Akun
guest@beritabali.com
Beritabali ID: —
Langganan
Beritabali Premium Aktif
Nikmati akses penuh ke semua artikel dengan Beritabali Premium
Kesunyian Kampus dalam Luka Batin, Bunuh Diri, dan Agresi Moral
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Tragedi memilukan kembali mengguncang Universitas Udayana (Unud), Denpasar, Bali. Seorang mahasiswa Program Studi Sosiologi semester VII berusia 22 tahun ditemukan meninggal dunia setelah melakukan aksi bunuh diri dengan melompat dari lantai empat Gedung Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) pada Rabu, 15 Oktober 2025.
Korban terjatuh di depan lobi gedung dan segera dilarikan ke RSUP Prof. IGNG Ngoerah. Meskipun sempat mendapat perawatan intensif, nyawanya tidak tertolong akibat pendarahan internal dan patah tulang di beberapa bagian tubuh.
Menurut keterangan saksi, termasuk seorang petugas kebersihan yang enggan disebut namanya, korban diduga mengalami tekanan mental berat. Pesan berantai di kalangan mahasiswa mengungkapkan bahwa korban memiliki kebiasaan melukai diri sendiri, seperti membenturkan kepala ke tembok saat merasa frustrasi atau kecewa, terutama setelah berdiskusi dengan dosen. Beberapa sumber juga menyebutkan bahwa korban sempat berupaya melakukan tindakan serupa sebelumnya.
Kasi Humas Polresta Denpasar membenarkan bahwa korban melompat dari lantai empat dan sempat terlihat panik sebelum kejadian. Menurut keluarga korban diketahui telah memiliki masalah kesehatan mental sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Sejak SMP ia telah mendapat penanganan psikologis dari konselor. Namun, sayangnya terapi tersebut hanya bertahan hingga pendidikan SMA dan tidak dilanjutkan saat ia masuk perguruan tinggi dengan alasan yang belum diketahui.
Namun yang menambah luka batin banyak pihak adalah beredarnya tangkapan layar percakapan grup mahasiswa di media sosial berisi komentar yang tidak berempati dan ejekan terhadap almarhum. Mengapa empati terhadap penderita gangguan mental sering kali hilang di ruang publik, khususnya di media sosial?
Bunuh diri di kalangan pemuda dan lingkungan kampus
Tragedi bunuh diri yang terjadi di lingkungan Universitas Udayana pada 15 Oktober 2025 mengguncang kesadaran banyak pihak, terutama di kalangan akademik. Kasus seorang mahasiswa muda yang mengakhiri hidupnya di lingkungan kampus bukan hanya peristiwa individu, tetapi juga cermin dari krisis kesehatan mental yang tengah melanda generasi muda di Indonesia.
Bunuh diri merupakan fenomena yang bersifat multifaktor, artinya tidak disebabkan oleh satu hal tunggal, melainkan hasil interaksi kompleks antara faktor biologis, psikologis, sosial, serta situasional dan kultural. Dari sisi biologis, beberapa individu memiliki kerentanan genetik terhadap gangguan suasana perasaan seperti depresi atau bipolar yang dapat meningkatkan risiko bunuh diri.
Ketidakseimbangan neurotransmitter terutama serotonin, dopamin, dan norepinefrin berpengaruh terhadap impulsivitas, suasana perasaan, serta pengambilan keputusan. Studi neuroimaging menunjukkan bahwa individu dengan kecenderungan bunuh diri sering kali mengalami penurunan fungsi pada prefrontal cortex, bagian otak yang mengatur kontrol diri dan kemampuan menilai risiko.
Dari sisi psikologis, gangguan mental seperti depresi berat, gangguan kecemasan, PTSD, atau gangguan kepribadian (terutama borderline) berperan besar. Karakter kepribadian dan gaya berpikir turut memperkuat risiko, seperti perfeksionisme, pesimisme ekstrem, rendahnya toleransi terhadap frustrasi, serta pola pikir all-or-nothing yang melihat hidup secara hitam putih. Adanya perasaan menjadi beban bagi orang lain dan kehilangan rasa keterikatan sosial menjadi dua faktor penting munculnya keinginan bunuh diri.
Sementara itu, faktor sosial dan lingkungan meliputi tekanan hidup seperti konflik keluarga, tuntutan akademik, kesulitan ekonomi, kekerasan, perundungan (bullying), dan isolasi sosial merupakan hal yang sering menjadi pemicunya. Lingkungan yang menstigma masalah kesehatan mental memperburuk keadaan, karena membuat individu enggan mencari bantuan.
Terakhir, faktor situasional dan kultural juga berpengaruh, seperti kemudahan akses terhadap sarana bunuh diri, pemberitaan media yang sensasional, serta nilai budaya yang menormalisasi penderitaan diam-diam. Di banyak budaya Asia, termasuk Indonesia, membicarakan masalah mental masih dianggap tabu dan lemah, sehingga gejala psikologis kerap tersembunyi hingga akhirnya berujung fatal.
Mahasiswa dan remaja adalah kelompok dengan peningkatan signifikan dalam ide dan percobaan bunuh diri. Studi global tahun 2023 di Frontiers in Psychiatry menemukan peningkatan ide bunuh diri pada populasi usia 18–24 tahun sebesar 30% pasca pandemi COVID-19, dengan tekanan akademik dan isolasi sosial sebagai faktor dominan.
Di Indonesia, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2023 menunjukkan sekitar 6,5% remaja melaporkan pernah memiliki pikiran untuk mengakhiri hidup, sementara 3,1% pernah melakukan percobaan bunuh diri. Khusus di lingkungan kampus, tekanan akademik, ekspektasi keluarga, kompetisi sosial, dan minimnya dukungan emosional sering kali menjadi pemicu stres kronis.
Satu dari 5 mahasiswa Indonesia mengalami gejala depresi sedang hingga berat, namun kurang dari 10% yang mencari bantuan profesional. Stigma terhadap kesehatan mental masih menjadi penghalang utama, di mana mahasiswa kerap takut dicap lemah bila mengakui mengalami masalah psikologis.
Dalam kasus mahasiswa Unud, riwayat gangguan mental sejak masa SMP menunjukkan adanya kerentanan psikologis yang berlanjut. Ketika dukungan psikologis berhenti di masa SMA, kerentanan itu tidak terkelola, dan tekanan akademik di universitas menjadi pemicu reaktivasi gejala.
Ini menggambarkan pentingnya kesinambungan perawatan mental dari usia remaja hingga dewasa muda. Faktor risiko lain yang patut diperhatikan adalah non-suicidal self-injury (NSSI) atau perilaku melukai diri sendiri, seperti membenturkan kepala ke tembok sebagaimana disebutkan dalam kasus ini. Studi di BMC Psychiatry (2022) menemukan bahwa NSSI sering menjadi pintu masuk menuju perilaku bunuh diri karena membentuk habituasi terhadap rasa sakit dan menurunkan ambang takut terhadap kematian.
Luka batin di balik tekanan akademik
Pendekatan psikodinamika membantu memahami dimensi batin terdalam dari seseorang yang memilih mengakhiri hidupnya. Dalam konteks ini, bunuh diri bukan sekadar hilangnya nyawa, tetapi ekspresi simbolik dari konflik psikis yang tak terselesaikan.
Individu dengan depresi berat sering menginternalisasi tindakan agresi terhadap objek yang dicintai menjadi agresi terhadap diri sendiri. Dalam bahasa sederhana, kemarahan yang tidak bisa diarahkan keluar akhirnya digunakan untuk menghancurkan dirinya sendiri.
Mahasiswa dengan tekanan akademik berat, relasi yang tegang dengan dosen, serta perasaan gagal memenuhi ekspektasi dapat mengalami dinamika serupa berupa rasa marah dan kecewa berubah menjadi rasa bersalah dan kebencian pada diri sendiri.
Korban dalam kasus Unud disebut sering membenturkan kepala ke tembok ketika frustrasi. Tindakan ini secara psikodinamik mencerminkan mekanisme acting out berupa ekspresi impulsif dari konflik batin yang tak dapat diungkapkan secara verbal.
Ketidakmampuan dalam berkomunikasi maupun mengkomunikasikan kondisi dirinya dengan baik memicu munculnya perasaan tertekan, terisolasi, dan gagal menjalin hubungan yang bermakna dengan orang lain. Komunikasi yang gagal menyebabkan gangguan dalam membangun koneksi interpersonal.
Individu merasa gagal untuk dilihat atau didengar, yang pada akhirnya memperkuat persepsi bahwa dirinya tidak berarti bagi orang lain. Situasi ini bisa menimbulkan konflik batin antara keinginan untuk dekat dengan orang lain dan ketakutan akan penolakan. Akibatnya, individu menarik diri dari interaksi sosial, menciptakan lingkaran setan antara isolasi dan tekanan emosional yang makin berat.
Konsep ambivalensi terhadap kehidupan juga penting. Dalam banyak kasus bunuh diri, individu tidak semata ingin mati, melainkan ingin mengakhiri penderitaan psikisnya. Ia terombang-ambing antara dorongan hidup (eros) dan dorongan mati (thanatos).
Dalam detik-detik krisis, impuls destruktif mengambil alih kesadaran rasional. Fakta bahwa korban sempat terlihat panik sebelum melompat memperkuat hipotesis bahwa tindakannya bersifat impulsif di bawah tekanan emosi ekstrem.
Lingkungan sosial berperan besar dalam mengokohkan atau melunakkan konflik batin. Ketika seseorang merasa terisolasi, tidak dipahami, atau bahkan ditolak oleh lingkungannya, sense of belonging menghilang. Dalam situasi kampus yang sering kompetitif dan minim ruang aman emosional, individu dengan kerentanan mental menjadi mudah terasingkan.
Selain itu, pengalaman kehilangan dukungan psikologis sejak SMA menandakan adanya object loss yaitu kehilangan figur penyokong ego seperti konselor atau terapis. Ketika dukungan itu hilang, mekanisme koping yang sebelumnya dibangun runtuh, dan individu kembali tenggelam dalam pola lama. Tanpa tempat bercerita, tekanan emosi mencari jalan keluar menjadi destruktif.
Erosi empati dan agresi moral
Setelah kabar kematian korban menyebar, tangkapan layar percakapan grup mahasiswa yang berisi ejekan terhadap almarhum muncul di media sosial. Fenomena ini bukan hal baru. Dalam era digital, tragedi pribadi kerap berubah menjadi tontonan publik, di mana batas antara empati dan hiburan kabur. Cyberbullying post-mortem yakni tindakan mengejek atau mempermalukan seseorang yang telah meninggal menjadi gejala sosial yang mengkhawatirkan dan menandai krisis empati di masyarakat daring.
Empati mudah hilang di dunia digital karena media sosial menciptakan distansi moral yaitu munculnya jarak emosional antara pelaku dan dampak tindakannya. Tanpa kontak langsung dengan korban, individu merasa tidak bertanggung jawab atas ucapannya.
Anonimitas dan konformitas kelompok (group conformity) memperkuat perilaku agresif ketika satu orang bercanda, yang lain ikut menertawakan, hingga ejekan menjadi normalisasi kekerasan simbolik, di budaya Bali dikenal dengan istilah suryak siu.
Fenomena moral disengagement menggambarkan kecenderungan manusia untuk menonaktifkan empati melalui pembenaran moral, seperti itu hanya bercanda atau dia yang salah. Mahasiswa yang berkomentar tanpa empati mungkin tidak sepenuhnya kejam, tetapi terjebak dalam ilusi bahwa dunia maya adalah ruang tanpa konsekuensi moral.
Fenomena ini diperparah oleh algoritma media sosial yang memberi prioritas pada konten dengan interaksi tinggi, sehingga komentar yang paling emosional sering kali paling terlihat. Maka, siklus komentar atas komentar bukan lagi sarana diskusi, tetapi panggung ekspresi diri yang sering kehilangan arah dan makna.
Sebagai masyarakat, kita perlu bergeser dari budaya reaksi menuju budaya refleksi. Komentar seharusnya menjadi jembatan untuk memahami, bukan medan untuk saling menjatuhkan.
Namun yang perlu juga mendapatkan perhatian adalah ketika ada upaya menyebarkan percakapan pribadi ke ranah publik merupakan bentuk perundungan juga. Dalam banyak kasus modern, terutama di era digital, perilaku menyebarkan percakapan pribadi, pesan, atau foto seseorang tanpa izin termasuk dalam kategori perundungan psikologis dan sosial.
Tindakan ini mengandung unsur pelanggaran privasi dan penyalahgunaan kekuasaan sosial, karena ketika seseorang membocorkan percakapan pribadi, ia sesungguhnya mengambil kendali atas narasi dan citra orang lain. Hal ini menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan (power imbalance) dimana inti dari perilaku perundungan menjadikan korban kehilangan kendali atas dirinya, reputasinya, dan kadang juga harga dirinya. Dalam psikologi, kondisi ini dikenal sebagai bentuk indirect aggression atau relational bullying, yakni serangan terhadap relasi sosial dan reputasi seseorang dengan cara halus, namun berdampak mendalam.
Dampak psikologis dari tindakan semacam ini bisa sama beratnya dengan kekerasan langsung. Korban penyebaran percakapan pribadi biasanya mengalami rasa malu mendalam (shame), kecemasan sosial, kehilangan kepercayaan diri, bahkan trauma dan isolasi sosial.
Jika penyebaran tersebut terus berlangsung atau disertai komentar negatif dari publik, tekanan emosional korban dapat meningkat hingga berujung pada depresi dan pikiran bunuh diri. Dengan demikian, meskipun pelaku tidak secara eksplisit memaki atau berteriak, efek yang ditimbulkan dapat sama destruktifnya dengan perundungan verbal.
Dalam konteks budaya yang menjunjung tinggi nilai tatwam asi, dimana aku adalah engkau, maka tindakan mempermalukan orang lain di ruang publik bertentangan dengan prinsip empati sosial dan kemanusiaan. Membocorkan percakapan pribadi tanpa izin merupakan bentuk kekerasan digital terselubung yang sering kali tidak disadari oleh pelakunya, namun dapat mempermalukan korban di hadapan publik.
Bahkan jika dilakukan dengan dalih ingin klarifikasi atau membela diri, penyebaran informasi pribadi yang berpotensi mencoreng nama baik seseorang tetap merupakan tindakan tidak etis, terutama bila dilakukan tanpa izin dan tanpa konteks yang utuh.
Dalam situasi seperti ini, komentar demi komentar menjadi bentuk partisipasi moral dimana orang merasa sedang memperjuangkan keadilan, padahal kadang justru tanpa sadar memperpanjang luka psikologis pihak yang terlibat. Dalam kondisi ini, batas antara membela korban dan menyerang pelaku menjadi kabur.
Oleh sebab itu, intervensi empatik sangat dibutuhkan agar tidak bertambah jumlah korban yang berjatuhan tanpa kita sadari. Sebagai masyarakat dan lembaga pendidikan, kita perlu mengembalikan nilai keadilan berbasis empati, bukan eksposur. Artinya, memperkuat sistem pendampingan psikologis, mekanisme pelaporan yang manusiawi, serta literasi digital agar publik tidak mudah terseret dalam arus kemarahan kolektif.
eadilan sejati bukan diukur dari seberapa viral sebuah kasus, tetapi seberapa dalam kita memahami luka di baliknya dan membantu proses penyembuhannya. Viral bisa memancing perhatian, tetapi tidak selalu menghadirkan keadilan. Keadilan yang sesungguhnya lahir dari empati, tanggung jawab, dan ruang dialog yang aman.
Bagi mahasiswa dengan riwayat gangguan mental, dukungan konseling berkelanjutan dan kerja sama dengan rumah sakit pendidikan penting untuk memastikan kesinambungan terapi. Media dan publik juga berperan besar. Pemberitaan kasus bunuh diri harus mengikuti pedoman Responsible Suicide Reporting dari WHO yaitu tidak sensasional, tidak eksploitif, dan berfokus pada edukasi serta pencegahan.
Kita tidak sedang kekurangan kecerdasan, namun kita sedang kekurangan empati yang tenang. Dan mungkin, di era komentar yang saling berbalas ini, tantangan terbesar kita bukan lagi berbicara tetapi mau mendengarkan dengan niat untuk memahami, bukan membalas. (Oleh: Prof Dr dr Cokorda Bagus Jaya Lesmana, SpKJ(K), MARS)
Editor: Redaksi
Reporter: bbn/tim
Berita Terpopuler
Gudang BRI Ubud Ambruk Akibat Longsor
Dibaca: 745 Kali
Pedagang Pasar Kumbasari Cemas Tukad Badung Meluap Lagi
Dibaca: 709 Kali
Salak Karangasem Resmi Jadi Warisan Pertanian Dunia versi FAO
Dibaca: 654 Kali
Halloween di Bandara Ngurah Rai Usung Mitologi Bali
Dibaca: 648 Kali
ABOUT BALI
Film Dokumenter Hidupkan Kembali Sejarah Tari Kecak di Bedulu
Makna Tumpek Landep Menurut Lontar Sundarigama
Tari Sanghyang Dedari Nusa Penida Diajukan Jadi Warisan Budaya Tak Benda
Mengenal Tetebasan Gering, Topik Menarik di Festival Lontar Karangasem