Asta Kosala-Kosali: Ergonomi Ala Bali
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Istilah ergonomi mengarahkan pengertian pada ilmu, seni dan penerapan teknologi untuk menyerasikan antara fasilitas yang digunakan baik dalam beraktifitas maupun dalam istirahat, atas dasar kemampuan dan keterbatasan manusia baik fisik mapun mental, sehingga kualitas hidup secara keseluruhan menjadi lebih baik.
Ergonomi secara sederhana dapat dipahami sebagai upaya mencapai keamanan dan kenyamanan hidup. Ergonomi dengan demikian sangat luas cakupannya, tidak saja menyangkut standar ukuran yang aman dan nyaman pada sebuah alat atau perkakas kerja (tools) dan pada stasiun kerja (workstation) atau ruang-ruang bagi aktivitas pekerjaan manusia, namun juga termasuk utilitas dalam ruang tersebut, seperti tingkat kelembaban, tingkat terang/penerangan, penghawaan, antisipasi kebakaran, sistem perpipaan, penangkal petir, sirkulasi horizontal-vertikal, jaringan komunikasi, dan aspek yang lainnya.
Ergonomi menekankan ketersediaan segala aspek tersebut harus memenuhi standard kuantitas dan kualitas, tersedia di lokasi dengan kapasitas memadai dan tentunya dapat berfungsi dengan baik. Ergonomi tidak mentolerir adanya mal-fungsi ataupun dis-fungsi untuk menjamin keselamatan dan kesehatan kerja bagi manusia, dan secara lebih luas menjamin kenyamanan dan keamanan hidup keseharian manusia.
Etnis Bali dengan kearifan lokalnya rupanya sudah memformulasikan aspek-aspek ergonominya dengan sangat baik, sebagai jawaban atas adaptasi geografis, topografis dan iklim alam Bali dengan ukuran tubuh manusia Bali itu sendiri. Hasil paduserasi antara komponen alam dan manusia tersebut salah satunya mengkristal dalam standar ukuran rancang bangun yang mengacu pada antopometri ‘ukuran tubuh’ pemiliknya.
Kompilasi standar rancang bangun inilah menjadi modul dasar dalam tata ruang dan tata bangunan etnis Bali. Modul rancang bangun ini terkompilasi dalam satu buku panduan rancang bangun yang dikenal namanya dengan Asta Kosala Kosali.
Asta Kosala Kosali secara tradisional bentuknya berupa catatan tertulis di atas lembar-lembar daun lontar berukuran lebar sekitar 3,5 cm dan panjangnya sekitar 37 cm, dengan total berkisar 38 halaman. Pada masa kini sudah banyak beredar dalam bentuk buku dan sudah dialihaksarakan serta dialihbahasakan atau diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, sehingga sangat membantu memudahkan mengertikan maksud dari item-item yang diuraikan.
Isinya secara umum diawali tentang Wiswakarma sebagai arsitek sorga, dewatanya para undagi, kemudian uraian-uraian yang bersifat teknis terkait elemen-elemen bangunan seperti standar ukuran tiang (lebar muka “rai” dan tingginya) dengan penamaan tertentu dan sesuai fungsi bangunan bale, ukuran sunduk, usuk, likah, tinggi bataran ‘peninggian lantai’, undag ‘anak tangga’, ukuran jarak antar bangunan, letak jenis-jenis bangunan dalam pekarangan, ukuran natah ‘halaman’, jenis kayu, termasuk tata upacara dan mantra-mantra terkait upacara pembangunan.
Asta Kosala Kosali kemudian menjadi rujukan dalam setiap kegiatan bangun membangun dalam tradisi masyarakat Bali, apakah itu dalam rangka membangun parhyangan ‘tempat suci’ pura umum dan sanggah pemerajan keluarga, membangun bale-bale pawongan ‘bangunan hunian’, ataupun bangunan pelengkap seperti bale bengong/patok, bangunan simpan/lumbung, maupun kori ‘gerbang’, bangunan sarana-prasarana upacara (uperengga) dan jenis bangunan lainnya.
Setiap detail elemen bangunan dan penataan ruang telah ditentukan standar ukurannya. Seorang undagi ‘seniman bangunan’ sebagai arsitek tradisional Bali atau para tukang bangunan pada umumnya, tinggal merujuk aturan main tersebut dalam praktik profesinya melayani masyarakat Bali yang akan membangun.
Pengetahuan Asta Kosala Kosali juga menjadi salah satu “pengetahuan wajib” yang harus dikuasai oleh seorang Sulinggih ‘pendeta’, Pemangku ‘pinandita’, termasuk serati ‘tukang banten’ karena setiap proses pembangunan senantiasa dilengkapi dengan prosesi ritual. Sejak tahap pra konstruksi, semasa konstruksi, maupun pasca konstruksi berlangsung, upacara keagamaan bernuansa Hindu Bali akan menyertainya.
Upacara pra konstruksi merupakan bentuk permohonan ijin kepada Ibu Pertiwi penguasa lahan “karang” untuk permakluman karena akan dibangun sebuah bangunan di atasnya. Pembangunan yang diawali dengan penggalian pondasi yang akan mengoyak perut ibu bumi.
Upacaranya bernama ngruwak karang yang menjadi satu kesatuan dengan upacara di awal pembangunan lainnya seperti “nyapuh awu” sebagai bentuk permakluman telah terjadinya perubahan status lahan pertanian menjadi lahan tegalan dan selanjutnya menjadi lahan pekarangan. Secara teknis dilakukan pematangan site, perataan lahan dengan membongkar pematang sawah “nyapuh baledan atau nyapuh pundukan”.
Dewi Sri penguasa lahan pertanian basah dan Dewa Sangkara dewata penguasa pertanian lahan kering/tegalan juga dimohonkan untuk berkenan kembali ke alamNya melalui prosesi ritual ke Pura Subak yang mewilayahi lokasi lahan tersebut. Upacara ini juga dikenal dengan sebutan “Mantukan Dewi Sri dan Dewa Sangkara”.
Sebentuk lahan yang dijadikan lahan pekarangan hak milik ini, tentunya merupakan sebagian kecil dari lahan yang luas, sehingga dipandang secara etika religius perlu dilakukan permohonan untuk kepemilikan melalui ritual nyepih karang ‘mengambil sebagian lahan’, demikian juga sebaliknya apabila lahan yang akan dijadikan hak milik tersebut merupakan hasil penggabungan beberapa petak lahan yang sebelumnya berbeda kepemilikan atau terpisah-pisah penguasaannya, maka akan dilakukan upacara nyakapan karang “mengawinkan/menyatukan lahan” dalam satu petak kepemilikan.
Apabila berbagai upacara ini telah dilangsungkan sampai tahap peletakan batu pertama pondasi “nasarin”, maka pekerjaan konstruksi sudah bisa mulai dikerjakan atau dilanjutkan pada tahap berikutnya sampai rangka struktur kayu dari bale-bale berdiri dengan baik.
Setelah kerangka kayu struktural ini lengkap berdiri maka pekerjaan dan ritual sudah masuk ke tahap masa konstruksi. Pada tahap konstruksi ini upacara yang dilakukan merupakan rangkaian dari selesainya pekerjaan struktur tersebut dengan baik, kokoh, kuat secara sekala ‘fisikal’ dan secara niskala ‘ideal’ akan dilakukan upacara pemakuhan/memakuh.
Upacara ini bertujuan memberikan kekuatan astraal pada kekokohan struktur bangunan agar mampu menyalurkan beban-beban struktural yang nantinya bekerja pada setiap elemen struktur tersebut (beban tekan, beban tarik, dan momen puntir), baik yang disebabkan oleh beban struktur itu sendiri maupun oleh dinamika daya alam (gempa dan angin).
Selanjutnya pada tahap pasca konstruksi yakni setelah bangunan jadi dan siap pakai, maka prosesi ritual dimaksudkan untuk memberikan urip “jiwa” kepada sosok bangunan yang dipandang sebagai sosok mahluk hidup bawa maurip. Upacara pemberian urip ini disebut pengurip-urip dengan memohon restu kepada dewata Tri Murti melalui tiga goresan pada badan bangunan tersebut.
Pemberian jiwa dalam bentuk simbolik darah ayam (merah), arang (hitam), dan kapur (putih) seperti dimuat dalam lontar Asta Kosala Kosali tersebut dipercaya akan menghidupkan sebuah bangunan sesuai jenis dan fungsinya masing-masing. Prosesi upacara ini biasanya bersamaan dengan upacara pemlaspas sebagai momen hari kelahiran bangunan tersebut.
Ritual pemlaspas dengan rangkaian meletakkan sebentuk pedagingan (sarana upacara yang berisi pancadatu ‘lima jenis logam dan batu mulai) pada bangunan dapat dipahami sebagai satu kesatuan dengan peletakkan sebentuk dasar (sarana upacara berbahan dasar batu bata yang dirajah bedawang nala ‘kura-kura api’ dan kombinasi sepuluh huruf suci dasa aksara).
Sarana upacara yang disebut “dasar” telah diletakkan pada awal ritual pembangunan (saat upacara nasarin) sebagai simbolik “arde” atau hubungan ke lapisan bawah sapta petala yang menancap bumi, sedangkan pedagingan sebagai simbolik hubungan ke alam atas sapta loka seperti sebuah antena penangkap sinyal dari angkasa raya.
Sedemikian besarnya pengaruh dari pelaksanaan berbagai tahapan ritual pembangunan tersebut bagi masyarakat Bali, terutamanya secara psikis (kenyamanan bathin) sehingga mutlak dilakukan pada setiap pembangunan sampai saat ini. Meskipun yang dibangun bangunan modern berfungsi kekinian seperti perkantoran, fasilitas pariwisata, kesehatan, pendidikan dan lain-lainnya, ataupun menggunakan material bangunan maupun berlanggam minimalis kekinian.
Pada era kekinian telah dilakukan sejumlah penyesuaian pada tahapan upacara tersebut terutama teknis pelaksanaan ritualnya, baik pada pembangunan properti perseorangan maupun pembangunan proyek-proyek pemerintah dengan sistem kontrak kerja. Penyesuaian yang dimaksud adalah hanya pada waktu pelaksanaan seluruh rangkaian ritual pembangunan tersebut, yakni dilaksanakan sekaligus atau bersamaan seluruh upacara tersebut di hari pemlaspas bangunan.
Pada suatu hari baik (dewasa ayu) yang telah ditentukan, upacara akan diawali dengan prosesi nyakapan karang atau nyepih karang, mantukan Betari Sri dan Betara Sangkara, nyapuh awu, ngruwak, nasarin, memakuh, pangurip-urip, dan terakhir pemlaspas bangunan. Rangkaian prosesi upacara relatif akan lebih lama dilakukan karena memang tahapannya cukup banyak, apalagi pengambilan upacaranya termasuk jenis utama (misalnya tingkat Rsi Gana), banyaknya jumlah palinggihnya ‘altar pemujaan’, kemudian juga melibatkan prajuru adat dan dinas, tokoh pemerintahan dan tokoh masyarakat lainnya, serta partisipasi berbagai sekeha kesenian, maka akan dibutuhkan waktu penyelenggaraan upacara yang relatif lebih lama.
Namun, jika dibandingkan dengan penyelenggaraan tahapan ritual yang dilakukan per tahapan kontruksi pembangunan (seperti ketentuan secara tradisi), maka waktu pembangunan secara keseluruhan (masa konstruksi) akan jauh lebih cepat dilakukan dengan sistem upacara yang hanya dilakukan sehari pada akhir tahapan pembangunan saja, yakni seluruh tahapan ritual tersebut dilakukan bersamaan saat upacara pemlaspas.
Penyesuaian pada aplikasi ukuran juga dilakukan, pada awalnya dimensi adepa, hasta, musti, tapak, tapak ngandang, dan lain-lain yang langsung diaplikasikan dari pemilikinya secara manual dengan menapak langsung di lokasi, kini secara teknis kerja telah dikonversi ke dalam satuan metrik (meteran).
Arsitek selaku desainer bangunan terlebih dahulu akan mengambil ukuran-ukuran anggota tubuh pemilik bangunan sesuai ketentuan standar Asta Kosala Kosali, kemudian dikonversi ke ukuran metrik (centimeter), misalnya asedema setara dengan 10 cm, amusti sekitar 15 cm, hasta 35 cm, tapak kaki 25 cm tapak ngandang sekitar 10 cm dan sebagainya.
Tentunya setiap orang akan memiliki satuan ukuran yang berbeda-beda sebagai dasar ukuran elemen bangunan bale-bale, jarak antar bangunan untuk bangunan hunian ataupun bangunan tempat sucinya. Ukuran antropometri yang sudah terkonversi tersebut kemudian menjadi dasar aplikasinya pada desain bangunan dan eksekusinya di lapangan.
Dengan demikian metode gegulak sebagai panduan dalam teknis kerja lapangan secara tradisional, telah dikonversi dengan teknik masa kini dengan alat meteran yang mengacu pada gambar kerja. Gegulak merupakan alat bantu kerja lapangan yang berisikan kompilasi ukuran.
Gegulak terbuat dari bilah bambu (lebar sekitar 3 cm) dan panjang menyesuaikan kebutuhan satuan ukuran yang mau dibuat. Jadi seorang undagi sebagai desainer bangunan atau arsitek era tradisional, akan membuat paling tidak tiga jenis gegulak untuk mengakomodir ukuran panjang, lebar dan tinggi sebuah bangunan yang akan dibuat.
Pada masa kini seorang arsitek telah mengembangkan sukat-sikut atau modul dimensi tradisional tersebut dalam satuan meter bahkan secara teknis sudah diaplikasikan dengan bantuan program komputer exel untuk membantu mempercepat konversi satuan ukuran tradisional tersebut, sehingga setiap proyek pembangunan yang berbeda pemilik atau penangungjawabnya akan dengan cepat didapatkan hasil konversinya untuk selanjutnya dituangkan dalam gambar desain.
Kembali ke pembahasan konteks ergonomi modern terhadap modul ukuran tradisional atau sukat sikut Asta Kosala Kosali, dapat diberikan satu contoh aplikasinya pada desain anak tangga (undag). Secara tradisional tinggi anak tangga adalah asedema ‘tinggi tangan dengan jemari mengepal’ atau sekitar 10 cm dan ada juga ketentuan tingginya amusti ‘tinggi tangan dengan empat jemari mengepal dan ibu jari dibiarkan tegak ke atas’ yang jika diukur didapat kisaran 15 cm.
Sedangkan untuk lebar pijakan anak tangga ditentukan ukuran atapak ditambah atapak ngandang, yakni setapak kaki/ukuran ujung jemari sampai tumit dan ditambah lebar setapak kaki, yang konversinya sekitar 35 cm.
Dengan demikian ukuran sebuah anak tangga adalah berkisar antara tinggi sebesar 10-15 cm dan lebar pijakan 35 cm. Ukuran ini jika dibandingkan dengan standar desain tangga pada SNI 03-1746 tahun 2000 atau standar ergonomi internasional yang menentukan perbandingan optrade ‘tinggi’ (t) dan antrade ‘lebar’ (l) pijakan datar anak tangga sekitar t: 15-19 cm dan l: 22,5-30 cm, maka dimensi sukat sikut tradisional Bali masuk kategori ergonomik atau nyaman untuk dilewati, apalagi oleh bagi kaum perempuan Bali yang memakai kain (kamen).
Bahkan, panduan rancang bangun tradisional Bali Asta Kosala Kosali tersebut sudah mempertimbangkan aspek ergonomik fisikal (struktural dan arsitektural) serta aspek metafisik (ritual).
Penulis:
I Putu Gede Suyoga
Dosen Sekolah Tinggi Desain Bali Denpasar
Email. gsuyoga@stdbali.com
Reporter: bbn/opn