search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Dugaan Pemalsuan Surat, Dirjen Bimbingan Masyarakat Hindu Menjadi Tersangka
Rabu, 25 Oktober 2017, 07:00 WITA Follow
image

ist

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Beritabali.com, Denpasar. Kasus dugaan perkara tindak pidana pemalsuan surat terkait proses pemilihan Kepala Desa Pakraman Serangan tahun 2014 lalu, yang dilaporkan oleh mantan Bendesa Adat Desa Pakraman Serangan Made Wudana Wiguna tanggal 3 September 2016 lalu, berbuntut panjang. Setelah memeriksa saksi-saksi dan gelar perkara, penyidik Sat Reskrim Polresta Denpasar akhirnya menetapkan Prof. I Ketut Widnya sebagai tersangka.
 
[pilihan-redaksi]
Penetapan status tersangka Prof I Ketut Widnya dibenarkan dibenarkan Kasat Reskrim Polresta Denpasar Kompol Aris Purwanto. “Ya benar sudah tersangka. Sekarang ini tahap pelimpahan berkas P-19, sudah dua kali bolak-balik dilimpahkan,” terangnya Selasa (24/10) kemarin.
 
Ditanya apakah Profesor ditahan? Mantan Kapolsek Denpasar Selatan itu mengungkapkan, Prof. I Ketut Widnya tidak ditahan dengan alasan koorperatif. Hal ini juga menjadi dasar pertimbangan penyidik bahwa tersangka tidak melarikan diri, menghilangkan barang bukti dan mengulangi perbuatan serupa. “Tersangka koorperatif sehingga tidak ditahan. Proses terus berlanjut,” tegasnya.
 
Mantan Kapolsek Kuta Utara itu menerangkan, kasus ini sudah lama terjadi sejak tahun 2016 dan dirinya belum menjabat Kasat Reskrim Polresta Denpasar. “Saya belum menjabat saat itu, tapi penyidik terus memproses kasusnya hingga pelimpahan ke kejaksaan,” bebernya.
 
Diketahui, Prof. I Ketut Widnya yang saat ini menjabat Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Kementerian Agama RI, ditetapkan tersangka tertanggal 16 Desember 2016 lalu, setelah penyidik Sat Reskrim Polresta Denpasar melakukan gelar perkara terkait kasus pemalsuan surat. 
 
Sebagaimana dilaporkan oleh korbannya, mantan Bendesa Desa Pakraman Serangan, Made Mudana Wiguna dengan LP/1278/XI/2016 tanggal 3 September 2016 tentang tindak pidana Pemalsuan Surat yang diatur dalam Pasal 263 KUHP.
 
Sumber menerangkan, kasus ini bergulir saat Prof. I Ketut Widnya menjabat sebagai Kertha Desa Pakraman Serangan periode tahun 2008 hingga 2013 lalu. Pada masa itu, Bendesa Adat Desa Pakraman Serangan dijabat Made Mudana Wiguna (pelapor).  
 
Setelah masa jabatan pelapor berakhir tahun 2013, Desa Pakraman Serangan kemudian melakukan Sabha Desa (rapat tertinggi desa adat, red). Dalam rapat tersebut dihadiri 6 banjar di Serangan. Empat banjar setuju dipilihnya kembali pelapor sebagai Bendesa Adat Desa Pakraman Serangan. 
Sedangkan 2 banjar belum ada keputusan, pasalnya 1 banjar belum ada calon dan 1 banjar tidak setuju.
 
Nah, berdasarkan hasil koordinasi Shaba Desa dengan sejumlah pihak termasuk Prof. I Ketut Widnya, disepakati suara terbanyak terpilih. Maka, akhirnya Made Mudana Wiguna terpilih kembali sebagai Bendesa Adat Desa Pakraman Serangan.
 
Namun, terpilihnya pelapor tidak serta merta disetujui oleh dua banjar yang belum ada hasil keputusan. Kedua banjar protes dan melaporkan masalah tersebut ke Majelis Madya Kota Denpasar dan Majelis Utama Provinsi Bali dan Majelis Alit. 
 
“Guna merespon laporan dua banjar, akhirnya Majelis Alit melakukan paruman dan memanggil Bendesa, Kertha Desa, dan banjar banjar untuk dilakukan rapat di desa Adat,” bisik sumber yang enggan disebut namanya itu.
 
Nah, dari hasil rapat, Majelis Alit meminta agar Desa Pakraman Serangan melengkapi proses pemilihan Bendesa (4 desa yang sudah tandatangan dan 2 desa yang belum ada keputusan). Namun di tengah polemik, muncul surat yang ditujukan kepada Majelis Utama Kertha Desa yang diduga dibuat oleh Prof. DR. I Ketut Widnya.
 
[pilihan-redaksi2]
“Merujuk hasil pertemuan kami dengan salah satu anggota Majelis Madya Kota Denpasar, maka hasil sosialisasi dengan ini pada prinsipnya enam banjar setuju dilakukan pemilihan ulang,” demikian isi surat tersebut.
 
Sehingga berdasarkan surat tersebut Majelis Madya mengeluarkan rekomendasi dan dilakukan pemilihan ulang, tahun 2014. Namun, dalam proses pemilihan versi Prof. I Ketut Widnya, 4 banjar tidak setuju dan menarik diri dari pemilihan. Sedangkan dua banjar tetap diikutkan dalam pemilihan. Kemudian, dari pemilihan ulang tersebut terpilihlah I Made Sedana sebagai Bendesa Adat Desa Pakraman Serangan yang baru.
 
Selanjutnya, Majelis Madya pun mengukuhkan Made Sedana sebagai Bendesa Adat Desa Pakraman Serangan yang baru. Akibatnya Made Mudana Wiguna tidak terima adanya pemilihan ulang tersebut dan melaporkan kasus pemalsuan surat ke Polresta Denpasar, 3 September 2016 lalu.
 
Sementara itu, Prof. DR. I Ketut Widnya yang dihubungi belum lama ini enggan berkomentar banyak saat ditanya penetapan status tersangka terhadap dirinya. Sang professor menyarankan menghubungi langsung kuasa hukumnya. “Hubungi saja kuasa hukum saya, Pak Putu,” katanya singkat namun enggan memberikan nomor telpon kuasa hukumnya tersebut. [spy/wrt]

Reporter: bbn/bgl



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami