atau kerasukan, katanya, seakan ada yang mengambil alih dirinya. Dan kini, suara-suara asing mulai hadir dalam kepalanya. Suara laki-laki yang menyuruhnya menyakiti diri, menyuruhnya mati. Ia tidak tahu dari mana datangnya. Tapi suaranya terdengar nyata dan menakutkan.

Bukan Lemah, Bukan Gila

Apa yang dialami perempuan muda ini bukanlah lelucon, bukan juga kelemahan. Ini adalah kondisi yang nyata dan sangat mungkin dikenali dalam dunia psikiatri. Serangan panik, kecemasan menetap, depresi dengan trauma masa lalu, hingga halusinasi suara adalah gejala-gejala dari gangguan jiwa yang bisa ditangani bila ditangani secara tepat.

Ia mungkin mengalami gabungan antara gangguan panik, depresi berat dengan gejala psikotik, dan trauma kompleks. Bisa juga terdapat gejala awal dari gangguan psikotik seperti skizofrenia. Tidak ada satu label pasti tanpa pemeriksaan menyeluruh, tapi yang jelas ia butuh pertolongan, bukan penghakiman. 

Ia mengaku mengandalkan alkohol setiap malam agar bisa tidur. Merokok satu bungkus sehari untuk meredam kecemasan. Minum kopi saat lelah, agar bisa bertahan di siang hari. Siklusnya menjadi lingkaran tak berujung: susah tidur, kecemasan meningkat, lalu mencoba mematikan rasa lewat zat adiktif. 

Tapi efeknya hanya sesaat. Setelah itu, hampa kembali datang. Penggunaan zat seperti alkohol dan nikotin dalam jangka panjang justru memperparah kondisi psikis. Bukan hanya menunda penyembuhan, tapi juga bisa menciptakan ketergantungan yang memperburuk gangguan mental yang ada.

Stigma di sekitar kesehatan jiwa sering membuat penderita memilih diam. Mereka takut dianggap “gila”, takut dipinggirkan, takut disalahpahami. Tapi justru dengan memendam, luka jiwa bisa berubah menjadi suara-suara, bayangan, dan rasa takut yang menggerogoti dari dalam.

Saat Bayangan Menuntut Didengar

Apa yang dialami perempuan ini bisa dimaknai sebagai ekspresi dari jiwa yang menyimpan semua aspek diri yang ditolak, disangkal, atau tidak diakui oleh kesadaran dirinya. Masa lalu yang traumatis, kesedihan yang ditekan, perasaan tidak berharga, dan luka dari keluarga yang broken home, semuanya bisa menjadi bagian dari bayangan diri. 

Apabila hal ini tidak dikenali dan diintegrasikan, maka akan mencari jalan keluar sendiri yang mana terkadang dalam bentuk gejala seperti kecemasan tak beralasan, perasaan takut tak diinginkan, atau bahkan suara-suara yang datang dari dalam diri sendiri.

Dalam konteks ini, halusinasi auditorik bisa dipandang sebagai manifestasi simbolik dari konflik batin yang belum diselesaikan. Suara laki-laki yang menyuruhnya mati mungkin bukan “orang lain”, tetapi representasi arketipal dari animus (sisi maskulin dalam jiwa perempuan) yang terdistorsi karena pengalaman traumatis dan relasi yang menyakitkan di masa lalu. 

Semua kumpulan emosi dan pengalaman yang tidak terselesaikan dapat membentuk pusat energi sendiri dalam jiwa. Bisa jadi, ia tengah dikuasai oleh kompleks trauma masa kecil yang begitu kuat hingga menggerakkan perasaan, pikiran, bahkan tubuhnya secara tidak sadar. 

Dan ketika ia merasa “kerasukan”, mungkin itu adalah metafora batin dan bukan karena kemasukan roh, tapi karena bagian dirinya sendiri yang telah terasing terlalu lama, kini mencoba mengambil alih.

Dalam pandangan neurosains, gejala seperti serangan panik, kecemasan kronis, bahkan respons yang tampak seperti “kerasukan”, bukanlah tanda kelemahan mental, melainkan bentuk dari otak yang sedang berusaha bertahan hidup meskipun dengan cara yang keliru. 

Setiap kali seseorang merasa cemas atau takut, bagian otak yang bertugas mendeteksi ancaman akan teraktivasi. Dalam kondisi trauma berkepanjangan seperti masa kecil yang penuh konflik, bagian otak tersebut menjadi sangat sensitif, hingga menafsirkan situasi sehari-hari sebagai ancaman besar. 

Akibatnya, sistem saraf mengambil alih kendali tubuh yang berakibat detak jantung meningkat, napas menjadi pendek, tubuh bersiap dalam mode “lawan atau lari”, meskipun tidak ada bahaya nyata.

Dalam keadaan seperti ini, bagian otak yang berperan dalam logika, pengambilan keputusan, dan pengendalian emosi menjadi 
kurang aktif. Ini menjelaskan mengapa seseorang bisa merasa terjebak, panik, atau bahkan kehilangan kontak dengan kenyataan sekitarnya. Sementara itu, sirkuit memori emosional dalam otak ikut aktif dan menghidupkan kembali pengalaman masa lalu secara otomatis, seakan masa lalu itu sedang terjadi di saat ini. 

Bahkan halusinasi suara yang dialami berupa suara-suara yang menyuruh menyakiti diri atau mengakhiri hidup dapat muncul akibat aktivasi berlebihan dari otak yang dipicu oleh stres emosional berat. 

Belum lagi ditambah adanya gangguan koneksi antar sistem di otak sehingga suara dari pikiran batin terasa seolah berasal dari luar diri. Inilah yang sering disalahpahami sebagai kegilaan. Padahal, secara neurologis, ini adalah otak yang sudah lama diprogram untuk bertahan dalam situasi darurat namun salah dalam membaca sinyal.

Makna dalam Derita

Dalam gelapnya pengalaman batin yang menyesakkan dimana harapan nyaris padam, saat tubuh menolak bertahan, dan ketika suara-suara dalam kepala menyuruh untuk menyerah, apa lagi yang tersisa bagi seseorang? Ternyata masih ada makna dari pengalaman tersebut yang dapat dijadikan fondasi utama keberlangsungan jiwa. Bahkan penderitaan yang paling gelap sekali pun bukanlah akhir, selama seseorang masih mampu menemukan makna dari penderitaan itu.

Dalam kasus ini akan memunculkan banyak pertanyaan penting sebelum mendapatkan maknanya, Untuk apa kamu bertahan? Siapa yang masih ingin kamu perjuangkan? Nilai hidup apa yang masih layak kamu wakili, bahkan ketika dunia tampak runtuh?  Dalam setiap penderitaan terdalam sekalipun, manusia tetap memiliki kebebasan untuk memilih bagaimana ia merespons. Tidak semua trauma bisa sembuh dalam arti medis, tetapi semua pengalaman bahkan yang paling menyakitkan bisa dimaknai. Yang dibutuhkan bukan semata ketenangan atau obat penenang, tetapi alasan untuk tetap bangkit dari tempat tidur setiap pagi.

Dengan menemukan makna hidup melalui berbagai jalan, menghadapi penderitaan secara berani dan sadar, mengenali cinta dan hubungan sebagai kekuatan yang menyelamatkan, dan melalui pencapaian pribadi, sekecil apa pun itu akan mengubah penderitaan tersebut. Hal ini dikarenakan karena selalu ada sesuatu di dunia ini yang hanya kita yang bisa menyumbangkannya, hanya kita sendiri yang bisa memberikan maknanya. 

Sehingga pertanyaan selanjutnya untuk kasus ini bukan hanya apa gejalamu? melainkan pertanyaan lebih dalam yaitu Untuk apa kamu masih hidup hari ini? Siapa yang akan kehilanganmu jika kamu pergi? Jika penderitaanmu adalah pesan, apa yang ingin ia sampaikan padamu?

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu tidak sekadar memunculkan jawaban rasional, tetapi menyentuh akar eksistensi bahwa hidup belum selesai. Bahwa luka, jika didekati dengan kesadaran, bisa menjadi pintu pulang menuju keutuhan diri. Bahwa di antara semua suara menakutkan dalam kepala, masih ada suara lain yang lebih dalam dan lebih tulus yaitu suara jiwa yang ingin tetap hidup.

Mari kita belajar bahwa yang benar-benar menyembuhkan kita bukan hanya obat, terapi, atau nasihat, melainkan penemuan kembali makna hidup bahkan di tengah reruntuhan hidup yang tampak tak layak dijalani. Dan ketika seseorang mulai berani bertanya, “Apa makna dari semua ini?”, maka saat itulah benih kebangkitan mulai tumbuh.

Ada Harapan dari Jiwa yang Pernah Hampir Menyerah

Kisah perempuan muda ini yang terjatuh bukan hanya karena tubuhnya lelah, tetapi karena jiwanya tak lagi sanggup memikul beban, menyadarkan kita akan satu hal penting bahwa luka batin yang tidak terlihat sering kali justru menjadi luka terdalam. Apa yang ia alami bukanlah bentuk kelemahan. Ia adalah refleksi dari jiwa yang bertahan terlalu lama dalam sunyi. Kita sering lupa bahwa seseorang bisa tampak baik di luar namun hancur di dalam. Dan kadang, satu senyum di kafe sore hari sebenarnya menyembunyikan ribuan pertempuran di benaknya.

Jangan pernah meremehkan suara yang datang dari dalam kepala, atau perasaan yang tak bisa dijelaskan dengan logika. Di balik setiap gejala yang tampak aneh, mungkin ada trauma yang belum pernah ditampung. Di balik setiap kecemasan yang muncul tanpa alasan, mungkin ada ingatan yang terus berulang dalam diam. 

Di tengah gelapnya perjalanan yang dijalani, manusia tetap bisa menyalakan cahaya, meski hanya kecil, tapi cukup untuk bertahan. Dan bahwa jiwa yang ingin hidup, jika diberi ruang dan dimengerti, akan selalu menemukan jalannya pulang untuk kembali berjuang dan melanjutkan perjalanannya.

Bagi Anda yang pernah mengalami hal serupa, atau mungkin sedang mengalaminya, Anda tidak sendiri. Perasaan takut, sedih, kosong, bahkan suara-suara yang muncul tanpa sumber, bukanlah tanda bahwa kita lemah. Itu tanda bahwa tubuh dan jiwa kita sedang berteriak minta ditolong. 

Jangan biarkan stigma gangguan jiwa menghalangi jalan kita menuju pemulihan. Berbicaralah pada seseorang yang Anda percaya. Datangi tenaga profesional, karena seperti luka di tubuh, luka di jiwa pun bisa sembuh dengan waktu, pengobatan yang tepat, dan dukungan yang tulus. (Prof Dr dr Cokorda Bagus Jaya Lesmana, SpKJ(K), MARS)

Editor: Redaksi

Reporter: bbn/tim



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami