search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Berpotensi Dibatalkan, SE Larangan AMDK di Bawah 1 Liter Dinilai Langgar Aturan Lebih Tinggi

Jumat, 25 Juli 2025, 00:12 WITA Follow
image

bbn/ilustrasi/Berpotensi Dibatalkan, SE Larangan AMDK di Bawah 1 Liter Dinilai Langgar Aturan Lebih Tinggi.

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, NASIONAL.

Surat Edaran (SE) Gubernur Bali I Wayan Koster Nomor 9 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah yang melarang produksi dan distribusi air minum dalam kemasan (AMDK) di bawah 1 liter dinilai tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Hal ini karena klausul pelarangan tersebut tidak tercantum dalam peraturan perundang-undangan di atasnya.

Jika SE tersebut tetap dipaksakan, Kementerian Dalam Negeri berpotensi melakukan uji yudisial, karena kebijakan ini bisa menimbulkan inkonsistensi penegakan aturan di kabupaten/kota se-Bali terkait lingkungan.

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Erfandi, menyatakan bahwa niat baik Gubernur Bali untuk menjaga kebersihan lingkungan patut diapresiasi. Namun menurutnya, kebijakan daerah tetap harus sejalan dengan aturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

“Salah satu prosedur dalam membuat keputusan di provinsi ataupun di Pemda itu adalah harus merujuk kepada aturan yang lebih tinggi. Itu sudah menjadi prinsip, sehingga tidak boleh kalau ada keputusan atau edaran dari gubernur yang kemudian bertentangan dengan aturan yang di atasnya,” ujarnya.

Erfandi menegaskan bahwa jika kepala daerah tetap memaksakan SE yang bertentangan dengan hukum nasional, Menteri Dalam Negeri berwenang untuk mengujinya secara hukum demi menjaga keselarasan kebijakan nasional dan daerah.

“Karena, kebijakan lingkungan daerah seperti ini bisa berbenturan atau tumpang tindih dengan peraturan pusat, dan mewujudkan ketidakpastian hukum dan tidak efektifnya pelaksanaan kebijakan lingkungan di daerah,” katanya.

Ia juga menekankan bahwa secara hukum, SE tidak punya kekuatan mengikat secara hukum.

“Yang namanya surat edaran itu hanya mengikat secara moral saja, tidak punya implikasi hukum. Apalagi kalau klausulnya bertentangan dengan peraturan yang di atasnya, maka itu batal demi hukum,” ucapnya.

Menurut Erfandi, pemda perlu memahami bahwa SE bukanlah instrumen yang sah untuk mengatur larangan, apalagi dengan muatan pidana.

“Kalau itu dilakukan, bahaya itu. Nggak boleh seperti itu. Beda dengan Perda. Apalagi kita Negara Kesatuan Republik Indonesia dan bukan negara federal, di mana antara peraturan yang di bawah dengan peraturan diatasnya itu harus saling berhubungan. Nggak boleh kemudian berdiri sendiri sekehendak hatinya,” tandasnya.

Dia menambahkan, “Artinya, SE itu tidak boleh bertentangan dengan aturan diatasnya yang memberikan delegasi,” tukasnya.

Dosen Prodi Hukum Universitas Dharma Andalas, Desi Sommalia Gustina, turut menguatkan pandangan tersebut. Ia menyebut dalam sistem hukum Indonesia, hierarki peraturan sudah diatur secara tegas dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011.

Ia menjelaskan bahwa Surat Edaran bukan bagian dari hierarki peraturan perundang-undangan, melainkan hanya bersifat administratif internal dan tidak dapat memuat norma hukum baru.

“Jadi, SE tidak bisa menjadi dasar penjatuhan sanksi hukum, apalagi melampaui peraturan yang lebih tinggi. Dalam prinsip hukum administrasi negara, SE tidak memiliki kekuatan mengikat ke luar (hanya ke internal), apalagi jika isinya bertentangan dengan peraturan diatasnya,” tuturnya.

Desi juga menilai bahwa jika SE menyentuh hak dan kewajiban publik, maka itu melanggar asas legalitas dan berisiko digugat ke PTUN.

“Jadi, jika digunakan untuk mengatur publik, SE rawan digugat ke PTUN dan bisa dibatalkan. SE itu juga isinya tidak boleh bertentangan dengan peraturan diatasnya,” ucapnya.

Padahal, Bali sebenarnya telah memiliki berbagai regulasi terkait pengelolaan sampah, seperti Perda Provinsi Bali No.5 Tahun 2011, Perda No.1 Tahun 2017, Pergub No.97 Tahun 2018, hingga Pergub No.47 Tahun 2019 dan lainnya. Tak satu pun dari peraturan itu secara spesifik melarang produksi AMDK di bawah 1 liter.

Pakar Hukum dari Universitas Udayana, Arya Utama, menilai bahwa peraturan yang sudah ada sebetulnya cukup kuat dan dapat dijalankan tanpa perlu menambah kebijakan baru seperti SE.

“Untuk apa banyak-banyak kebijakan dikeluarkan kalau tidak ada pelaksanaannya. Kalaupun mau mengeluarkan Surat Edaran, itu cukup untuk mengingatkan saja Pergub yang sudah ada. Tidak usah menambah-nambahi aturannya. Karena Pergub itu saja sudah cukup bagus, itu saja yang dieksekusi,” ucapnya.

Ia juga menekankan agar kebijakan penanganan sampah tidak diskriminatif.

“Pergub kan juga sebenarnya sudah mengaturnya dan malah tidak tebang pilih. Pergub mengatur semua jenis sampah plastik dan bukan hanya plastik air minum kemasan sekali pakai yang kecil saja,” katanya.

Editor: Redaksi

Reporter: bbn/tim



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami