search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
LSM Kritik Pembentukan Bale Kertha Adhyaksa, Dinilai Tumpang Tindih
Senin, 9 Juni 2025, 12:42 WITA Follow
image

beritabali/ist/LSM Kritik Pembentukan Bale Kertha Adhyaksa, Dinilai Tumpang Tindih.

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, GIANYAR.

Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat Garda Pejuang Penerus Aspirasi Rakyat (LSM GARPPAR), Ngakan Made Rai, menyampaikan apresiasinya terhadap inisiatif Kejaksaan Tinggi Bali dalam membentuk Bale Kertha Adhyaksa, sebuah wadah penyelesaian sengketa hukum di tingkat desa dan desa adat.

Konsep tersebut, menurut Kejaksaan, mengusung pendekatan restorative justice, kekeluargaan, dan musyawarah.

Namun demikian, dalam pernyataannya di Sekretariat GARPPAR, Jalan Raya Bukit Jati, Gianyar, Ngakan Rai mempertanyakan posisi dan kewenangan Bale Kertha Adhyaksa yang dinilainya berpotensi tumpang tindih dengan lembaga adat yang telah eksis, yakni Kerta Desa.

“Kami mempertanyakan apakah pembentukan Bale Kertha Adhyaksa tidak akan menimbulkan tumpang tindih dengan kewenangan Kerta Desa. Sebab, sesuai Pasal 37 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat, Kerta Desa merupakan lembaga yang berwenang menerima, memeriksa, dan menyelesaikan perkara adat (wicara) yang terjadi di Desa Adat berdasarkan hukum adat,” ujar Ngakan Rai.

Ia menambahkan bahwa Kerta Desa juga menyelesaikan permasalahan melalui mekanisme permusyawaratan atau panyamabrayaan. Oleh karena itu, menurutnya, perlu ada kejelasan hukum mengenai ruang lingkup kewenangan Bale Kertha Adhyaksa.

“Jika Bale Kertha Adhyaksa dimaksudkan untuk menyelesaikan perkara hukum secara restorative justice baik di desa adat maupun desa dinas, kami meminta penjelasan perkara seperti apa yang termasuk dalam kewenangannya,” tambah Ngakan Rai.

Lebih lanjut, Ngakan Rai mengingatkan agar pembentukan lembaga baru hendaknya mempertimbangkan efektivitas dan potensi tumpang tindih kelembagaan. Ia mencontohkan apabila suatu perkara adat tidak mencapai kesepakatan dan dilaporkan ke penegak hukum formal, seperti kepolisian, maka perlu ada kejelasan mengenai mekanisme penyelesaian selanjutnya.

“Kalau salah satu pihak tidak sepakat lalu membawa persoalan ke ranah hukum formal, apakah itu dibenarkan secara hukum?” tanya Ngakan Rai.

Ngakan Rai juga menyarankan agar Kejaksaan kembali menghidupkan program penyuluhan hukum ke desa-desa, sebagaimana praktik di masa lalu dengan program “Jaksa Masuk Desa”. Menurutnya, pendekatan preventif tersebut lebih efektif dalam menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat.

“Daripada membentuk lembaga baru, lebih baik jaksa aktif turun ke desa untuk melakukan penyuluhan hukum. Kerta Desa yang sudah berjalan selama ini terbukti efektif dalam konteks pencegahan,” katanya.

Ia pun mengapresiasi pendekatan yang dilakukan Polres Gianyar melalui program Jumat Curhat yang rutin dilaksanakan di desa-desa. Menurutnya, pendekatan tersebut sangat efektif dalam menyerap aspirasi masyarakat serta meningkatkan kesadaran hukum.

“Saya juga ingin menanyakan kepada Bapak Gubernur Koster, apakah pembentukan Bale Kertha Adhyaksa tidak melanggar atau bertentangan dengan substansi Perda Nomor 4 Tahun 2019 yang telah mengatur secara jelas tugas dan kewenangan Kerta Desa?” pungkas Ngakan Rai.

Editor: Redaksi

Reporter: bbn/gnr



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami