The next-generation blog, news, and magazine theme for you to start sharing your stories today!
Save on Premium Membership
Get the insights report trusted by experts around the globe. Become a Member Today!
View pricing plansNew York, USA (HQ)
750 Sing Sing Rd, Horseheads, NY, 14845Call: 469-537-2410 (Toll-free)
hello@blogzine.comTahun 1950 162 Juta Ha, Kini 98 Juta Ha
Nusa Dua
BERITABALI.COM, BADUNG.
Salah seorang anggota masyarakat Adat Papua, Alex Sanggenafa, memaparkan luas hutan di Indonesia menyusut cukup signifikan. Tiap tahun berkurang rata-rata 2 juta hektar (ha).
Dia menyebutkan, pada 1950, luas lahan hutan Indonesia mencapai 162 juta ha, tapi sekarang tinggal 98 juta ha.
Di Papua kini tinggal hanya 41 juta ha, ujar Alex saat berbicara di hadapan puluhan tokoh LSM dan masyarakat adat di Nusa Dua, Senin (3/12).
Tidak hanya penyusutan yang disorot, tapi juga soal kepemilikan hutan yang selama diklaim negara. Padahal, menurut dia, sesungguhnya hutan adalah milik masyarakat
adat. Alasannya, karena masyarakat adat sudah mengelolanya sebelum berdirinya negara.
Selain itu, kata Alex, pengetahuan-pengetahuan tradisional yang dimiliki masyarakat adat bukan diperoleh dari hasil pendidikan sebuah negara, melainkan karena adanya hasil pembelajaran dari alam itu sendiri.
Alasan lainnya, lanjut Alex, secara kepemilikan berasal dari sistem genetologi dan teritorial. Batas-batas kepemilikan masyarakat adat ditetapkan secara alam sebelum ada hukum positif. Saat ini di Papua ada tujuh wilayah adat, seperti antara lain Mamta, Donggarai.
Sementara itu, tokoh masyarakat adat Molo, kabupaten Timur Tengah Selatan, Aleta, mengingatkan, bahwa tanah, batu, dan hutan yang dimiliki daerahnya adalah sumber kehidupan manusia. Sebab, daerahnya adalah bagian hulu di sekitar daerah itu yang mensuplai air. Bila sampai dirusak, maka akan mendatangkan celaka bagi daerah hilirnya.
Bagi orang Timor, tanah adalah semacam daging, semacam air susu dari seorang perempuan. Batu adalah tulang-tulang dari alam, hutan itu rambut yang melindungi tubuh manusia.
Jika salah satu diambil manusia, mau tidak mau manusia itu tidak akan utuh, akan mengalami kesulitan, tidak bisa berdiri tegak. Dan, kami sudah teriak sejak 1980 menolak pertambangan, tandasnya. (sss)
Reporter: bbn/ctg
Berita Terpopuler
ABOUT BALI

Film Dokumenter Hidupkan Kembali Sejarah Tari Kecak di Bedulu

Makna Tumpek Landep Menurut Lontar Sundarigama

Tari Sanghyang Dedari Nusa Penida Diajukan Jadi Warisan Budaya Tak Benda

Mengenal Tetebasan Gering, Topik Menarik di Festival Lontar Karangasem
