Ada Suara di Dalam Diri yang Mengajak Pergi
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Seorang perempuan berusia 18 tahun mengeluh sering merasa sedih dan hampa selama dua tahun terakhir, terutama setelah bertengkar dengan ayahnya yang kerap bersikap kasar secara fisik dan verbal.
Akhir-akhir ini, perasaannya memburuk dengan munculnya rasa putus asa, rasa bersalah, lelah, tidak bersemangat, sulit tidur, dan hilang nafsu makan. Ia juga sering ingin menyakiti diri, seperti menjambak rambut atau memukul kepala saat marah.
Tiga kali ia mencoba bunuh diri, salah satunya dengan meminum racun tikus. Setelah itu ia merasa lemas, muncul lebam dan BAB berdarah, hingga akhirnya dibawa ke rumah sakit.
Sebelum percobaan tersebut, ia mendengar suara perempuan yang mengatakan bahwa dirinya tidak berguna dan lebih baik mati. Sejak SMP, ia juga sering melihat sosok perempuan yang menyerupai dirinya, terutama saat sedang sedih.
Sosok itu seakan menemani dan memahami rasa sakitnya. Ia tidak pernah mengalami fase gembira berlebihan atau aktivitas berlebihan. Untuk meluapkan emosi, ia sering merokok, minum alkohol, dan mengendarai motor tanpa arah. Saat ini tidurnya masih terganggu, dan nafsu makannya belum pulih. Ia merasa bingung, kesepian, dan tidak tahu harus bagaimana menghadapi kehidupannya.
Menembus trauma masa kanak
Kalau kita baca dinamika kejiwaan yang dialami oleh remaja ini, dapat ditelusuri kembali adanya pengalaman hubungan traumatik awal dengan figur orangtua, khususnya ayah yang dominan bersikap kasar secara fisik dan verbal. Gangguan emosi berat seperti depresi berat dan dorongan destruktif terhadap diri sendiri sering kali berakar dari kegagalan dalam integrasi internal objek baik dan jahat yang berasal dari hubungan awal dengan objek primer (biasanya orangtua).
Dalam masa perkembangan awal, individu melalui fase yang disebut sebagai posisi paranoid-schizoid, yakni tahap di mana anak membagi pengalaman dan figur menjadi dua kutub ekstrem. Ada objek yang sepenuhnya baik dan sepenuhnya jahat. Dalam kasus ini, ayah yang menjadi figur dominan diasosiasikan sebagai objek yang menyakitkan dan mengancam, sementara ibu hadir secara pasif dan gagal melindungi, sehingga remaja ini kehilangan pengalaman pengasuhan yang aman dan konsisten.
Akibatnya, ia mengembangkan kecenderungan untuk splitting, yaitu membelah dunia dalam kategori ekstrem. Hal ini menjelaskan cara pandangnya terhadap relasi dan diri sendiri sebagai sangat buruk, tak berguna, dan penuh rasa bersalah.
Seiring bertambahnya usia, ia tampak memasuki fase berikutnya yang dikenal sebagai posisi depresi, yakni saat individu mulai menyadari bahwa objek yang ia cintai ternyata bisa menjadi objek yang menyakiti. Dalam fase ini, muncul rasa bersalah yang kuat karena dorongan agresif masa lalu terhadap figur tersebut, dalam hal ini ayah. Rasa bersalah ini tidak dapat disalurkan atau diperbaiki secara sehat karena relasi dengan ayah tetap penuh kekerasan dan tidak memungkinkan adanya reparasi emosional.
Maka, agresi yang tidak terungkap terhadap ayah tersebut berubah arah menjadi agresi terhadap diri sendiri, yang tampak dalam bentuk menyayat tubuh, memukul kepala, atau bahkan mencoba bunuh diri. Hal ini menunjukkan berfungsinya mekanisme pertahanan primitif seperti introyeksi dan sadisme terinternalisasi, di mana individu merasa dirinya pantas dihukum karena telah menyimpan kemarahan atau kebencian terhadap figur yang semestinya dicintai.
Halusinasi auditorik berupa suara yang menyuruhnya mati, serta visualisasi sosok perempuan yang menyerupai dirinya sejak SMP, dapat ditafsirkan sebagai ekspresi dari mekanisme proyeksi identitas, suatu proses di mana bagian-bagian diri yang tak tertoleransi dipisahkan, diproyeksikan keluar, lalu berinteraksi sebagai objek eksternal yang seolah-olah otonom.
Sosok imajiner ini menjadi “teman dalam penderitaan” sekaligus bagian dari diri yang retak, yang terus menguatkan siklus penderitaan dan tindakan menyakiti diri. Dalam konteks ini, perilaku menyakiti diri menjadi bukan hanya bentuk hukuman, tetapi juga komunikasi non-verbal terhadap dunia yang tidak pernah memahami penderitaannya.
Secara keseluruhan, kasus ini mencerminkan konflik internal yang kompleks antara kebutuhan mencintai dan dorongan membenci, antara harapan untuk diterima dan rasa takut ditolak, yang belum berhasil diintegrasikan secara sehat dalam struktur kepribadiannya.
Saat racun menjadi pelarian
Di Indonesia dan negara berkembang lainnya, racun tikus kerap menjadi pilihan karena tersedia bebas dan tidak memerlukan resep. Penggunaan racun tikus sebagai alat untuk percobaan bunuh diri tidak hanya menimbulkan dampak fisik yang serius, tetapi juga berdampak mendalam terhadap kondisi mental seseorang, baik sebelum, selama, maupun setelah kejadian tersebut.
Dalam konteks psikiatri, keputusan untuk menelan racun tikus biasanya tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan merupakan puncak dari akumulasi penderitaan psikis yang tidak tertangani. Umumnya, tindakan ini dilakukan oleh individu yang mengalami gangguan jiwa berat, terutama gangguan depresi dengan atau tanpa gejala psikotik.
Individu tersebut seringkali diliputi oleh rasa putus asa, merasa tidak berguna, mengalami perasaan bersalah yang mendalam, dan kehilangan harapan akan masa depan. Ketika seseorang merasa tidak ada jalan keluar, ide bunuh diri menjadi jalan terakhir, dan racun tikus dipilih karena mudah didapat dan dianggap efektif untuk mengakhiri hidup.
Setelah upaya tersebut dilakukan dan gagal, kondisi mental individu justru dapat memburuk. Banyak pasien yang mengalami apa yang disebut sebagai “guilt of survival” atau rasa bersalah karena tidak berhasil mati. Perasaan ini memperkuat stigma internal dan memperdalam keputusasaan.
Beberapa pasien bahkan mengalami trauma baru, terutama jika proses keracunan disertai dengan gejala fisik yang menyakitkan seperti nyeri hebat, muntah, perdarahan, dan kelemahan ekstrem. Selain itu, pengalaman rawat inap, pengucilan dari keluarga, atau rasa malu karena diketahui oleh lingkungan juga dapat menimbulkan gangguan stres pascatrauma, gangguan kecemasan, atau memperburuk kondisi depresi yang sudah ada.
Dari aspek neurobiologis, racun tikus memiliki efek langsung terhadap sistem saraf pusat. Beberapa jenis racun tikus, seperti zinc phosphide dan aluminium phosphide, melepaskan gas fosfin yang sangat beracun bagi sel tubuh, termasuk neuron di otak.
Akibatnya, dapat terjadi ensefalopati toksik, yaitu gangguan otak akut yang ditandai dengan kebingungan, perubahan kesadaran, gangguan kognitif, hingga koma. Bila seseorang bertahan hidup, ada risiko terjadinya kerusakan jangka panjang pada fungsi otak yang berkaitan dengan memori, konsentrasi, dan emosi.
Jenis racun lain seperti warfarin dan bromadiolone bekerja dengan mengganggu proses pembekuan darah. Bila terjadi perdarahan di otak (perdarahan intraserebral), dapat muncul gejala neurologis yang berat, seperti kejang, penurunan kesadaran, atau gangguan kognitif yang menetap. Semua ini dapat mempengaruhi kondisi psikologis pasca-insiden, termasuk meningkatnya risiko kecemasan, depresi kronis, serta perubahan kepribadian.
Selain dampak biologis langsung, kerusakan fisik yang ditimbulkan oleh racun tikus juga dapat menciptakan lingkaran setan psikofisiologis, dimana tubuh yang melemah dan fungsi otak yang terganggu membuat seseorang semakin sulit berpikir jernih dan mengelola emosinya, sehingga memperparah kondisi mentalnya. Oleh karena itu, upaya bunuh diri dengan racun tikus tidak boleh dianggap sebagai kejadian medis semata, melainkan harus dipahami sebagai sinyal adanya krisis psikologis yang serius.
Penanganannya tidak cukup hanya bersifat fisik, tetapi juga harus mencakup intervensi psikologis dan psikiatris secara menyeluruh, serta dukungan sosial yang berkelanjutan.
Menemani mereka yang terluka
Untuk kasus percobaan bunuh diri seperti ini, langkah pertama yang harus dilakukan adalah memastikan keselamatan fisik pasien melalui penanganan medis segera. Setelah kondisi stabil, evaluasi psikiatris menyeluruh sangat penting untuk menilai tingkat keparahan gangguan mental, riwayat trauma, dan risiko bunuh diri berulang. Penegakan diagnosis, seperti gangguan depresif berat dengan fitur psikotik, menjadi dasar intervensi selanjutnya.
Keterlibatan keluarga sangat dibutuhkan, baik untuk mendukung proses pemulihan maupun mengurangi dinamika kekerasan atau konflik yang menjadi pemicu. Apabila keluarga tidak mendukung, proses pemulihan pasien dengan riwayat percobaan bunuh diri atau gangguan mental menjadi lebih sulit, namun bukan tidak mungkin dilakukan.
Dalam situasi seperti ini, hal terpenting adalah membangun hubungan terapeutik yang kuat dan penuh empati antara pasien dan tenaga kesehatan mental. Relasi ini dapat menjadi sumber dukungan emosional sementara yang aman, menggantikan peran keluarga yang belum mampu hadir secara sehat.
Selain itu, penting untuk melibatkan sistem dukungan alternatif seperti teman dekat, guru, pasangan, komunitas rohani, atau pekerja sosial yang dapat memberikan rasa diterima dan dipahami. Yang paling penting adalah memastikan bahwa pasien tidak merasa sendirian, dan tetap memiliki harapan serta akses terhadap lingkungan yang suportif untuk proses pemulihan jangka panjang. (Prof Dr dr Cokorda Bagus Jaya Lesmana, SpKJ(K), MARS)
Editor: Redaksi
Reporter: bbn/tim