Akun
guest@beritabali.com
Beritabali ID: —
Langganan

Beritabali Premium Aktif
Nikmati akses penuh ke semua artikel dengan Beritabali Premium
Ketika Luka yang Tak Terlihat Menyapa Kembali Diri yang Tersesat
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Seorang perempuan berusia 30 tahun datang dengan keluhan utama pusing yang dirasakan sejak dua hari sebelum masuk rumah sakit. Ia tampak sedih, namun berpenampilan rapi dengan bulu mata palsu dan cat kuku berwarna pink.
Selama wawancara, ia dapat menjawab pertanyaan dengan baik, berbicara koheren, dan mampu mempertahankan kontak mata dengan pemeriksa. Ia mengaku sering merasa sedih selama beberapa bulan terakhir, kehilangan energi, serta kehilangan minat terhadap aktivitas yang sebelumnya disenangi.
Ia merasa kesedihan tersebut dipicu oleh larangan mantan suami untuk bertemu dengan anaknya serta kekhawatiran tidak diterima bekerja di kapal pesiar.
Ia juga menceritakan bahwa baru bebas dari penjara pada bulan Maret 2025 setelah menjalani hukuman selama tiga tahun akibat kasus penggadaian mobil. Sebelum periode kesedihan ini, ia pernah mengalami fase senang berlebihan, di mana ia merasa sangat berenergi, banyak berbelanja, berbicara cepat, dan tetap aktif meskipun tidur sangat sedikit.
Saat ini, ia mengaku memiliki kecurigaan terhadap laki-laki di sekitarnya, merasa mereka berpotensi menyakitinya, namun masih menyadari bahwa pikiran tersebut belum tentu benar. Ia juga melaporkan pernah melihat bayangan menyerupai tantenya tanpa adanya objek nyata, meskipun tidak mendengar suara tanpa sumber.
Dua hari sebelum dirawat, seorang teman menemukan dirinya menangis di kamar sambil memegang pisau dan membenturkan kepala ke tembok karena perasaan sedih yang mendalam, namun tidak ditemukan adanya luka fisik. Dalam dua hari terakhir, ia mengalami gangguan tidur berupa sering terbangun di malam hari, nafsu makan menurun, tubuh berkeringat, serta keluhan pusing berputar disertai nyeri kepala di dahi dan sisi kanan-kiri kepala.
Ia juga diketahui baru beberapa bulan mengikuti pendidikan dan sering bolak-balik dari Tabanan menggunakan sepeda motor. Saat ini, ia tidak memiliki keinginan untuk menyakiti diri.
Memahami luka dalam relasi dan identitas
Kasus seperti ini menunjukkan bagaimana jiwa manusia menyimpan lapisan-lapisan yang saling bertautan antara pengalaman masa lalu, konflik batin, dan kebutuhan akan penerimaan. Dari sudut pandang psikodinamika, akar persoalan perempuan ini tampak berawal dari kehilangan objek penting yaitu anaknya.
Dalam teori objek-relasi, seorang ibu memiliki ikatan emosional mendalam terhadap anaknya. Ketika hubungan itu terputus, muncul rasa hampa dan kehilangan makna. Larangan untuk bertemu anak bukan sekadar pembatasan fisik, tetapi juga simbol penolakan yang menusuk harga diri terdalam.
Dalam konteks ini, sedihnya bukan sekadar karena tidak bisa bertemu anak, tetapi karena ia merasa gagal sebagai ibu, sebagai perempuan, bahkan sebagai manusia. Rasa malu akibat masa lalunya sebagai narapidana memperparah luka tersebut. Ia merasa dunia menatapnya dengan stigma, dan itu membuatnya sulit berdamai dengan dirinya sendiri.
Di sinilah muncul konflik identitas, antara keinginan untuk menebus masa lalu dan ketakutan untuk ditolak kembali. Ia kehilangan makna peran sosial sebagai ibu, teman, dan pekerja. Ia merasa dikucilkan karena masa lalunya dan pengalaman traumatik di penjara mungkin menurunkan sensitivitas terhadap rasa sakit.
Kombinasi ini menjadikan keinginan bunuh diri terasa masuk akal di pikirannya yang kelelahan. Keinginannya bukan karena ia ingin mati, tapi karena ia ingin berhenti menderita.
Secara psikodinamika, konflik seperti ini menciptakan ambivalensi emosional yaitu di satu sisi ia ingin dekat dengan orang lain, tapi di sisi lain takut disakiti. Inilah yang kemudian muncul dalam bentuk kecurigaan terhadap laki-laki di sekitarnya.
Ia ingin dicintai, namun takut dilukai. Ia ingin diterima, namun siap menolak sebelum ditolak. Mekanisme pertahanan diri seperti ini disebut mekanisme proyeksi, yaitu memindahkan perasaan tidak aman dari dalam diri ke dunia luar.
Selain itu, munculnya pengalaman melihat bayangan tantenya dapat dipahami sebagai bentuk manifestasi tekanan psikis yang terlalu berat. Ego yang kelelahan karena konflik batin mungkin kesulitan menjaga batas antara kenyataan dan fantasi. Namun karena ia masih menyadari bahwa apa yang ia lihat mungkin tidak nyata, hal ini termasuk gejala psikotik ringan atau fenomena ambang (attenuated psychotic symptom), bukan gangguan psikotik penuh.
Dari sisi budaya, pengalaman seperti ini sering dianggap sebagai penampakan atau diganggu roh, sehingga keluarga mungkin lebih memilih membawa ke pengobatan tradisional ketimbang psikolog atau psikiater. Padahal, dalam konteks medis-psikologis, ini adalah reaksi jiwa terhadap stres berat.
Dalam masyarakat Bali, gejala gangguan jiwa sering dikaitkan dengan aspek spiritual, dan penanganannya menjadi lebih efektif bila pendekatan medis disinergikan dengan nilai-nilai budaya dan ritual lokal seperti melukat atau doa keluarga. Integrasi antara pemahaman budaya dan ilmu kedokteran menjadi jembatan penting untuk pemulihan.
Menyembuhkan pikiran, tubuh, dan jiwa
Pemulihan dari kondisi seperti ini tidak bisa hanya mengandalkan satu cara. Dibutuhkan pendekatan multimodal, yaitu gabungan antara terapi medis, psikoterapi, dukungan sosial, dan rehabilitasi fungsi kehidupan.
Secara medis, perempuan ini kemungkinan mengalami episode depresi berat dengan ciri psikotik ringan. Terapi dengan antidepresan seperti SSRI atau SNRI bisa menjadi pilihan utama, disertai pengawasan ketat oleh psikiater. Jika muncul gejala psikotik lebih jelas, bisa ditambahkan antipsikotik dosis rendah. Kombinasi seperti ini terbukti efektif dalam banyak studi terkini. Namun, obat hanyalah salah satu sisi dari proses pemulihan.
Psikoterapi juga menjadi pilar penting. Pendekatan psikodinamik dapat membantu ia memahami akar emosional dari kesedihan dan rasa bersalah yang ia rasakan, menghubungkan antara kehilangan, penolakan, dan upaya menata kembali harga diri. Sementara itu, terapi perilaku-kognitif dapat menantang pola pikir negatif (“saya tidak layak”, “semua laki-laki akan menyakiti saya”) dan menggantinya dengan keyakinan yang lebih adaptif. Terapi ini juga melatih keterampilan menghadapi stres melalui teknik restrukturisasi kognitif dan aktivasi perilaku.
Selain dua pendekatan utama itu, terapi interpersonal dapat digunakan karena masalah intinya adalah hubungan antara dirinya dan mantan suami, antara dirinya dan dunia sosial yang menstigma. Dalam terapi ini, ia diajak mengenali peran sosialnya yang berubah, mengolah kehilangan, serta mengembangkan cara berkomunikasi yang sehat.
Selain intervensi psikologis, dukungan sosial juga harus diperkuat. Ia perlu lingkungan yang aman dan tidak menghakimi. Keluarga dan teman dapat berperan besar, bukan hanya dengan menyemangati, tapi hadir secara emosional dengan mendengarkan tanpa menyela, menemani saat krisis, dan membantu mengakses layanan profesional. Dukungan seperti ini terbukti berpengaruh besar terhadap keberhasilan terapi depresi.
Rehabilitasi sosial juga perlu dilakukan. Ia baru bebas dari penjara, yang artinya ia sedang beradaptasi kembali dengan kehidupan sosial yang sering menolak orang dengan masa lalu kriminal. Pendekatan community reintegration yang sensitif budaya seperti program pelatihan kerja, dukungan spiritual, dan kelompok pendamping sebaya sangat penting agar ia tidak kembali terisolasi.
Di Indonesia, contoh baik muncul dari pendekatan berbasis komunitas seperti Desa Siaga Sehat Jiwa dan Posyandu Jiwa di Bali, di mana masyarakat diajak ikut serta memantau, mendukung, dan memulihkan individu dengan gangguan jiwa ringan hingga sedang.
Model seperti ini selaras dengan prinsip Tri Hita Karana yaitu keseimbangan antara hubungan manusia dengan Tuhan, dengan sesama, dan dengan alam. Bila keseimbangan ini terganggu, kesehatan jiwa pun ikut terguncang.
Peran individu, keluarga dan masyarakat
Dari kasus ini, kita belajar bahwa depresi dan gangguan emosional bukanlah kelemahan, melainkan sinyal dari tubuh dan jiwa yang kelelahan. Bagi individu yang mengalami, langkah pertama adalah berani mengakui bahwa ia sedang tidak baik-baik saja. Tidak perlu menunggu sampai parah untuk mencari pertolongan. Seperti luka fisik, luka batin juga butuh dirawat.
Ia perlu menjaga rutinitas sederhana mulai dari tidur teratur, makan cukup, dan beraktivitas ringan walau hanya berjalan pagi. Hal kecil seperti mandi pagi atau menulis jurnal rasa syukur bisa menjadi awal pemulihan. Ia juga perlu menulis tentang anaknya bukan sebagai kehilangan, tapi sebagai cinta yang masih hidup di dalam dirinya. Ketika rasa cinta diarahkan untuk menyembuhkan, bukan untuk menyalahkan, proses pulih menjadi lebih bermakna.
Bagi keluarga, kunci utama adalah empati dan kesabaran. Menghadapi anggota keluarga yang sedang depresi tidak mudah. Kadang mereka marah tanpa sebab, menarik diri, atau menolak bantuan. Tetapi alih-alih memaksa, lebih baik menyediakan ruang aman berupa dengarkan, temani, validasi perasaannya tanpa menasihati berlebihan. Kalimat sederhana seperti “Kami tahu ini berat, tapi kamu tidak sendiri” bisa jauh lebih menenangkan daripada seribu nasihat.
Keluarga juga bisa membantu dengan mengatur pola kehidupan bersama seperti makan bersama, sembahyang bersama, atau sekadar menonton acara ringan di rumah. Aktivitas sederhana ini menumbuhkan rasa kebersamaan dan menurunkan risiko bunuh diri atau kekambuhan. Bila memungkinkan, keluarga dapat mengikuti sesi terapi keluarga bersama profesional, untuk memahami dinamika emosional yang terjadi.
Masyarakat juga punya tanggung jawab besar. Masih banyak stigma yang melekat terhadap mantan narapidana, apalagi perempuan dengan gangguan jiwa. Dua stigma ini sering kali menutup jalan seseorang untuk kembali hidup bermartabat. Padahal, setiap manusia punya hak untuk sembuh dan memulai lagi. Kita sebagai masyarakat perlu belajar untuk tidak menghakimi.
Daripada bertanya “Kenapa dia bisa seperti itu?”, lebih baik bertanya “Apa yang bisa kita lakukan agar ia tidak merasa sendirian?”
Pemerintah, tenaga kesehatan, tokoh agama, dan komunitas lokal perlu bersinergi membangun sistem dukungan yang berkelanjutan. Program pelatihan kader kesehatan jiwa, penyuluhan tentang tanda-tanda depresi, dan pembentukan kelompok dukungan sebaya perlu digalakkan. Ketika seseorang seperti perempuan ini bisa diterima kembali, didengarkan, dan diberi kesempatan, itu bukan hanya menyembuhkan satu jiwa, tetapi juga menyehatkan seluruh masyarakat.
Dalam konteks budaya Indonesia yang kolektif, penyembuhan jiwa tidak bisa dipisahkan dari nilai sosial dan spiritual. Di Bali, misalnya, konsep keseimbangan jiwa sering dikaitkan dengan keharmonisan antara Sekala (dunia nyata) dan Niskala (dunia tak kasat mata).
Ketika seseorang mengalami penderitaan, keluarga biasanya akan mengadakan upacara kecil atau melukat untuk memulihkan keseimbangan batin. Ritual seperti ini, jika dikombinasikan dengan pendekatan psikologis dan medis, dapat menjadi simbol rekonsiliasi diri dimana pengakuan bahwa luka batin juga bagian dari perjalanan spiritual.
Kasus ini mengingatkan kita bahwa kesedihan yang dalam sering kali lahir dari kerinduan. Kerinduan untuk dicintai, diterima, dan dimaafkan. Perempuan ini mungkin telah kehilangan banyak hal mulai dari kebebasan, kepercayaan orang lain, bahkan anak yang ia cintai. Namun di balik semua itu, masih ada peluang untuk menemukan kembali dirinya yang utuh.
Pemulihan bukan sekadar hilangnya gejala, melainkan kemampuan untuk kembali mencintai hidup, membangun relasi yang sehat, dan berdamai dengan masa lalu. Dengan dukungan keluarga, masyarakat, dan sistem layanan yang peka budaya, setiap orang yang tersesat dalam labirin kesedihan dapat menemukan jalan pulang.
Seperti pepatah Bali yang indah: “Ritatkala peteng rauh, cahayane sampun ngantosang”, ketika malam datang, cahaya sudah menunggu. Demikian pula dalam hidup, di balik kegelapan duka, selalu ada cahaya pemulihan yang menanti untuk ditemukan. (Oleh: Prof Dr dr Cokorda Bagus Jaya Lesmana, SpKJ(K), MARS)
Editor: Redaksi
Reporter: bbn/tim
Berita Terpopuler
ABOUT BALI

Film Dokumenter Hidupkan Kembali Sejarah Tari Kecak di Bedulu

Makna Tumpek Landep Menurut Lontar Sundarigama

Tari Sanghyang Dedari Nusa Penida Diajukan Jadi Warisan Budaya Tak Benda

Mengenal Tetebasan Gering, Topik Menarik di Festival Lontar Karangasem
