Pungli Objek Wisata, Pasek Sebut Inti Persoalan Hanya Perebutan Pengelolaan

Senin, 12 November 2018, 10:54 WITA Follow
image

beritabali.com/ist

IKUTI BERITABALI.COM DI GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Menanggapi penangkapan oknum desa adat yang melakukan pungutan liar (pungli) objek wisata seperti yang terjadi di Tirta Empul dan pantai Matahari Terbit, Ketua PULD DPD Gede pasek Suardika (GPS) menyebut inti  permasalahannya hanya rebutan pengelolaan untuk membuat ekonomi desa adat seolah tidak berdaya.

Ia mengambil gambaran seperti yang diperkirakan oleh sastrawan Indonesia yakni Sutan Takdir Alisyahbana (STA), bahwa desa adat nantinya seperti "kebun binatang". Disebutkan manusia Bali dan Desa Adat dianalogikan seperti "monyet" yang hanya memperoleh pisang atau ketelanya saja untuk sekadar bertahan hidup dilihat wisatawan.
 
 
"Sementara mereka kebagian tiket masuk, parkiran dan lainnya dari para wisatawan yang ke Bali.  Itu sudah diprediksi sejak tahun 1970-an oleh Beliau. Dan kini makin terasa, prediksi itu benar adanya saat ini mulai dirasakan," tandasnya.    
 
Terkait ajakan diskusi pihak terkait oleh Polda Bali, ia mengaku sangat siap asal waktunya pas. Dalam kesempatan itu, nantinya ia meminta agar kasus ini dihentikan. Kasus Pungli di Tirta Empul yang dinilai sudah jelas ada skema, agar diputihkan karena masih bisa diperdebatkan. Ia pun memaparkan beberapa tanggapan yang menepis anggapan desa adat dianggap lemah di mata hukum diantaranya; pertama, Desa Adat adalah Subyek Hukum karena ada pihak yang menganalisa seakan desa adat bukan Subyek Hukum sehingga harus dibuatkan Subyek Hukum baru untuk berusaha di wilayahnya. "Padahal, jelas diakui eksistensinya di Konstitusi kok dibilang bukan Subyek Hukum," tegasnya. 
 
Lebih lanjut ia menyatakan desa adat masuk Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (KMHA). Bahkan di Perda Desa Pakraman diperkuat sebagai Subyek Hukum. Karena itu, kata dia, pengempon Pura, Desa Adat, Subak dan lainnya bisa masuk namanya dalam sertifikat dan lainnya. Desa adat bisa bertindak layaknya Badan Hukum modern seperti PT, CV, Yayasan dan lainnya walau ciri khasnya sangat berbeda karena harus diputuskan berdasarkan Sangkepan, Perarem, dan Awig-Awig. "Itulah hak-hak tradisionalnya," ujarnya.
 
Kedua, awig-awig atau perarem desa dianggap hanya berlaku ke internal. Hal itu diakuinya benar tetapi tidak seluruhnya benar karena Awig-awig tidak hanya mengatur warganya tetapi juga wewidangannya dan parahyangannya. Maka itu ada istilah Krama Tamiu, ada sanksi penanjung Batu dan lainnya. Itu artinya, lanjutnya, ketentuan ini berlaku bagi orang luar yang mau masuk atau berinteraksi hukum di wewidangan atau parahyangan. "Lalu apakah ketentuan-ketentuan yang sudah berjalan itu tidak berlaku?," tanyanya. 

Ketiga, Desa Adat dinilai tidak bisa berusaha. Menurutnya, hal itu sudah ada di Perda Desa Pakraman soal pengelolaan kekayaan desa dan sejenisnya sehingga memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan hidup adat budayanya. Dikatakan jika tidak boleh berarti Desa Adat sedang diarahkan untuk menjadi peminta-minta dan tidak mandiri. Padahal, kelahiran Desa Adat adalah lembaga otonom yang diakui republik ini.
 
Keempat, Soal fasilitas umum, GPS setuju dikelola pemerintah untuk rakyat. Namun ia mempertanyakan keabsahan fasilitas umum dikelola desa adat dianggap tidak sah. Berbeda dengan perbandingan fasilitas umum dikelola pengusaha baru menjadi sah. 
 
"Betapa merananya Desa Adat di Bali. Dia tidak hanya dilemahkan banyak pihak dari luar juga cara berpikir yang keliru dari mereka yang seharusnya memberikan pencerahan," singgungnya. 
logo

Berlangganan BeritaBali
untuk membaca cerita lengkapnya

Lanjutkan

Reporter: bbn/rls



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami