Dosen Undiksha Hardiman Gelar Pameran Tunggal di Bandung
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, BULELENG.
Perupa Hardiman kembali akan menggelar pameran tunggal. Pameran bertajuk “Harakat Warna Hardiman” akan dilaksanakan di Griya Seni Popo Iskandar Bandung, 19 Oktober hingga 7 November 2022 mendatang.
Menurut Hardiman, ada 50 lukisan yang akan dipamerkan di Bandung. Lukisan-lukisan tersebut merupakan karya terbarunya yang digarap selama pandemi Covid-19, dalam rentang 2019-2022.
“Selama pandemi saya berhasil melukis 120 lukisan. Lumayan produktif memang, karena selama pandemi semua dikerjakan di rumah. Ngajar online. Istirahat, lalu melukis,” paparnya, Jumat 30 September 2022.
Dosen Seni Rupa Undiksha yang sudah pensiun ini memilih pameran tunggal agar kelihatan eksisnya. lukisan-lukisannya membicarakan sesuatu yang tidak terkatakan oleh puisinya, teater, grafis, atau seni yang lainnya.
“Kalau pameran bersama, misalnya berdua, kan berebut jadinya. Lukisan saya mengatakan tentang garis, bidang, warna, dan barik. Unsur visual ini ditumbuhkan sebagaimana fungsi estetisnya masing-masing secara mandiri maupun saling berkaitan satu sama lain. Inilah arah dalam lukisan saya. Intinya, saya mempersoalkan unsur visual ini sebagai hal yang dibicarakan dalam lukisan saya,” katanya.
Baca juga:
18 Koreografer Ikuti Temu Seni Tari di Ubud
Hardiman juga masih konsisten dengan tema burung jalak Bali-nya. Kenapa? Menurutnya, setiap seniman mempunyai obsesi. Seniman selalu punya obsesi terhadap sesuatu atau apa yang dijadikannya sebagai karya seni.
“Saya terobsesi oleh jalak Bali itu,” ujarnya.
Dijelaskan, pada mulanya ia tertarik akan jalak Bali. Pada tahun 1980-an, Hardiman terlibat dalam satu penelitian jalak Bali di Pulau Menjangan.
“Yang menarik dari jalak Bali adalah ketakutan terhadap manusia. Ia mempunyai rasa curiga yang amat besar terhadap makhluk yang lain,” katanya.
Lantas bagaimana ia memilih perwujudan dalam lukisan? Menurutnya, pada mulanya ia menangkap jalak Bali itu dalam proporsi dan anatomi yang mendekati kebenaran jalak Bali. Namun, berangsur-angsur terjadi gubahan yang menuju ke pencarian bentuk yang menyari-pati (esensial).
Baca juga:
Sosok Perempuan Bali dalam Lukisan 'Rini'
“Mengapa saya justru tidak mempersoalkan kemisterian jalak Bali atau tidak mengungkapkan kecantikan jalak Bali? Tetapi, saya malah menjadikan jalak Bali sebagai titik berangkat untuk menuju ke persoalan visual,” paparnya.
Lantas apa misi pameran tunggalnya kali ini? Menurut Hardiman, ia ingin memperlihatkan karya terbarunya, dengan konsep yang masih lama. Yakni konsep seni modern.
“Seni modern itu kan percaya kepada aspek visual saja. Garis untuk garis. Bidang untuk bidang. Warna untuk warna. Kalau seni kontemporer, garis, bidang, warna dan seterusnya merupakan alat untuk mengatakan sesuatu,” katanya.
Jebolan Program Doktoral Universitas Udayana (Unud) ini mengatakan, bagi dirinya, garis, bidang, warna ya untuk garis, bidang, dan warna saja. Ia mengaku sebagai penganut formalism, penganut modernism, penganut masa lalu, kuno, yakni seni rupa tahun 1970-1980-an.
Hardiman mengatakan, paham seni rupa modernisme itu sampai sekarang masih dia anut. Walaupun dalam kritik seninya, Hardiman justru mengarahkan atau membongkar seniman dari aspek seni kontemporer.
“Tapi dalam praktik berkarya, saya tidak punya alat atau bahasa untuk mengatakan kekontemporeran saya. Jadi ketika saya menggambar warna, ya warna sebagai warna saja. Hijau sebagai hijau saja. Tidak dimaknai apa-apa. Merah ya merah saja. Jadi murni visual,” tegasnya.
Hardiman menjelaskan, dari 50 lukisan yang akan dipamerkan, tidak ada yang diistimewakan atau ditonjolkan. Menurutnya, semua karya itu sama saja. Tetapi, ia mengakui, ada karya tertentu yang pencapaian estetiknya melebihi yang lain.
“Ada temuan-temuan baru di situ. Dalam hal pengolahan warna misalnya. Pengolahan tekstur, pengolah garis atau pengolahan bidang. Jadi ada temuan-temuan baru,” katanya.
Lantas apa pesan-pesan yang ingin disampaikan dalam pameran ini? “Pesan visual saja. Bahwa lukisan itu mengandung unsur visual. Garis, bidang, warna, tekstur. Saya ingin mengapresiasikan empat unsur tadi kepada publik untuk dinikmati. Menikmati garis, menikmati bidang, menikmati tekstur dan menikmati warna,” paparnya.
Ia mengaku, pada periode kali ini menonjolkan warna. Kurator pameran, Rizki A. Zaelani atau Kiki, setelah melihat-lihatnya lukisan Hardiman, mengatakan, bahwa dalam hal mengembangkan warna, Hardiman sudah sampai pada tingkat harakat. Harakat warna.
“Hijau misalnya, dikasih warna apa lagi akan menjadi hijau yang lain. Dikasih warna lain menjadi hijau yang berbeda lagi. Jadi saya dalam hal warna mengolahnya menjadi harakat,” tutur pelukis kelahiran Garut, Jawa Barat, 7 Mei 1957 ini.
Karena itu, pameran Hardiman kali ini diberi judul “Harakat Warna Hardiman”. Atau dalam istilah kritikus seni dari Prancis, Jean Couteau, Hardiman merupakan seniman colourist. Pandai memainkan warna.
Hardiman juga mengaku, dalam melukis, betul-betul murni menyampaikan pesan visual. Tidak seperti pelukis kontemporer yang dalam karya-karya berisi pesan politik, pesan sosial. Karya-karya pelukis kontemporer diberi muatan.
“Jadi saya itu seperti Sutardji Calsum Bachri di puisi. Ia mengembalikan kata pada kata. Tidak ada makna di balik kata itu. Misalnya puisinya Pat Pit Put. Tidak ada makna apa-apa,” jelasnya.
Kenapa tidak tertarik memberi muatan dalam karya-karyanya? Menurut pelukis yang telah menerbitkan sejumlah buku ini, bahasanya untuk seni lukis tidak sampai untuk memberi muatan.
“Kalau drawing (gambar) atau grafis atau fotografi itu nyampe. Ada pesan. Tapi untuk lukis, saya tidak sanggup. Saya pernah mencoba, tapi tidak bagus ungkapannya. Verbal sekali. Terlalu murah jadinya. Jadi, ya sudah, saya kembalikan ke hakikat seni lukis tadi,” katanya.
Selain itu, kata dia, bagi penganut prinsip seni modern, muatan itu mengotori seni. “Saya seorang modernis. Modernis total,” tegasnya.
Kenapa memilih pameran tunggal di Bandung? Hardiman mengatakan, dirinya pertama kali melukis ya di kota kembang tersebut, kemudian menyerap dialek Bandung. Menurutnya, pada tahun 70-an akhir hingga pertengahan 80-an, ia tinggal dan studi di IKIP Bandung (UPI sekarang). Lingkungan Bandung ini sangat mengepung pilihan bahasa visual Hardiman.
“Itulah dialek Bandung yang saya rasakan dari guru saya Popo Iskandar, Oho Garha,Hidayat, Nanna Banna, dan Bambang Sapto. Juga dari lingkungan Bandung lainnya seperti Ahmad Sadali, AD Pirous, Syamsudin Bimbo, Ummi Dahlan, Heyi Mamun, dan lain-lain. Seni rupa Bandung tahun 70, 80-an itu bagi saya adalah dialek visual yang menurunkan ikon-ikonnya dalam daya serap visual saya. Karena itulah lukisan bagi saya adalah persoalan visual belaka. Hal lain di luar itu hanyalan bumbu yang menghilangkan unsur pokok. Saya mungkin seorang formalis yang hanya percaya pada persoalan visual saja. Tak masalah bagi saya. Ini mungkin masa lalu dalam konsep seni rupa kontemporer. Tak masalah. Bukankah prinsip “apapun boleh” dalam seni rupa kontemporer yang artinya formalis pun boleh?,” ujarnya.
Menurut Hardiman, kali ini ia menggelar pameran tunggal di Badung ingin memperlihatkan, apakah dirinya punya ideolek. Apa hanya pemakai dialek Bandung saja. “Tapi saya yakin saya punya idiolek,” tambahnya.
Hardiman yakin ia punya idiolek yang khas dirinya. Terutama dalam hal warna. Warna tidak ditemukan di pelukis lain di Badung. Karena itu, kata dia, perlu semacam pertunjukan kepada publik Bandung bahwa ia adalah pelukis yang mengembangkan ke-Bandung-annya di Bali dan menemukan idioleknya sendiri.
“Ketika saya masih di Bandung, saya tidak tertarik mempersoalkan warna. Tekstur juga tidak. Lukisan ya lukisan saja. Tekanannya tidak penting, pokoknya lukisan. Tapi setelah di Bali, karena saya bergaul secara budaya di Bali, melihat kuliner Bali, melihat fashion Bali, pakaian Bali, itu semuanya warna full. Dan tidak harus harmonis. Bisa disharmonis. Komplementer. Bisa tabrakan. Itu mempengaruhi pikiran saya tentang warna,” papar Hardiman.
Editor: Robby
Reporter: bbn/bul