Kualitas Literasi Keluarga Tentukan Masa Depan Anak
Selasa, 2 Juli 2019,
12:08 WITA
Follow
IKUTI BERITABALI.COM DI
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Beritabali.com, Denpasar. Hadirnya anak dalam keluarga merupakan jembatan tali kasih Tuhan pada setiap orang tua. Ikatan cinta tersebut menyebabkan para orang tua menginginkan anaknya mencapai kesuksesan dan menjadi kebanggaan.
[pilihan-redaksi]
Segala hal yang dicapai oleh anak tentu tidak bisa dilepaskan begitu saja dari peran orang tua. Apalagi di era revolusi industri 4.0 saat ini, perkembangan dalam segala aspek berlangsung begitu cepat. Anak tidak cukup belajar dari pengalamannya semata. Peran orang tua sangat vital dalam menyambut tantangan era disrupsi yang penuh dengan akselerasi di segala bidang. Apabila orang tua belum melakukan aktivitas literasi yang memadai, dampaknya bisa berimbas ke anak bahkan keluarga.
Segala hal yang dicapai oleh anak tentu tidak bisa dilepaskan begitu saja dari peran orang tua. Apalagi di era revolusi industri 4.0 saat ini, perkembangan dalam segala aspek berlangsung begitu cepat. Anak tidak cukup belajar dari pengalamannya semata. Peran orang tua sangat vital dalam menyambut tantangan era disrupsi yang penuh dengan akselerasi di segala bidang. Apabila orang tua belum melakukan aktivitas literasi yang memadai, dampaknya bisa berimbas ke anak bahkan keluarga.
Dalam era digitalisasi ini, literasi berkembang sangat kompleks dan beragam. Jika yang dipahami secara umum literasi dianggap sebagai aktivitas membaca, maka paradigma pemahaman tersebut patut diubah. Literasi sesungguhnya adalah kemampuan menemukan, menggali, dan mengolah sumber informasi baik berupa tulisan, suara, gambar, maupun tayangan sehingga dapat dijadikan pertimbangan dalam mengambil keputusan.
Dalam buku Gerakan Literasi Nasional yang dicetuskan Kemdikbud (2017), terdapat 6 jenis literasi yaitu literasi baca tulis, literasi numerasi (berhitung), literasi sains (ilmu alam), literasi finansial, literasi digital, dan literasi budaya kewargaan. Walau terlihat terpisah, namun keenamnya sebenarnya saling terkait karena dukungan teknologi yang semakin masif.
Mendidik anak di era digital memiliki tantangan luar biasa dan unik. Betapa tidak, anak-anak saat ini sudah akrab dengan teknologi seperti HP/smartphone, tablet, dan permainan-permainan digital lainnya. Perangkat teknologi tersebut mampu memberikan informasi yang dibutuhkan pada anak, namun tidak jarang alat tersebut disalahgunakan untuk akses hal-hal seperti kekerasan, pornografi, dan bullying pada sesama. Apalagi jika smartphone telah menjadi “saudara” bagi si anak, saking asiknya anak bisa-bisa tidak menjawab jika dipanggil.
Orang tua kekinian mesti paham betul bahwa saat ini anak bisa memperoleh “segalanya” melalui perangkat-perangkat tersebut, sehingga asesibilitasnya perlu dipantau. Orang tua wajib memahami informasi-informasi yang penting dan tentu saja memiliki budaya literasi kuat agar mampu mengontrol semua itu. Seperti pepatah dalam perguruan. Dahulu untuk mengajar murid, maka guru harus memiliki ilmu setingkat lebih tinggi, maka di masa yang penuh percepatan ini, sang guru mesti lima bahkan sepuluh tingkat di atas. Tentu saja ini sangat berlaku untuk orang tua sebagai guru pertama sang anak. Inilah mengapa literasi dalam parenting (pola asuh) menjadi penting.
Yang populer akhir-akhir ini pada masa kenaikan kelas, para orang tua seringkali menanyakan perolehan ranking anaknya. Banyak dari orang tua belum tahu, bahwa sudut pandang pendidikan kini mengalami perkembangan dan perubahan menuju keterampilan abad 21. Jika sebelumnya, kemampuan kognitif (pengetahuan) menjadi hal yang diunggulkan, maka kini diarahkan pada keterampilan 4C yaitu critical thinking (berpikir kritis), creative (kreatif), collaboration (kolaborasi/kerjasama), dan communication (komunikasi).
4C dalam kurikulum 2013 diejawantahkan ke dalam penilaian sikap spiritual dan sikap sosial (nilai dalam bentuk deskripsi), serta pengetahuan dan keterampilan (nilai dalam bentuk angka dan deskripsi). Guru akan sulit menentukan ranking (urutan nilai) secara objektif kuantitatif karena beberapa aspek nilainya berbentuk deskripsi (kata-kata). Kita sepatutnya tidak mendoktrin anak mengejar ranking (urutan nilai tertinggi), namun mengejar prestasi.
Anak yang hobi matematika didorong berprestasi di bidang matematika, tentu saja dia tidak perlu dituntut pintar pendidikan jasmani (PJOK). Begitu pula anak yang pintar dalam berolahraga renang, dipacu berprestasi dalam bidang renang, dan tentu saja dia tidak harus pintar matematika. Inilah esensi prestasi yang menopang masa depan.
Dari sudut pandang psikologis, adanya tekanan orang tua agar anak mengungguli temannya berkompetisi juga menimbulkan motivasi kontradiktif yang bisa memudarkan harapan akan tercapainya 4C. Anak yang sukses tidak hanya harus pintar/kritis, namun juga kreatif, mampu bekerja sama dan berkomunikasi dengan sesama. Melalui literasi yang bersinergi keenam aspek, para orang tua diharapkan mampu memahami sisi edukatif yang tepat.
Sinergitas Budaya Literasi Keluarga (BuLiKe) diharapkan menjadi bagian yang berlangsung secara terus-menerus menapaki masa depan anak. Kemdikbud melalui beberapa program unggulannya terus menggalakkan budaya literasi keluarga agar semakin berkualitas. Beberapa buku-buku daring (online) juga telah diterbitkan Kemdikbud melalui situs Sahabat Keluarga yang bisa diakses pada laman sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id. Di dalamnya terdapat materi tentang mendidik anak dengan benar di era digital dan penanaman nilai-nilai karakter.
Harapannya para orang tua memahami betul bahwa mendidik anak dengan benar merupakan hal yang unik, wajib dipelajari, dan tentu saja tidak mudah. Bayangkan saja, jika di sekolah anak mendapat ilmu-ilmu berharga sebagai pegangan masa depan. Tidak demikian dengan orangtua, karena hingga saat ini belum ada sekolah khusus untuk orang tua. Dengan pertimbangan tersebut, Kemdikbud mengajak sekolah bersinergi dengan keluarga melalui program kelas orang tua yang dilakukan secara periodik.
Agar budaya literasi keluarga berlangsung efektif, orang tua sangat diharapkan untuk meluangkan waktunya berliterasi dengan anak. Membacakan dongeng untuk anak, mengajak anak belajar maupun bersama, saling curhat (mencurahkan isi hati), menonton film edukatif, gerakan tanpa HP pukul 18-21 (berganti dengan meluangkan waktu bersama anak), bisa menjadi langkah awal untuk bersenyawa dan membuka ruang masa depan anak.
[pilihan-redaksi2]
Budaya literasi keluarga yang berkualitas tidak hanya diukur dari seberapa banyak sumber yang dibaca, namun seberapa besar informasi benar yang didapat dan menterjadikan kehidupannya bermakna. Tahun 2019 disadari atau tidak merupakan ujian berat kualitas literasi di Indonesia. Banyaknya masyarakat meyakini kebenaran berita bohong (hoax), adanya pertikaian yang bersumber dari SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan), mudahnya menyebarkan informasi yang belum jelas kebenarannya di media sosial, serta siswa yang membakar piagam penghargaan karena tidak diterima di sekolah yang dianggap favorit, menjadi indikator masih perlu ditingkatkannya kualitas literasi masyarakat di Indonesia.
Budaya literasi keluarga yang berkualitas tidak hanya diukur dari seberapa banyak sumber yang dibaca, namun seberapa besar informasi benar yang didapat dan menterjadikan kehidupannya bermakna. Tahun 2019 disadari atau tidak merupakan ujian berat kualitas literasi di Indonesia. Banyaknya masyarakat meyakini kebenaran berita bohong (hoax), adanya pertikaian yang bersumber dari SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan), mudahnya menyebarkan informasi yang belum jelas kebenarannya di media sosial, serta siswa yang membakar piagam penghargaan karena tidak diterima di sekolah yang dianggap favorit, menjadi indikator masih perlu ditingkatkannya kualitas literasi masyarakat di Indonesia.
Bangsa ini tidak boleh memandang sebelah mata literasi. Negara adidaya Amerika Serikat pernah mengalami penurunan kualitas pendidikan, karena beberapa periode menganaktirikan literasi. Sebaliknya pendidikan Finlandia dan Jepang maju pesat karena menggaungkan literasi di segala lini.
Andai keluarga mampu menjadi pilar penopang gerakan literasi, maka gerakan literasi nasional (GLN) yang dicetuskan Kemdikbud akan membudaya dan menemui kulminasinya. Jika kita meyakini anak adalah titipan Tuhan, maka orang tua adalah wakil Tuhan di dunia yang membuka kunci masa depan anak. Semoga kita amanah dalam mengemban tugas sebagai Wakil Tuhan dengan menjadi keluarga yang literat.
Penulis,
I P. G. Sutharyana Tubuh Wibawa
Guru di Pemkab Badung, Bali
Mahasiswa Program Pascasarjana Undiksha
Berita Denpasar Terbaru
Reporter: -