search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Memperjuangkan Kesadaran Hak Kesehatan
Rabu, 1 Desember 2021, 21:15 WITA Follow
image

bbn/Suara.com/Memperjuangkan Kesadaran Hak Kesehatan.

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Dengan semakin banyaknya negara-negara di dunia memahami tentang Hak Asasi Manusia (HAM) buat warga negaranya, maka harapan agar tereliminasinya ketimpangan perlakuan, stigma, hingga diskriminasi dalam berbagai dimensi kehidupan juga dapat terwujud, termasuk di bidang kesehatan, tidak terkecuali di Indonesia. 

Sebagai warga negara Indonesia, setiap orang mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Dalam aspek hukum, pelayanan kesehatan dan akses informasi telah diatur dalam perundang-undangan. Begitu juga dalam status seorang yang terinfeksi HIV, yang saat ini disebut dengan ODHIV (Orang Dengan HIV), atau yang sudah masuk ke tahap AIDS, populasi kunci, serta masyarakat yang terdampak HIV dan juga AIDS. 

Dalam pasal 4 UU Kesehatan No.36 tahun 2009 dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas kesehatannya. Permasalahan HIV dan AIDS sangat terkait dengan hak atas kesehatan. Hak Kesehatan Pengidap HIV dan Orang Yang Terdampak HIV dan AIDS 

Pemerintah telah merinci hak kesehatan yang bisa didapat oleh seorang pengidap HIV dan juga AIDS serta orang yang terdampak HIV dan AIDS, yang diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 tentang HIV dan AIDS. 

Disebutkan bahwa hak itu adalah:

1. Hak atas pelayanan kesehatan

Undang-Undang Kesehatan mewajibkan perawatan diberlakukan kepada seluruh masyarakat tanpa kecuali termasuk pengidap HIV dan AIDS dan masyarakat yang terdampak. Dalam pasal 5 UU Kesehatan dinyatakan bahwa terdapat kesamaan hak tiap orang dalam mendapatkan akses atas sumber daya kesehatan, memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau. 

Tugas pemerintah dalam hal ini untuk menyediakan tenaga medis, paramedis dan tenaga kesehatan lainnya yang cukup dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi pengidap HIV dan AIDS dan menjamin ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan sehingga tercapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. 

Penyediaan obat dan perbekalan kesehatan serta jaminan ketersediaan obat dan alat kesehatan diatur dalam UU Kesehatan dan berlaku juga bagi HIV dan AIDS.

2. Hak atas informasi

Pasal 7 UU Kesehatan secara tegas mengatakan bahwa setiap orang berhak mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan serta informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan atas dirinya pada pasal 8. 
Peningkatan pendidikan untuk menangani HIV dan AIDS termasuk metode pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS serta peningkatan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya pencegahan dan penyebaran HIV dan AIDS, misalnya melalui penyuluhan dan sosialisasi merupakan upaya dalam memberikan informasi tentang HIV dan AIDS.

3. Hak atas kerahasiaan

Hak atas kerahasiaan diatur dalam UU Kesehatan dalam pasal 57 dimana setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatannya. Selain itu UUPK No.29 tahun 2004 juga mengatur mengenai rahasia medis dan rekam medis ini pada paragraph 3 dan 4 tentang rekam medis dan rahasia kedokteran. Rekam medis bersifat rahasia dan pribadi, hubungannya hanya dokter – pasien. 

Ini berarti seorang dokter tidak boleh mengungkapkan rahasia pasien, tanpa seijin pasien. Masalah HIV dan AIDS banyak sangkut pautnya dengan kerahasiaan pasien sehingga harus berhati-hati dalam menanganinya.

4. Hak atas persetujuan tindakan medis

Dalam pasal 56 UU Kesehatan diatur tentang persetujuan tindakan medis. Merupakan tugas dan kewajiban dokter untuk memberikan informasi tentang sejelas-jelasnya tentang penyakit yang dialami pasien dan tindakan yang akan dilakukan, disamping kewajibannya untuk merahasiakanya pada pihak lain, semua tes HIV harus mengedepankan informed consent dari pasien setelah pasien diberikan informasi yang cukup tentang HIV, tujuannya terimplikasi hasil tes positif ataupun negatif.
 

Pelayanan Kesehatan Yang Seharusnya

Undang-undang kesehatan mewajibkan perawatan diberlakukan kepada seluruh penduduk Indonesia tanpa terkecuali termasuk pengidap HIV dan AIDS. Pada pasal 5 UU Kesehatan No.36 tahun 2009 dinyatakan bahwa terdapat kesamaan hak tiap orang dalam mendapatkan akses atas sumber daya kesehatan, memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau. 

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS, pada bagian kelima pasal 30 dan 31 menjelaskan tentang pengobatan dan perawatan bagi pengidap HIV dan juga AIDS, yang dalam Peraturan Menteri ini masih disebut dengan ODHA (Orang Dengan HIV AIDS) sebagai berikut:

1. Pasal 30 ayat 1: setiap fasilitas kesehatan DILARANG MENOLAK pengobatan dan perawatan ODHA.

2. Pasal 30 ayat 2: dalam hal fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak mampu memberikan pengobatan dan perawatan, WAJIB merujuk ODHA ke fasilitas pelayanan kesehatan lainnya yang mampu merawat ODHA atau rumah sakit rujukan ARV.

3. Pasal 31 ayat 1: setiap orang terinfeksi HIV WAJIB mendapatkan konseling pasca pemeriksaan diagnosis HIV, diregristrasi secara nasional dan mendapatkan pengobatan.

4. Pasl 31 ayat 2: registrasi yang dimaksud ayat 1 meliputi pencatatan yang memuat nomor kode fasilitas pencatatan kesehatan, nomor urut ditentukan di fasilitas layanan kesehatan. Dan stadium klinis saat pertama kali ditegakkan diagnosanya.

5. Pasal 31 ayat 3: registrasi sebagaimana dimaksud ayat 1 dan 2 HARUS DIJAGA KERAHASIAANNYA sesuai ketentuan UU kesehatan dan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia.

Jadi, jika siapapun mengetahui status kesehatan seseorang pengidap HIV dan juga AIDS maka baiknya tetap menjaga kerahasiaannya, terlebih jika orang tersebut tidak memberikan izin, dan seharusnya bersikap sebagaimana mestinya seperti kepada orang yang lain. 

Dan bagi pengidap HIV dan juga AIDS yang merasa hak dan kerahasiaannya dilanggar, dapat memberi teguran dan laporan hukum kepada pihak yang berwenang, atau dapat meminta bantuan advokasi dan pendampingan kepada lembaga peduli AIDS.

Stigma dan Diskriminasi

HIV dan AIDS memang dapat menimbulkan dampak yang cukup kompleks bagi orang dengan HIV dan juga AIDS maupun orang yang terdampak HIV dan AIDS. 

Tidak hanya mengalami gejala-gejala klinis penyakit, tetapi juga berbagai permasalahan psikis dan sosial. Hingga hari ini, stigma terhadap pengidap HIV masih menjadi sumber ketakutan bagi sebagian masyarakat, bahkan muncul berbagai perdebatan yang mempertentangkan antara kepentingan masyarakat umum dengan pengidap HIV. 

Akibatnya, hak-hak pengidap HIV dalam kehidupan sehari-hari masih sering terabaikan. Alasan yang sering digunakan adalah demi menyelamatkan masyarakat, padahal penyebabnya adalah masih banyaknya pemahaman yang salah dan mitos-mitos negatif, saat ini ditambah oleh hoaks di media sosial. 

Seperti, AIDS merupakan penyakit yang sangat mematikan, berbahaya, tidak dapat dapat disembuhkan, tidak ada obatnya, mudah menular dan tidak dapat dicegah.

Stigma, secara bersamaan memunculkan respon yang tidak diharapkan berupa diskriminasi. Salah satu diskriminasi yang sering terlaporkan adalah tentang belum terpenuhinya dengan baik hak pengidap HIV untuk sehat dan mendapatkan pelayanan medis yang optimal di beberapa tempat pelayanan medis. 

Terlebih di saat pandemi. Stigma juga terlihat pada sikap beberapa perusahaan asuransi kesehatan yang masih tidak mau mengganti biaya pengobatan seorang pasien apabila ia berstatus positif HIV. Masih banyak pula kejadian tenaga kesehatan yang menolak melakukan pemeriksaan setelah tahu pasiennya adalah seorang pengidap HIV. 

Tetapi perlu juga disyukuri, saat ini sudah cukup banyak juga daerah dengan pusat-pusat layanan kesehatannya yang mulai ramah layanan dan paham hak kesehatan pengidap HIV dan juga AIDS.

Memperjuangkan Hak Kesehatan

Saat pengidap HIV dan masyarakat yang terdampak HIV dan AIDS mendapatkan hak kesehatannya tanpa lagi ada stigma, diskriminasi dan merasa nyaman serta setara dengan orang lain sesama warga negara, adalah sebuah hal ideal yang ingin dicapai. 

Tidak ada lagi penolakan di rumah sakit, pengucilan, PHK, penolakan klaim asuransi, pemulangan paksa pekerja seks ke daerah asalnya, pelacakan masif pekerja seks yang positif HIV, pemaksaan tes HIV tanpa prosedur standar, serta skrining HIV terhadap calon karyawan dan karyawati secara terselubung. Untuk itu memang perlu diperjuangkan bersama-sama.

1. Meningkatkan Komunikasi, Informasi, Edukasi (KIE)

Untuk mencapai target Triple Zero di tahun 2030 selalu dibutuhkan peningkatan edukasi dan penyadaran seluruh lapisan terutama pemahaman masyarakat terhadap permasalahan HIV agar stigma dan diskriminasi yang selama ini telah terjadi mampu dihilangkan. 
Secara tidak langsung sikap tersebut diharapkan dapat mendorong orang-orang yang termasuk kedalam komunitas beresiko untuk berani memeriksakan dirinya, menjalani Voluntary Counseling and Testing (VCT) dan mencari pengobatan ARV yang tepat sejak dini, ini juga memiliki makna dalam upaya pencegahan penularan HIV. 

Di atas semua itu, menghilangkan mitos-mitos yang tidak benar tentang AIDS di masyarakat merupakan cara yang efektif untuk memulihkan hak-hak sosial seorang pengidap HIV. Upaya penyuluhan terus-menerus kepada masyarakat dan advokasi yang berkesinambungan untuk memperjuangkan hak-hak pengidap HIV dan juga AIDS diharapkan dapat mengurangi tindakan diskriminatif, stigma dan marginalisasi. 

Termasuk juga melakukan KIE bertanggung jawab dengan lebih gencar saat ini lewat media sosial untuk mengantisipsi lebih banyak lagi hoaks.

2. Meningkatkan Upaya Care, Support, Teraphy (CST)

ARV lini pertama yang masih gratis dapat dimanfaatkan dan semoga selalu dapat disediakan dengan cukup dan aman. Layanan VCT yang ramah, serta berbagai dukungan pendampingan medis, psikologis, serta kelompok dukungan sebaya juga dapat dioptimalisasi. 

Termasuk juga kalangan anak dan ibu. Serta tidak lupa pengadaan jaminan kesehatan yang bisa diakses dengan optimal tanpa diskriminasi.

3. Meningkatkan Partisipasi Masyarakat

Layanan HIV dan AIDS yang Komprehensif dan Berkesinambungan (LKB) merupakan pondasi dari pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Kata kuncinya adalah sinergi atau kolaborasi multi sektor yang melibatkan masyarakat. Strategi implementasi layanan yang komprehensif dan berkesinambungan ini menuntut keterlibatan yang bermakna dari para pemangku kepentingan daerah bersama organisasi masyarakat sipil, Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), rumah sakit, Komisi Penanggulangan AIDS Daerah jika masih ada, dan badan-badan kesehatan. 

Termasuk meningkatkan keterlibatan masyarakat sejak tahap perencanaan. Sinergi juga sudah selayaknya dikembangkan lagi dengan keterlibatan populasi kunci, media, juga sektor bisnis.

4. Memberikan perlindungan hukum dan HAM

Stigma dan diskriminasi juga dapat terjadi karena tidak ada perlindungan hukum dan HAM bagi masyarakat yang terdampak. Mereka tidak bisa mewujudkan hak-hak mereka sebagai warga negara. Kondisi ini merupakan salah satu aspek yang menghambat penanggulangan epidemi HIV. 

Untuk itulah hak hukum dan HAM, terutama bagi pengidap HIV dan juga AIDS, perlu diwujudkan agar mereka bisa mengaktualisasikan diri dalam kehidupan bermasyarakat sehingga tidak ada lagi yang menjadi korban stigma dan diskriminasi. 

Juga semakin digencarkannya penerapan berbagai aspek legal berkaitan dengan pemenuhan hak kesehatan pengidap HIV dan masyarakat terdampak.

5. Pendekatan budaya dan agama

Ternyata perlakuan diskriminatif dan pemberian stigma juga terjadi karena selama ini materi KIE dibalut dengan norma, moral dan agama sehingga penularan HIV dikaitkan dengan perilaku negatif. Akibatnya, ada kesan bahwa orang-orang yang tertular HIV adalah tidak bermoral. 

Justru KIE yang ramah HIV dan tepat muatan dapat disosialisasikan dengan efektif lewat pendekatan budaya dan agama yang humanis. Termasuk lewat komunitas-komunitas adat. Pelibatan masyarakat adat sebagai kader dan pendidik sebaya di masyarakat juga akan membawa penerimaan materi KIE lebih baik dan menetap lebih lama.

6. Meningkatkan kesadaran pribadi

Sementara itu pengidap HIV juga mempunyai kewajiban manusiawi dan sosial untuk menjaga diri sendiri agar tetap sehat dan tidak menulari HIV pada orang lain yang sehat. Kewajiban ini secara sadar haruslah ditanamkan sewaktu pertama kali diketahui terinfeksi. 

Sebaliknya setiap anggota masyarakat turut berkewajiban menjaga dirinya agar tidak terinfeksi HIV. Secara prinsip, penularan HIV baru dapat terjadi dari pengidap HIV yang mengabaikan kewajiban sosialnya untuk tidak menularkan pada orang lain dan masyarakat umum yang tidak menghindari semua perilaku beresiko terhadap penularan HIV.
 
Terakhir: HIV AIDS Hari Ini
 
Situasi pencegahan dan penanggulangan HIV saat ini menjadi terpinggirkan dengan keberadaan pandemic Covid-19. Berbagai aturan pembatasan, juga cukup signifikan berakibat pada pelaksanaan program pencegahan dan penanggulangan HIV. 

Mulai dari kehabisan stok ARV di beberapa bulan awal pandemi, pembatasan kunjungan, durasi dan jumlah pasien yang dilayani di layanan kesehatan, pasien berobat untuk HIV yang hilang kontak, penjangkauan dan kegiatan KIE yang tidak dapat dilakukan secara langsung, dan banyak permasalahan lainnya baik secara sistem, manajemen layanan, hingga faktor pribadi dari pengidap HIV yang beragam, sempat menjadi masalah dikarenakan memang semua pihak belum siap menghadapi pandemi yang baru kali ini dihadapi oleh sistem kesehatan kita, walau adaptasi seperti layanan daring dan edukasi daring, serta penggunaan aplikasi dan fitur digital telah dilakukan. 

Untuk saat ini keadaan mulai membaik, adaptasi untuk melanjutkan layanan kesehatan yang pro protokol kesehatan, termasuk kondisi cakupan vaksinasi yang sudah mendekati target, memungkinkan pelayanan kesehatan dan kegiatan pencegahan untuk dapat digencarkan kembali sambal mengikis ketakutan berlebihan akan pandemi, yang juga menjadi tidak kondusif untuk kesehatan pengidap HIV.

Kementerian Kesehatan secara tegas menyatakan bahwa epidemi HIV dan AIDS di Indonesia harus selesai pada tahun 2030. Tidak ada kasus baru HIV dan AIDS, tidak ada kematian akibat AIDS, dan tidak ada stigma dan diskriminasi pada orang dengan HIV dan AIDS. Peraturan Menteri Kesehatan No 21 Tahun 2013 tentang penanggulangan HIV dan AIDS pasal 5 menjelaskan salah satu   strategi yang dipergunakan dalam melakukan kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS adalah meningkatkan upaya penanggulangan   HIV dan AIDS yang merata terjangkau, bermutu, dan berkeadilan serta berbasis bukti, dengan mengutamakan pada upaya preventif dan promotif, dan meningkatkan pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia yang merata dan bermutu dalam penanggulangan HIV dan AIDS.

Mencontoh pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di Provinsi Bali, dengan sinergi antar pihak yang masih berjalan baik, secara lebih teknis saran program kegiatan pencegahan dan penanggulangan AIDS yang perlu diintensifkan adalah:

1. Mengembangkan dan mengintensifkan upaya pencegahan HIV dan AIDS dengan kembali melibatkan barbagai pihak, termasuk:
a) Pencegahan HIV dan AIDS melalui kelompok siswa peduli AIDS (KSPAN)  di sekolah oleh warga sekolah SMP/SMA. Termasuk dengan melengkapi buku pedoman dan buku Juknis kegiatan KSPAN untuk digunakan di semua sekolah.

b) Pencegahan HIV dan AIDS melalui Kelompok Mahasiswa Peduli AIDS (KMPA) di lingkungan Perguruan Tinggi.

c) Pencegahan HIV dan AIDS melalui Kelompok Jurnalis Peduli AIDS  (KJPA). 

Menyelenggarakan lokakarya untuk meningkatkan wawasan dan keterampilan anggota KJPA dalam peliputan dan penulisan berita terkait masalah epidemi AIDS pada era pandemi Covid-19 adalah sebuah contoh baik untuk dilakukan.

d) Pencegahan HIV dan AIDS melalui pelibatan  Kader Desa Peduli AIDS (KDPA) yang didukung  oleh desa adat setempat. 

Kegiatan program serupa ini bisa lebih dikembangkan untuk memberikan partisipasi lebih luas buat masyarakat. Akan lebih baik jika keberadaannya dilengkapi dengan keputusan hukum, seperti Instruksi Gubernur agar eksistensi dapat terus dikembangkan dan diberdayakan di semua desa adat.

2) Berkoordinasi lebih masif dengan berbagai pihak dalam upaya mengefektifkan layanan kesehatan secara komprehensif (termasuk   tes HIV dan layanan ARV). Lewat jaringan layanan rumah sakit daerah maupun puskesmas di seluruh provinsi yang siap dan cukup memadai.

3) Untuk mengoptimalkan capaian ending AIDS pada 2030, perlu diupayakan ketersediaan alat  kesehatan, termasuk reagen, kondom, pelicin, dan jarum suntik, sehingga akses layanan kesehatan bisa dioptimalkan di era pandemi Covid-19.

4) Komitmen pemerintah daerah kab/kota dalam mendukung upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS perlu terus dipertahankan dan ditingkatkan, termasuk adanya dukungan operasional pendanaan (APBD) untuk menopang penanggulangan HIV dan AIDS

5) Kolaborasi dan kerjasama semua pihak, baik secara individual maupun kelembagaan (OPD terkait di daerah, aktivis AIDS Bali, LSM dan pihak swasta) dalam pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di Bali yang sudah berjalan selama ini  perlu terus dipertahankan dan ditingkatkan.

Lima strategi ini jika dapat dikawal, walaupun situasi masih pandemi, berkat sinergi dan partisipasi multi sektor, pada akhirnya jika dilakukan dengan serius, bukan tidak mungkin akan membuat target ending AIDS 2030 akan bisa tercapai, atau paling tidak mendekatinya. Pada akhirnya, sesuai jargon Hari AIDS 2021, 

“Akhiri AIDS: Cegah HIV, Akses Untuk Semua” 
Selamat Hari AIDS Sedunia, 1 Desember 2021

Penulis
Oka Negara 


*Ketua Forum Peduli AIDS (FPA) Bali

*Ketua Pokja Perencanaan dan Monitoring Evaluasi KPA Provinsi Bali

*Wakil Ketua PKBI Bali

*Ketua Asosiasi Seksologi (ASI) Denpasar

Reporter: bbn/oka



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami