Beras Bukan Biang, Kontrakan dan Ongkos Jadi Tersangka
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Di banyak tempat, rumah tangga berpenghasilan rendah biasanya menghabiskan sebagian besar uangnya untuk makan. Logikanya sederhana: penghasilan kecil, kebutuhan utama adalah mengisi perut.
Bahkan teori ekonomi klasik, Engel’s Law, sudah lama mengajarkan bahwa makin miskin seseorang, makin besar porsi belanja pangannya.
Namun, Denpasar justru berbeda. Data Publikasi Pola Konsumsi dan Distribusi Pendapatan Provinsi Bali 2024 mengungkap, 40 persen penduduk berpengeluaran terendah di kota ini rata-rata mengalokasikan Rp613.869 atau 47,41% pengeluaran untuk pangan, sementara Rp681.075 atau 52,59% sisanya untuk kebutuhan nonpangan.
Angka ini berbalik dari pola umum di Bali, di mana 40% kelompok berpengeluaran rendah menghabiskan Rp463.791 atau 54,44% untuk pangan dan Rp388.176 atau 45,56% untuk nonpangan. Artinya, ada faktor khusus di Denpasar yang membuat biaya nonpangan lebih “memakan” porsi dompet warga berpenghasilan rendah dibanding daerah lain.
Ada beberapa penjelasan teoretis yang dapat menggambarkan fenomena ini:
1. Urban Cost of Living Theory — Hidup di kota besar seperti Denpasar berarti menghadapi biaya nonpangan yang tinggi, mulai dari sewa rumah, listrik, hingga transportasi. Karena itu, meskipun pendapatan rendah, proporsi belanja nonpangan tetap lebih besar.
2. Forced Expenditure Theory — Ada pengeluaran yang tidak bisa dihindari (inelastic expenditures), seperti kontrakan, ongkos transport, atau tagihan utilitas. Rumah tangga tetap harus membayar ini meski harus mengurangi belanja pangan.
3. Relative Price Effect — Ketika harga nonpangan (misalnya perumahan dan transportasi) naik lebih cepat daripada pangan, porsi nonpangan otomatis membesar walaupun jumlah barang yang dikonsumsi tidak bertambah.
4. Urban Poverty Paradox — Kemiskinan di kota bukan selalu soal kelaparan, tapi tentang sulitnya membayar layanan nonpangan yang mahal. Warga bisa makan di warung murah, tapi tak bisa menghindar dari mahalnya biaya hunian dan mobilitas.
Dampak ke Daya Beli
Kondisi ini berarti inflasi nonpangan di Denpasar sama berbahayanya bagi warga berpenghasilan rendah seperti inflasi pangan. Bagi kelompok ini, setiap kenaikan harga di sektor nonpangan langsung memangkas kemampuan memenuhi kebutuhan pokok lain.
Misalnya, kenaikan sewa rumah yang menyumbang 0,20% terhadap inflasi tahunan tidak hanya menambah beban bulanan, tetapi juga mengurangi ruang untuk belanja pangan bergizi atau biaya kesehatan.
Baca juga:
Yang Tak Terlihat dari Inflasi Rendah
Kenaikan biaya penyediaan makanan dan minuman/restoran sebesar 0,34% juga menunjukkan bahwa makan di luar rumah menjadi lebih mahal, padahal di perkotaan, banyak keluarga menggantungkan konsumsi pada sektor ini. Perawatan pribadi yang naik 0,60% menandakan biaya kebutuhan sehari-hari seperti sabun, pasta gigi, dan popok bayi ikut melonjak, yang pada akhirnya menggerus daya beli secara perlahan namun pasti.
Beda dengan daerah lain di Bali, mengendalikan harga beras (0,21%) atau minyak goreng (0,12%) saja di Denpasar tidak cukup, karena tekanan utama datang dari komponen-komponen nonpangan yang sifatnya wajib dan sulit dihindari.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Kebijakan penanganan inflasi di Denpasar perlu menyesuaikan kondisi unik ini.
- Bantuan hunian terjangkau akan langsung mengurangi tekanan biaya nonpangan.
- Transportasi publik murah bisa memangkas ongkos mobilitas warga.
- Pengendalian harga pangan tetap penting sebagai bagian dari paket kebijakan.
Baca juga:
Denpasar Siapkan Strategi Tekan Inflasi 2025
Fenomena Denpasar ini mengingatkan kita bahwa angka inflasi tidak bisa dibaca mentah-mentah. Di balik persentase, ada cerita tentang bagaimana masyarakat bertahan hidup, dan di Denpasar, ceritanya bukan hanya soal dapur, tapi juga kontrakan, ongkos transport, dan tagihan bulanan yang membengkak.
Penulis
Dr. Andri Yudhi Supriadi,
Kepala Badan Pusat Statistik Kota Denpasar
Editor: Redaksi
Reporter: bbn/opn