PKB Jadi Panggung Refleksi Nasib Subak di Tengah Ancaman Alih Fungsi Lahan
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Suara gamelan berpadu dengan gerak tari yang lemah gemulai menyambut pengunjung Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-47.
Namun di balik gegap gempita panggung seni, sebuah isu mendasar muncul tentang nasib Subak, sistem irigasi tradisional Bali yang kini berada di titik kritis.
Subak, bukan sekadar sistem pengairan sawah di Bali. Ia adalah warisan budaya dunia, sistem sosial, dan semangat kolektif masyarakat agraris Bali yang telah hidup ratusan tahun. Namun hari ini, ia bergulat dengan ancaman alih fungsi lahan, krisis regenerasi petani, dan tekanan modernitas.
Di PKB ke-47, Subak hadir bukan di sawah, melainkan di forum diskusi bernama Sarasehan Jantra Tradisi, yang membahas keberlanjutan sistem ini sebagai bagian dari kebudayaan Bali.
"Sarasehan Subak merupakan salah satu program dari Jantra Tradisi Bali karena ini merupakan kegiatan apresiasi budaya tradisi untuk pemajuan kearifan lokal," ungkap Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Prof. Dr. I Gede Arya Sugiartha dalam suatu kesempatan.
Sarasehan yang digelar di Gedung Dinas Kebudayaan Bali, Renon dan secara daring ini menghadirkan beragam narasumber. Di antaranya I Ketut Suastika, SH, yang menegaskan perlunya konsistensi penegakan aturan tata ruang.
Caption: Sarasehan Subak di PKB ke-47 pada 8 Juli 2025.
Baca juga:
Petani Subak Blahkiuh Badung Harap Asuransi Tani Diaktifkan Lagi
"Kalau ini tidak bisa dikendalikan, salah satu komponen budaya sekaligus komponen lingkungan kita, seperti apa nanti jadinya Bali," sebutnya.
Ia menukil data dari Dinas Pertanian Provinsi Bali yang mencatat alih fungsi lahan mencapai 1.198 hektare dalam 10 tahun terakhir (2014–2023).
Sementara itu, dari Tabanan, Jero Mangku Sugiartha, seorang pemangku sekaligus pelaku Subak, Tabanan menyoroti fenomena bertambahnya jumlah subak tetapi luasnya tetap.
"Jadi tempek-tempek itu berkembang menjadi satu subak barangkali ini ada pengaruh dari hibah atau bansos karena terkait menanggung beban berat dengan serangkaian upacara belum lagi menghadapi penyakit atau gagal panen," sebutnya.
"Itu PR kita dalam menjaga keberlangsungan subak," cetusnya.
Dalam penjelasannya terdapat sejumlah prosesi ritual subak saat menggarap sawah, di antaranya; Ngendagin: Matur Piuning, Ngawit nambah: mulai mencangkul, Ngurit: menebar benih, Nandur: menyemai bibit, Mretenin pantun: memelihara padi, dan Ngalapin Pantun: panen.
Di sisi lain, I Made Oka Parwata, Penyuluh Pertanian Ahli Utama, mendorong pendekatan baru di subak yakni sebagai entitas bisnis.
"Yang paling menjadi beban di subak adalah banyaknya upacara yang membutuhkan biaya, sedangkan dari satu sisi dari income atau sistem penguatan modal mereka terbatas sekali," ujarnya.
Menurutnya saat ini, sebuah keniscayaan bahwa subak tidak hanya orientasi sosio-budaya-religi, tetapi harus berpikir bisnis yang dikelola oleh generasi muda.
"Sehingga unit-unit bisnis terbentuk disitu, tetapi harus melihat skala dan apa menjadi keunggulan disitu, pintar-pintar subak untuk memilih apa menjadi keunggulan mereka," sebutnya.
"Tidak bisa subak atau sawah menjadi objek tetapi menjadi subjek yang tepat adalah agro wisata, bukan dalam konteks wisata agro,"
Namun problem lainnya juga muncul tumpang tindih kewenangan. Saat ini subak ditangani oleh tiga instansi berbeda , yakni Dinas Pertanian, Dinas Kebudayaan, dan Dinas Pemajuan Desa Adat.
"Perlu duduk bersama bareng supaya satu memudahkan mereka agar tidak kesana kemari, tinggal bagaimana koordinasi. Perlu duduk bareng fokus siapa yang tepat siapa yang menjadi ibu," pungkasnya.
Editor: Redaksi
Reporter: bbn/rob