Drama Gong Romeo Juliet, Amarah dan Kebencian Hanya Timbulkan Kesia-siaan
Jumat, 17 Agustus 2018,
14:05 WITA
Follow
IKUTI BERITABALI.COM DI
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Beritabali.com,Denpasar. Dalam kehidupan di era globalisasi, Putu Satria selaku sutradara drama gong Romeo Juliet ingin mengingatkan bahwa mempertahankan amarah dan kebencian hanya akan menimbulkan kesia-siaan.
[pilihan-redaksi]
“Perbedaan paham, agama, politik apapun itu jangan sampai dijadikan alasan untuk bermusuhan, jangan biarkan anak-anak cinta itu mati hanya karena perbedaan,” jelasnya di sela-sela pementasan karya Romeo Juliet karya pujangga kenamaan Inggris, William Shakespeare pada even Bali Mandara Mahalango 5 di Kalangan Ayodya Taman Budaya, Denpasar, Kamis malam (16/8).
“Perbedaan paham, agama, politik apapun itu jangan sampai dijadikan alasan untuk bermusuhan, jangan biarkan anak-anak cinta itu mati hanya karena perbedaan,” jelasnya di sela-sela pementasan karya Romeo Juliet karya pujangga kenamaan Inggris, William Shakespeare pada even Bali Mandara Mahalango 5 di Kalangan Ayodya Taman Budaya, Denpasar, Kamis malam (16/8).
Dia mengatakan sebenarnya William Shakespeare ingin memberikan pesan bahwa jika kebencian terus dipelihara maka disanalah akan terjadi tragedi anak-anak cinta itu akan mati. Jauh-jauh dari Bali Utara (Buleleng), Teater Selem Putih masih menyimpan asa untuk tampil dalam Bali Mandara Mahalango 5. Ia memilih kisah Romeo Juliet dengan alasan tersendiri.
“Selama ini orang mengira Romeo Juliet sebagai sebuah kisah cinta yang biasa, namun sejatinya maknanya dalam sekali,” terang Putu Satria serius saat ditemui disela-sela pementasan.
Konflik tak berkesudahan antara keluarga besar Romeo dan Juliet mengharuskan keduanya untuk menjalin cinta secara diam-diam. Romeo yang tak tahan lagi pun membunuh sanak keluarga Juliet yang akhirnya membuat Romeo diusir dari tempat tinggalnya. Juliet yang tak menginginkan hal itu segera mencari Romeo dan dalam pencariannya itulah keduanya justru tewas. Cerita yang sejatinya sangat panjang ini pun diubah oleh Putu Satria menjadi sebuah garapan seni teater transisi drama gong.
[pilihan-redaksi2]
Tentunya, dalam menggarap hal yang baru tak semudah yang dibayangkan, Putu Satria pun mengungkapkan bahwa penelusurannya untuk mentransisikan teater ke dalam drama gong membutuhkan waktu dan tenaga ekstra. “Di desa saya kebetulan sarang drama gong, Desa Banyuning itu terkenal dengan Drama Gong Puspa Anom yang membawakan kisah Sampik Ingtai jadi itulah yang membuat saya ingin mencari-cari cerita modern yang bisa tetap dimasukkan ke dalam unsur drama gong,” tutur Putu Satria lantang.
Tentunya, dalam menggarap hal yang baru tak semudah yang dibayangkan, Putu Satria pun mengungkapkan bahwa penelusurannya untuk mentransisikan teater ke dalam drama gong membutuhkan waktu dan tenaga ekstra. “Di desa saya kebetulan sarang drama gong, Desa Banyuning itu terkenal dengan Drama Gong Puspa Anom yang membawakan kisah Sampik Ingtai jadi itulah yang membuat saya ingin mencari-cari cerita modern yang bisa tetap dimasukkan ke dalam unsur drama gong,” tutur Putu Satria lantang.
Tiga puluh tahun lebih berkecimpung dalam dunia teater membuat Putu Satria selalu ingin mencoba untuk bereksperimen. “Saya harus bersuara karena saya bukan anggota DPR, jadi melalui teaterlah saya bersuara. Mudah mudahan menginspirasi dan pesan yang ada bisa tersampaikan,” tutup Putu Satria tegas. (bbn/rls/rob)
Berita Denpasar Terbaru
Reporter: bbn/rls