Jangan Salah Hitung Garis Kemiskinan Global!
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Beberapa waktu terakhir, media sosial dan ruang diskusi publik ramai membahas soal garis kemiskinan global versi Bank Dunia: $6,85 per hari.
Tak sedikit yang lantas membandingkan angka itu dengan garis kemiskinan nasional yang ditetapkan BPS — sekitar Rp595 ribu per bulan, atau kira-kira Rp20 ribuan per hari. Reaksi publik pun beragam, dari yang kaget sampai menuduh pemerintah "mengecilkan" angka kemiskinan.
Tapi… tunggu dulu. Apakah perbandingan itu sahih? Apakah kita bisa menyimpulkan Indonesia terlalu “murah” dalam mendefinisikan kemiskinan? Jawabannya: tidak sesederhana itu.
Angka Global Tidak Bisa Ditelan Mentah-mentah
Pertama-tama, penting untuk dipahami bahwa angka $6,85 per hari bukan garis kemiskinan untuk Indonesia secara khusus. Itu adalah median (nilai tengah) dari garis kemiskinan nasional di 37 negara berpendapatan menengah atas (Upper Middle-Income Countries/UMIC), kategori yang baru saja dimasuki Indonesia sejak 2023. Jadi, $6,85 adalah angka patokan global. Fungsinya? Untuk membandingkan kemajuan antarnegara, bukan untuk menentukan siapa yang layak menerima bantuan sosial di sebuah negara tertentu.
Salah Kaprah yang Sering Terjadi: Kurs Pasar vs PPP
Banyak orang langsung mengalikan angka $6,85 itu dengan kurs dolar saat ini — misalnya Rp16.870 — lalu kaget ketika hasilnya lebih dari Rp115.000 per hari. Lalu angka itu dibandingkan dengan garis kemiskinan nasional yang hanya sekitar Rp20.000-an per hari.
Perbandingan ini terlihat jomplang, bahkan membuat sebagian orang berpikir “garis kemiskinan BPS tidak masuk akal”.
Masalahnya, itu bukan cara hitung yang benar.
Bank Dunia menetapkan angka $6,85 menggunakan Purchasing Power Parity (PPP) — bukan kurs pasar. PPP mencerminkan daya beli riil di masing-masing negara, alias berapa banyak barang atau jasa yang bisa dibeli dengan satu dolar di Indonesia dibandingkan dengan di Amerika Serikat. Untuk tahun 2024, menurut World Bank, 1 USD PPP = Rp5.993,03. Maka, perhitungan yang benar adalah: $6,85 x Rp5.993,03 = Rp41.061 per hari.
Angka ini masih lebih tinggi dari garis kemiskinan nasional, benar. Tapi jauh dari Rp115 ribu yang sering dikutip sembarangan.
Bukan Hanya Soal Metode, Tapi Juga Konteks
Yang juga sering dilupakan: Indonesia memang masuk ke kategori negara berpendapatan menengah atas, tapi kita masih di ujung bawah. Data terbaru Bank Dunia mencatat:
• Batas bawah UMIC: $4.516 GNI per kapita
• Batas atas UMIC: $14.005 GNI per kapita
• Indonesia: $4.870 GNI per kapita (2023)
Artinya, daya beli masyarakat Indonesia masih jauh di bawah rata-rata negara UMIC. Jadi, menerapkan garis kemiskinan global secara mentah seperti $6,85 — yang merupakan median UMIC — justru bisa menyesatkan. Kalau itu dipaksakan, hampir setengah penduduk Indonesia bisa dikategorikan “miskin” — meski secara kebutuhan dasar mereka tidak kekurangan.
Bagaimana BPS Menghitung Garis Kemiskinan?
Berbeda dengan Bank Dunia yang menghitung berdasarkan daya beli internasional, Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan pendekatan kebutuhan dasar yang mencakup dua hal:
1. Kebutuhan makanan: cukup energi, setara 2.100 kkal per kapita/hari, dari 52 jenis komoditi seperti beras, sayur, lauk, dan lain-lain.
2. Kebutuhan non-makanan: seperti tempat tinggal, listrik, pendidikan, dan kesehatan, berdasarkan 47–51 komoditi tergantung wilayah.
Semua dihitung per kapita per bulan, bukan per hari, dan disesuaikan untuk tiap provinsi, kota, dan desa berdasarkan harga dan pola konsumsi lokal.
Sebagai gambaran, misalnya pada suatu periode BPS menetapkan angka garis kemiskinan Rp595.242 per bulan. Kalau dibagi 30, memang kira-kira jadi Rp19.841 per hari, tapi BPS tidak pernah secara resmi mengeluarkan angka harian ini. Kenapa? Karena konsumsi masyarakat tidak dihitung harian secara individu, tapi bulanan dalam konteks rumah tangga. Jadi, membandingkan langsung dengan angka harian dari Bank Dunia saja sudah keliru arah.
Literasi Data Itu Penting, Bijaklah Membaca Angka
Kita hidup di era di mana angka dan statistik sangat mudah diakses — tapi sayangnya, tidak semua orang membaca dengan benar. Garis kemiskinan nasional bukan sekadar angka, tapi hasil dari kajian mendalam terhadap pola konsumsi, harga lokal, hingga struktur rumah tangga masyarakat Indonesia. Sementara garis kemiskinan global berguna untuk melihat posisi Indonesia secara internasional. Keduanya penting. Tapi tujuan dan konteksnya berbeda.
Angka $6,85 punya tempatnya. Garis kemiskinan nasional pun punya perannya sendiri. Yang tidak boleh terjadi adalah mencampur keduanya tanpa pemahaman, lalu menyimpulkan seolah-olah negara mengabaikan rakyatnya.
Literasi statistik bukan cuma soal membaca angka, tapi soal memahami ceritanya.
Penulis
Dr. Andri Yudhi Supriadi
Kepala BPS Kota Denpasar
Alumnus Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia
Editor: Redaksi
Reporter: bbn/opn