search
light_mode dark_mode
Naga Merah di Langit-Langit, Ketika Realitas Mulai Terganggu

Minggu, 13 Juli 2025, 10:54 WITA Follow
image

bbn/ilustrasi/Naga Merah di Langit-Langit, Ketika Realitas Mulai Terganggu.

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Seorang perempuan berusia 35 tahun datang dengan keluhan perubahan perilaku sejak satu minggu terakhir. 

Ia menjadi mudah marah, menentang suami, sulit tidur, dan menunjukkan perilaku tidak biasa. Puncaknya terjadi saat Idul Fitri, ketika ia marah tanpa sebab, mandi tanpa membilas busa di rambut, lalu merendam pakaian dengan campuran sabun dan pembersih lantai untuk "ritual penyucian." 

Ia berbicara sendiri, berteriak, dan mengaku melihat "naga merah" di langit-langit. Ia juga bersikap agresif, memecahkan kaca dengan palu, dan mengancam suami dengan pisau.

Ia meyakini ada orang yang hendak mencelakainya dengan menabur garam di halaman. Ketertarikan terhadap ilmu mistik yang sempat muncul lima tahun lalu kembali muncul setelah membaca buku bertema ilmu hitam. Ia sulit tidur dan kerap menonton TikTok hingga dini hari. 

Ia mulai kehilangan kemampuan merawat diri dan harus diingatkan oleh keluarga. Menurut adiknya, ia sempat menunjukkan kecurigaan terhadap tetangga yang menabur garam di lingkungan kosnya. 

Ia memiliki riwayat dua kali keguguran (2021 dan 2023), dengan episode sedih mendalam dan ide bunuh diri setelah kejadian terakhir, meski tidak pernah mencari pertolongan profesional. Sehari-hari, ia dikenal impulsif dan mudah tersinggung. Tidak ada riwayat penggunaan zat atau gangguan jiwa dalam keluarga yang dilaporkan.

Konflik batin yang bergejolak

Dalam kehidupan manusia, tak semua luka terlihat oleh mata. Ada luka-luka yang mengendap dalam diam, memadat dalam jiwa, lalu suatu hari meledak sebagai jeritan, kemarahan, atau bahkan halusinasi. Dari sudut pandang psikodinamika, gejala psikotik yang dialami oleh perempuan ini mencerminkan konflik batin yang lama terpendam dan akhirnya muncul ke permukaan secara disfungsional dalam bentuk disorganisasi pikiran, persepsi, dan perilaku. 

Gangguan persepsi seperti halusinasi visual (“melihat naga merah”), ide delusional terkait penganiayaan (“ada yang menabur garam untuk mencelakai”), serta ledakan afek berupa kemarahan dan agresivitas, dapat dipahami sebagai ekspresi simbolik dari konflik internal yang tidak tersadari. 

Ketertarikannya terhadap topik mistik dan ilmu hitam, yang sempat ditekan selama beberapa tahun karena larangan suami, kemungkinan besar mencerminkan dorongan bawah sadar akan rasa ingin tahu, kontrol, dan kekuasaan, yang tidak mendapatkan kanal penyaluran yang sehat dalam kehidupan sehari-hari. 

Larangan dari pihak eksternal (suami) tanpa adanya ruang untuk eksplorasi simbolik atau sublimasi (misalnya melalui kegiatan spiritual atau kreatif yang sehat), berpotensi memicu tekanan superego yang intens. Dalam kondisi stres atau kelelahan psikis, konflik antara dorongan id (impuls) dan pengawasan superego yang kaku dapat menimbulkan kecemasan yang begitu besar hingga menyebabkan dekompensasi ego dan manifestasi psikotik.

 

Mekanisme pertahanan ego yang dominan tampak adalah proyeksi, di mana kecemasan dan perasaan negatif internal dipindahkan keluar dirinya dalam bentuk kecurigaan terhadap orang lain (seperti tetangga atau orang yang menabur garam). Selain itu, penggunaan mekanisme denial dan acting out juga terlihat kuat, seperti dalam tindakan agresif memecahkan kaca dan mengancam suami dengan pisau, yang menunjukkan kegagalan mengolah frustrasi secara verbal atau reflektif.

Kemungkinan besar, gejala saat ini juga berkaitan dengan struktur kepribadian premorbid yang impulsif dan iritabel. Individu dengan struktur kepribadian borderline atau ambang sering kali memiliki kesulitan dalam meregulasi afek, mempertahankan citra diri yang stabil, serta membedakan realitas internal dan eksternal. Ketika dihadapkan pada stresor yang bertumpuk, mereka lebih rentan mengalami disosiasi, depersonalisasi, atau bahkan dekompensasi psikotik sebagai bentuk “breakdown” dari integrasi ego.

Pengalaman traumatis berupa dua kali keguguran, terutama yang kedua disertai keinginan bunuh diri, sangat mungkin meninggalkan luka psikis yang belum terselesaikan. Ia telah dikenal sebagai pribadi yang mudah marah dan impulsif. Hal ini menandakan kemungkinan adanya gangguan dalam fungsi regulasi afek, yang dalam situasi stres berat dapat menghasilkan ledakan emosi destruktif yang tidak tertuju secara adaptif. Dalam konteks kehilangan dan kekecewaan, impulsivitas ini dapat berbalik menjadi kemarahan yang diarahkan ke dalam, berupa keinginan untuk menyakiti diri sendiri atau mengakhiri hidup.

Dalam model psikodinamik klasik, pengalaman kehilangan yang tidak diproses secara sadar dapat mengakibatkan identifikasi pasif terhadap objek yang hilang dan munculnya perasaan bersalah atau marah yang ditujukan kembali ke dalam diri sendiri atau diproyeksikan keluar. Hal ini juga tercermin dari perilaku menyucikan pakaian dengan sabun dan pembersih lantai bisa dibaca sebagai usaha simbolik untuk membersihkan diri dari rasa bersalah, malu, atau bahkan keinginan tak sadar untuk menebus dosa atas peristiwa masa lalu yang tak pernah ia bahas secara terbuka.

Kita bisa melihat bahwa perempuan ini mungkin tidak benar-benar kehilangan akal, melainkan sedang mencari makna, pengakuan, dan kebebasan ekspresi diri, yang terlalu lama ditekan oleh norma, relasi, dan stigma. Sayangnya, upaya tersebut muncul dalam bentuk regresif dan destruktif karena tidak ada ruang aman untuk proses reflektif yang sehat.

Kompleksitas relasi sosial, budaya, dan keluarga

Kasus ini menggambarkan kompleksitas hubungan antara faktor sosial, budaya, dinamika keluarga, serta peran gender dalam mempengaruhi kesehatan jiwa seseorang. Ia merupakan perempuan dewasa usia produktif yang telah mengalami dua kali keguguran, sebuah peristiwa yang dalam konteks budaya Indonesia sering kali dipersepsikan sebagai kegagalan memenuhi peran domestik dan reproduktif. 

Kondisi ini dapat memunculkan perasaan malu, rendah diri, dan isolasi emosional, terlebih ketika proses berduka tidak mendapat pengakuan sosial yang memadai. Dari sisi relasi keluarga, ia tampaknya tidak memperoleh dukungan emosional yang cukup, terutama dari suami. Ketertarikannya terhadap hal-hal spiritual yang bersifat non-konvensional justru ditekan dan dilarang, menunjukkan adanya pola komunikasi yang tidak setara dan kaku di dalam rumah tangga. Ketidakhadiran ruang dialog dan empati dalam keluarga berkontribusi terhadap meningkatnya isolasi psikologis dan deprivasi afektif, yang merupakan faktor risiko penting dalam perkembangan gangguan jiwa.

Di sisi lain, keterlibatannya dengan topik mistik dan keyakinan bahwa dirinya sedang diserang melalui simbol-simbol tertentu seperti garam, mencerminkan konflik antara kepercayaan personal dengan norma sosial yang dominan. Dalam masyarakat yang masih sarat dengan stigma terhadap praktik mistik, pengalaman spiritual seperti ini sering kali tidak mendapat ruang untuk diekspresikan secara sehat, sehingga menjadi tekanan psikis yang terus terakumulasi. 

Kecurigaan terhadap tetangga dan lingkungan kos juga menunjukkan adanya ketidakamanan sosial yang memperparah rasa terancam dari dalam. Tidak tertutup kemungkinan ia pernah mengalami perlakuan diskriminatif atau marginalisasi yang semakin memperkuat persepsi ancaman dari luar. 

Selain itu, pola pelarian ke media sosial, dalam hal ini menonton TikTok secara berlebihan hingga tidak tidur menunjukkan bentuk isolasi digital. Meskipun tampak terkoneksi secara daring, pasien sebenarnya mengalami keterputusan secara emosional dari relasi nyata, dan konten yang dikonsumsi pun tidak selalu membantu, bahkan bisa memperkuat delusi atau keyakinan mistik.

Gangguan mental yang dialaminya tidak muncul secara tiba-tiba atau berdiri sendiri, melainkan merupakan hasil interaksi antara luka batin yang tidak tertangani secara sosial, relasi interpersonal yang tidak suportif, tekanan budaya yang membungkam ekspresi diri, serta lingkungan yang tidak ramah terhadap perbedaan. 

Merawat luka yang tak terlihat

Gangguan jiwa bukan semata kerusakan otak, melainkan juga jeritan jiwa yang tak didengar. Melalui tulisan ini, mari kita tidak sekadar meredam gejala dengan obat, tetapi juga menyelami cerita-cerita yang tak sempat terucap tentang kehilangan, penolakan, dan harapan yang dipendam terlalu lama. 

Masyarakat perlu membangun lingkungan yang ramah terhadap kesehatan jiwa, di mana tetangga, lingkungan kos, dan warga sekitar tidak memperkuat stigma atau memperburuk kondisi orang dengan gangguan jiwa dengan tindakan seperti menyebar gosip, mengucilkan, atau memperlakukan mereka secara mencurigakan. Sebaliknya, komunitas harus menciptakan atmosfer sosial yang aman, inklusif, dan empatik. Dalam kasus seperti ini, terapi bukan hanya tentang menyembuhkan, tetapi tentang menemani seseorang untuk pulang ke dalam dirinya sendiri. (Prof Dr dr Cokorda Bagus Jaya Lesmana, SpKJ(K), MARS)

Editor: Redaksi

Reporter: bbn/tim



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami